![]() |
sumber foto: fb harie insani putra, Jum'at 5 September 2014 (bukan Agustus) |
(Catatan
Kecil Selepas Diskusi Novel Sekaca
Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF)
Oleh: M. Nahdiansyah Abdi
Sebuah novel, niscaya, dapat dimasuki lewat pintu mana saja. Seorang
pembaca memiliki kecenderungan dan minat terhadap sesuatu hal, dan dengan
“sesuatu hal” itulah ia melakukan pembacaan. Barangkali demikianlah kesimpulan
dari diskusi novel Sekaca Cempaka
karya Nailiya Nikmah JKF di Aula Perpustarda Kota Banjarbaru, Jum’at malam, 6
September 2014.
Menjadi sah-sah saja ketika Dewi Alfianti mengupasnya lewat wacana-wacana
gender, yang lain menyorot lokalitasnya, atau ada beberapa peserta yang merasa
terganggu dengan label sastra Islaminya. Tentu, tak ketinggalan, ada juga
peserta yang gatal dengan soal-soal teknis. Malam itu, semua hibuk jadi satu.
Dan semua berawal dari Sekaca Cempaka. Dari sekaca cempakalah novel ini
merangkai konflik. Bunga abadi dalam botol berisi air itu telah menjadi
pertaruhan pengarang untuk menguak batin tokoh-tokohnya dan membongkar situasi
sosial yang melingkupinya. Cerita tak akan terbangun seandainya tak ada mitos
yang hadir di sekitar keberadaan sekaca cempaka. Ya, mitos. Sederhananya, ini
cerita tentang pertarungan mitos dengan rasionalitas.