sumber foto: fb harie insani putra, Jum'at 5 September 2014 (bukan Agustus) |
(Catatan
Kecil Selepas Diskusi Novel Sekaca
Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF)
Oleh: M. Nahdiansyah Abdi
Sebuah novel, niscaya, dapat dimasuki lewat pintu mana saja. Seorang
pembaca memiliki kecenderungan dan minat terhadap sesuatu hal, dan dengan
“sesuatu hal” itulah ia melakukan pembacaan. Barangkali demikianlah kesimpulan
dari diskusi novel Sekaca Cempaka
karya Nailiya Nikmah JKF di Aula Perpustarda Kota Banjarbaru, Jum’at malam, 6
September 2014.
Menjadi sah-sah saja ketika Dewi Alfianti mengupasnya lewat wacana-wacana
gender, yang lain menyorot lokalitasnya, atau ada beberapa peserta yang merasa
terganggu dengan label sastra Islaminya. Tentu, tak ketinggalan, ada juga
peserta yang gatal dengan soal-soal teknis. Malam itu, semua hibuk jadi satu.
Dan semua berawal dari Sekaca Cempaka. Dari sekaca cempakalah novel ini
merangkai konflik. Bunga abadi dalam botol berisi air itu telah menjadi
pertaruhan pengarang untuk menguak batin tokoh-tokohnya dan membongkar situasi
sosial yang melingkupinya. Cerita tak akan terbangun seandainya tak ada mitos
yang hadir di sekitar keberadaan sekaca cempaka. Ya, mitos. Sederhananya, ini
cerita tentang pertarungan mitos dengan rasionalitas.
Mitos sekaca cempaka, di
novel ini, dibangun di atas kisah-kisah
kehidupan perkawinan dalam budaya Banjar. Sepasang sekaca cempaka menjadi
simbol keabadian cinta. Ketakterpisahannya menjadi sugesti akan sebuah
kesetiaan dan kebersamaan selamanya. Saya agak tercenung ketika ada peserta
diskusi yang mengatakan bahwa di tengah kecenderungan orang Banjar untuk
beristri banyak, ternyata tidak membuat wanita Banjar menjadi lemah. Mereka
sangat kuat, bebernya, tak ada cerita seorang perempuan Banjar bunuh diri
karena dimadu atau ditinggal oleh suaminya. Mereka selalu bangkit. Sejenak saya
menyetujuinya. Tapi sepertinya ada yang terlewat.
Dengan menyetujuinya berarti saya melewatkan sebuah kenyataan lain. Bukankah
kebudayaan kita juga penuh dengan cerita perempuan-perempuan yang kehilangan
rasionalitasnya lalu pergi mengaji ilmu hitam? Didasari oleh sakit hati atau
ketakutan akan ditinggalkan, mereka menempuh jalan yang kata orangtua kita
dulu, jika kita mencobanya, bakal “mati jadi hantu”. Ah, bukankah ini sama
parahnya dengan bunuh diri. Peristiwa menanggalkan rasionalitas demi sesuatu
yang dianggap penting secara sosial adalah bunuh diri yang paling konyol. Betapa
sebuah relasi menjadi sangat penting dan berharga untuk diperjuangkan di mata
segelintir perempuan, sekalipun dengan menggadaikan akal sehatnya.
Kita sering berpikir bahwa mitos selalu dibangun di atas irrasionalitas.
Kita dapat menyerah begitu saja saat berhadapan dengan istilah-istilah
bercitarasa mistik macam “santet” atau “guna-guna”. Kita mengalihkan rasa
ketidakberdayaan kita menghadapi “situasi-situasi aneh” dengan mengatakan
istilah berbau kebudayaan lama itu. Situasi ini digambarkan secara sempurna
dalam novel Sekaca Cempaka. Ada saat ketika tokoh-tokohnya menimpakan kesalahan
ke luar dirinya, kepada simbol-simbol guna-guna. Pemindahtempatan ini merupakan
mekanisme pertahanan ego untuk meredakan kecemasan dan mendapatkan penerimaan
sosial. Ketidakmampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi dialihkan keluar
sedemikian rupa untuk mendapatkan pembenaran dan simpati sosial. Mitos telah
diterima secara bersama. Menjadi jalan keluar paling aman dan terbuka
lebar untuk dimasuki.
