(Membaca Novel Galuh Hati, Randu Alamsyah)
Oleh M.
Nahdiansyah Abdi
Saya membaca novel Galuh Hati (Moka Media, Jakarta,
2014) dengan dibayangi foto penulisnya di facebook yang diapit
dua dara itu. Novel ini mampir ke rumah saya sebab rengekan isteri yang minta
dibelikan itu novel begitu terlihat olehnya sampulnya di sebuah koran lokal.
Ah, kenapa perempuan suka dengan hal-hal yang nampak kemilau? Saya diberinya
uang untuk berburu buku itu ke rumah Harie Insani Putra. Namun buku itu malah
dibeli saat ada jualan buku di depan Perpustarda Kota Banjarbaru, beberapa
waktu kemudian. Waktu beli buku itu kepergok sama Sandi Firly. Dan diam-diam saya
sedikit merasa bersalah karena tidak juga membeli dan
membaca novel Lampau yang terbit
belum lama berselang.
Di rumah, saya desak isteri saya
supaya segera membaca, biar kali ini saya berposisi sebagai pendengar saja. Saya geleng-geleng kepala karena ia membaca dari
halaman belakang.
Saya memprotes: “Apa serunya, kalau begitu!” kata saya. Tak berapa lama ia lemparkan buku itu. Ia
ketakutan. Ia merasa ngeri karena di dalamnya ada kisah pembunuhan. Ia memang
sensitif beberapa tahun belakangan ini. Sampai kemudian saya mengkhatamkan
novel Lampau-nya Sandi Firly, Galuh
Hati tetap belum tersentuh.
Saya
membaca beberapa resensi tentang Galuh Hati, juga mendengar komentar beberapa
teman. Sainul pun ada menulis di buku terbarunya, Membaca Novel: dari Merayu Sukma sampai Andrea Hirata (Scripta
Cendekia, Banjarbaru, 2014) bahwa novel ini ditulis seperti meramu cerita
detektif ala novel lima sekawan dengan bahasa yang sangat lembut (halaman 123).
Itu semua saya lahap sebelum membaca novelnya. Terus terang saya tak punya
pengalaman membaca novel Randu sebelumnya. Tidak Jazirah Cinta (2008), tidak juga Selalu Ada Kapal untuk Pulang (2013). Saya hanya membaca
tulisan-tulisan kolomnya, entah di blog, entah di Koran. Jadi saya hanya
mungkin untuk membandingkannya dengan novel Lampau,
misalnya.
Beberapa
kritikan menyebut novel Galuh Hati melanggar logika cerita. Terutama terkait
waktu. Juga ada yang menyorot perpindahan antar bagian yang “agak
membingungkan”. Terus-terang saya tak begitu memperhatikan soal-soal itu. Mungkin
bagi kepentingan akademis diperlukan. Dan sayangnya saya cenderung melewatkan
saja bagian ini, karena bagi saya keberhasilan sebuah novel terletak pada
kemampuannya mengejutkan pembaca. Kesalahan-kesalahan kecil bisa dimaafkan.
Namanya juga fiksi. Lain jika bicara nonfiksi. Kita bisa memprotes dan
membabatnya habis-habisan. Tapi logika cerita yang kebablasan pun, sekalipun
fiksi, bisa mengakibatkan cedera parah.
Saya
pikir, bahasa novel “Galuh Hati” tergolong kuat. Jadi agak membingungkan ketika
Sainul menyebutnya lembut. Dalam urusan itu, saya kira, Lampau pun terlampaui. Secara sastrawi “menjanjikan”, barangkali itu
tepatnya. Dalam dunia cerpen di Kalsel, cerpen-cerpen yang saya golongkan
memiliki bahasa sastrawi yang kuat adalah cerpen Sainul Hermawan dan jauh di
belakangnya, Harie Insani Putra. Yang lain belum. Jadi tinggal memilih tema
atau menentukan bahan saja lagi. Dan tentu saja ketekunan. Sebenarnya, yang
kuat itu seperti apa sih? Bagi saya pribadi, bahasa yang kuat itu ngajak kita berpikir. Kebanyakan cerpen
dan novel kita berangkat dari bahasa lisan. Ini hanya sekedar pemindahan saja.
Ia kuat di cerita. Tapi tidak hidup ketika dituliskan. Ia mungkin hidup ketika
dilisankan oleh seseorang. Tapi jika teronggok menjadi tulisan, kesannya larut
begitu saja. Tapi saya juga khawatir, jangan-jangan saya kebanyakan membaca
novel terjemahan. Sebab bahasa-bahasa novel terjemahan, kayaknya juga seperti
itu. Jangan-jangan saya tergiring untuk menyatakan kekuatan novel itu hanya
gara-gara gaya bahasa novel terjemahan yang “liat dan berbelit-belit itu”. Ah,
tapi novel Pram, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Romo Mangun, yang gaya bahasanya
sederhana pun bagi saya tergolong kuat. Barangkali ini hanya persoalan ide. Jadi
apakah ide yang kau tawarkan biasa-biasa saja dan sudah terlalu sering diangkat
atau kau sedang bergulat-gelisah dengan ide-ide baru yang menyegarkan?
Oya,
saya tadi ada menyinggung novel Lampau
Sandi Firly. Novel itu bagi saya, merupakan cermin penuh dari penulisnya,
berisi hasrat-hasrat pengembaraan yang ditulis dengan penuh kesederhanaan dan
penuh dedikasi. Ya, saya suka sekali telah menemukan kata “penuh dedikasi” itu.
Gaya bahasanya belum merata kuat, yang jelas selera humornya kadang mengejutkan
dan menggelakkan. Berbeda dengan Randu, ini orang kayaknya lebih rumit,
barangkali seperti jalan hidupnya yang bergelombang. Selera humornya sarkastik.
Akut, kata orang rumah sakit. Ia dekat dengan ekstrim, obsesif, anomalif.
Yang
menarik, di novel ini, tokohnya, yaitu Gilardia Florens, dikategorikan sebagai
idiot atau tunagrahita (halaman vi). Seorang anak, hanya dengan mengamati
fotonya, dapat menyimpulkan bahwa Gil seorang idiot. Dan Abul pun memaklumi
pandangan itu. Sebuah stereotif terhadap para tunagrahita, demikian pikirnya.
Beberapa komentar menyebut Gil terlalu pintar untuk dikategorikan sebagai
idiot. Tapi ada baiknya kita menyimak pengertian idiot dan tunagrahita itu. Kita
mulai dengan tunagrahita.
Tunagrahita,
sepertinya idiom warisan zaman orde baru. Ia merupakan eufimisme (penghalusan
ungkapan) dari disabilitas mental dan merujuk pada keterbelakangan mental.
Istilah medisnya Retardasi Mental (RM). Istilah-istilah sejenis misalnya tuna
netra (tidak dapat melihat/buta), tuna rungu (tidak dapat mendengar/tuli), tuna
laras (disabilitas fisik: cacat suara/nada; disabilitas mental: tidak bisa
menyesuaikan diri), tuna wicara (tidak dapat bicara/bisu), tuna daksa (cacat
tubuh), tuna graha (gelandangan/tidak punya tempat tinggal), tuna susila, dll.
Istilah yang menggunakan tuna-tuna ini merupakan terminologi sosial dan
politik.
Lalu dari mana
pula istilah idiot itu? Apakah idiot sama dengan tuna grahita. Sepertinya
tidak. Sebenarnya istilah idiot sudah tidak digunakan lagi dalam
literatur-literatur medis terbaru. Idiot memang pernah menjadi idiom medis,
namun karena pertimbangan tertentu tidak dipakai lagi. Saya mengira hal itu
dilakukan untuk menghindari stigmatisasi. Saat ini, hanya disebut tingkat atau
gradenya saja. Idiot dulunya digunakan untuk menyebut taraf retardasi mental sangat
berat (IQ berkisar 0 – 20), di atasnya ada imbisil (retardasi mental berat, IQ
= 20 – 35), debil (retardasi mental sedang, IQ = 36 – 51), moron (retardasi
mental ringan, IQ = 52 – 67), dan borderline (retardasi mental taraf
perbatasan, IQ = 68 – 85). Penggunaan istilah stigmatif ini dulu masih
digunakan dalam buku Ilmu Kedokteran
Jiwa/Psikiatri karangan Wicaksana Martin Roan yang terbit tahun 1979.
Sekarang mari
kita sedikit teoritis. Mengurai satu per satu pengertian dan kategorisasi.
Untuk kepentingan ini, saya menggunakan dua sumber referensi, yaitu buku Sinopsis Psikiatri, edisi Ketujuh, jilid
2, karangan Kaplan dan Sadock (Binarupa Aksara, Jakarta, 1997) dan edisi
Kesembilan dari buku Psikologi Abnormal,
terjemahan dari pengarang Gerald C. Davidson, John M. Neale, dan Ann M. Kring
(Rajawali Pers, Jakarta, 2010).
Kaplan dan
Sadock mendefinisikan Retardasi Mental (RM) sebagai suatu gangguan yang
heterogen yang terdiri dari fungsi intelektual yang di bawah rata-rata dan
gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum orang berusia 18
tahun. Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor genetik (kromosom dan bawaan),
lingkungan dan psikososial. Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama
waktu yang panjang sebelum keterbatasan seseorang diketahui atau karena
adaptasi yang baik, diagnosis resmi tidak dapat dibuat pada saat tertentu dalam
kehidupan seseorang. Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan
puncak usia 10 sampai 14 tahun. Dan diperkirakan 1,5 kali lebih sering terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Jadi, ada tiga
kriteria yang mendasar bagi pendiagnosisan RM, yaitu pertama, fungsi
intelegensi yang di bawah rata-rata (kurang dari 70); kedua, kurangnya fungsi sosial
adaptif, minimal di dua bidang berikut: komunikasi, mengurus diri sendiri,
kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya
komunitas, kemampuan mengambil keputusan, keterampilan akademik fungsional,
rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan keamanan. Dan ketiga, ditemukan sebelum umur
18 tahun.
Mari bermain
dengan klasifikasi, mengacu pada DSM-IV-TR, 2000; Robinson & Robinson:
· Retardasi Mental
Ringan (IQ 50-55 hingga 70)
Mereka
tidak selalu dapat dibedakan dari anak normal sebelum mulai bersekolah. Di usia
remaja akhir masih bisa mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih
sama dengan anak level kelas 6. Mereka mungkin dapat menikah dan berketurunan,
meskipun mungkin membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan.
Persentasenya sekitar 85 persen dari kelompok RM.
· Retardasi Mental
Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55)
Di
kelompok ini, sering terjadi kerusakan otak dan berbagai patologi lain. Mereka
dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat
keterampilan motorik halus seperti memegang dan mewarnai di dalam garis, dan
keterampilan motorik kasar seperti berlari dan memanjat. Dengan bimbingan dan latihan,
mereka dapat bepergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka. Secara
psikososial, di kelompok ini (juga RM ringan) anak sering menyadari
keterbatasannya dan sering merasa diasingkan oleh teman sebaya dan merasa
frustrasi. Kadang merasa gagal dan kecewa secara berulang karena tidak mampu
memenuhi harapan orangtua dan masyarakat. Kerentanannya semakin tinggi saat ada
kesulitan komunikasi. Perilaku menarik diri sering terjadi. Cemas, marah,
depresi sering dikaitkan dengan perasaan isolasi dan ketidakberdayaan. Sebagian
besar hidupnya bergantung keluarga atau institusi penampungan. Persentasenya
sekitar 10 persen dari kelompok RM.
· Retardasi Mental
Berat (IQ 20-25 hingga 35-40)
Umumnya
kelompok ini memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam
pengendalian sensori motor. Ciri-cirinya terlihat jelas sejak tahun-tahun
prasekolah, seperti bicara yang sangat terbatas dan perkembangan motorik yang
buruk. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi
terus-menerus. Hanya mampu melakukan sedikit aktivitas secara mandiri, sering
terlihat lesu karena kerusakan otak parah, relatif pasif. Persentase sekitar 3
sampai 4 % dalam kelompok RM.
· Retardasi Mental
Sangat Berat (IQ di bawah 20-25)
Kelompok ini
membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup.
Memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis. Tidak mampu
berjalan sendiri ke mana pun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak sangat
tinggi. Persentase sekitar 1 hingga 2 % dalam kelompok RM.
Namun
mungkin perlu diangkat juga tentang sindrom-sindrom terkait kelainan kromosom
yang berhubungan dengan retardasi mental. Yang paling terkenal adalah sindrom
Down (ditemukan oleh dokter berkebangsaan Inggris, Langdon Down, 1866). Ini
menjadi sindrom yang paling banyak diteliti dan dibicarakan dalam retardasi
mental. Orang dengan sindrom down memiliki tanda fisik yang khas, awalnya
dinamakan “mongoloid” karena karakteristik yang muncul selalu sama pada semua
orang, seperti mata yang sipit, hidung pesek, mata yang oval dan condong ke
atas, lipatan kelopak mata bagian atas memanjang melewati sudut dalam mata,
lidah yang besar dan berkerut yang menjulur ke luar karena mulut yang kecil
dengan langit-langit rendah.
Ada
juga sindrom kelainan kromosom yang tidak selalu berhubungan dengan retardasi
mental. Beberapa anak dengan sindrom turner memiliki kecerdasan yang normal
sampai superior. Namun sebagian lagi bermasalah dengan intelegensi, seperti
kesulitan dalam menghafal, matematika, kemampuan visual dan ruang. Sindrom turner
ini hanya terjadi pada wanita, dengan
ciri yang nampak: wajah menyerupai anak kecil, dada rata, tubuh pendek,
kehilangan lipatan kulit di sekitar leher, fertil.
Juga
patut dicatat bahwa 80 % anak-anak autistik memiliki skor di bawah 70 pada
berbagai tes intelegensi terstandar. Jadi memang perlu sedikit ketelitian
ketika ingin membedakan antara anak penderita autisme dan retardasi mental. Ada
dikenal sindrom asperger (ditemukan oleh Hans Asperger, dokter anak
berkebangsaan Austria, 1944). Sindrom ini dikategorikan oleh beberapa ahli
sebagai autisme ringan. Meskipun secara sosial, sulit bersosialisasi dan
cenderung pemalu, punya kebiasaan grogi, kadang bermasalah dengan keseimbangan
tubuh. Namun dalam satu hal dapat sangat “berbakat”.
Ah,
saya sudah meracau terlalu banyak. Tentu saja terminologi “idiot” dalam novel Galuh Hati tidak merujuk pada istilah
medis. Ia lebih merujuk pada terminologi sosial. Karena tentu akan
membingungkan ketika seseorang dengan kategori Retardasi Mental Sangat Berat
menjadi jawara kelas dan berpikiran secerdas Sherlock Holmes. Barangkali Gil di
novel itu hanya menderita RM ringan atau barangkali menderita sindrom turner
atau sindrom asperger atau malah kita hanya berpraduga saja dan nyatanya Gil
tidak menderita apa-apa.
Hanya
satu yang masih menggantung di benak saya, yaitu bagaimana cara Abul menemukan
petunjuk bahwa Kai Amak mati tergantung di pendulangan. Novel-novel bergenre
sejenis biasanya memberi penjelasan dan petunjuk-petunjuk di bagian akhir.
Tentang bagaimana mereka bisa sampai pada kesimpulan itu. Di novel Galuh Hati, sepertinya, tidak ada.
Barangkali itu tidak penting bagi Randu. Barangkali saya saja yang
menganggapnya penting.
Gambut, 27 September 2014
Sumber foto: fb. randu (nb. minjam foto wal lah... hehe)
BalasHapusHahahaha...Thanks wal, keren, aku banyak belajar dari catatan ini ;-)
BalasHapusAkhirnya kutemukan jejakmu terurai di sini. Ulasan yg sangat menarik, briliant.
BalasHapusAne harus balas komen jua kah, Harie? Napa lah? Kada baisi ide nah... Makasih dah bejalan ke sini, selamat bejualan di blog sebelah... Hehe
Hapus