Adakah penjelasan tentang cara kerja mitos mempengaruhi manusia? Barangkali,
ia semacam sugesti massa yang dilesakkan lewat jalur-jalur kebudayaan, baik
lisan maupun tertulis. Tingkat keberakarannya ditentukan oleh situasi
sosial-budaya yang melingkupi individu-individunya. Pertemuan antar kebudayaan
menjadi sumber retakan. Membuat mitos-mitos dipertanyakan. Dan bukankah santet
dan guna-guna adalah juga permainan pikiran, adalah sugesti yang dilesakkan.
Pikiran yang kuat akan memangsa pikiran yang lemah. Pikiran dapat menembus
waktu, melesat ke berbagai tempat. Pikiran yang kuat dan terfokus, dapat
disiarkan keluar dan mendorong orang untuk berbuat meskipun tidak dibahasakan
lewat verbal maupun non-verbal.
Rahasia membutuhkan kata, demikian bunyi sajak Subagio Sastrowardojo,
apatah lagi mitos. Dan sepanjang menyangkut kata, kita akan berhadapan dengan
sugestinya. Emosi kita bergerak-gerak mengikuti irama kata. Semakin tajam kata yang kita lesakkan ke bawah sadar,
semakin emosional kita. Tingkat kesediaan kita menerima mitos ditentukan oleh
diri kita sendiri. Tingkat keterbelengguan kita pada mitos juga ditentukan oleh
diri kita sendiri.
Dan bisakah sekaca cempaka keluar dari mitosnya, sebagaimana kain
sasirangan yang tempo dulu disakralkan dan pakai untuk pengobatan namun
sekarang berubah menjadi sekedar pakaian khas suatu daerah? Tentu bisa. Sekaca
cempaka hanya media. Ia menjadi tempat interaksi antara dua pikiran, yaitu pikiran
pembuatnya dan pikiran pembeli/pemakainya. Saya selalu beranggapan ada pikiran
dan suasana batin yang mungkin tertinggal dari suatu benda yang dibuat, entah
disengaja ataupun tidak. Pikiran itu bisa baik, bisa jahat, bisa bermotif
mistis, bisa bermotif ekonomi, bisa kuat dan sugestif, bisa juga lemah, bisa
mengandung kesedihan, bisa pula memancarkan aura kebahagiaan. Pikiran dan
suasana batin si pembuat akan bersentuhan dengan pikiran pembeli/pemakainya
lewat benda yang dibuat itu. Pikiran mereka saling berinteraksi, mungkin membangun
komunikasi dan kompromi, namun tak jarang juga bersiteru dan saling jegal. Atau
bisa juga tak ada interaksi apapun karena lemahnya masing-masing pikiran, hanya
memenuhi tujuan pragmatis saja dari penciptaan benda-benda itu.
Namun apakah mitos dan irrasionalitas dengan demikian tertolak? Tentu
tidak. Ia juga memiliki fungsi sosial. Mitos hanyalah saat ketika kita berhenti
bertanya, berhenti bersikap kritis. Seseorang barangkali perlu menjenguknya
untuk menyelami alam pikiran yang lian. Dan bukan untuk meredakan ketegangan
dan kecemasan. Irrasionalitas juga bukan hal yang buruk. Setidaknya demikian
menurut Jung. Ada saat-saat ketika kita harus berdamai dengan irrasionalitas. Barangkali
saja ia hanyalah sesuatu yang belum saatnya kita pahami. Persis seperti
pertanyaan-pertanyaan Nabi Musa yang bernada kegelisahan saat mendapati
perilaku di luar “tata hukum syariat” seorang Khidir.
Setidaknya Nai sudah mengalahkan mitos dalam dirinya. Mitos yang bernama
kemalasan dan keterbatasan diri. Lalu lahirlah Sekaca Cempaka. Ia membuat tantangan terbuka kepada siapa pun,
termasuk Nai sendiri, untuk dipatahkan. Jangan sampai kemalasan menjadi “arwah
gentayangan” dalam kebudayaan kita. Jangan sampai kita “mati jadi hantu” dalam
ketidakkritisan. Kepada Nai, selamat! Kepada sumber pendorongnya: suami dan
anak-anaknya, juga selamat! Saya yakin, ini adalah pencapaian sebuah keluarga.
Bukan begitu, Nai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar