Laman

Tampilkan postingan dengan label Nailiya Nikmah JKF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nailiya Nikmah JKF. Tampilkan semua postingan

16.9.14

Sekaca Cempaka dan “Mati Jadi Hantu” Kebudayaan Kita



sumber foto: fb harie insani putra, Jum'at 5 September 2014 (bukan Agustus)


(Catatan Kecil Selepas Diskusi Novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF)
Oleh: M. Nahdiansyah Abdi

Sebuah novel, niscaya, dapat dimasuki lewat pintu mana saja. Seorang pembaca memiliki kecenderungan dan minat terhadap sesuatu hal, dan dengan “sesuatu hal” itulah ia melakukan pembacaan. Barangkali demikianlah kesimpulan dari diskusi novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF di Aula Perpustarda Kota Banjarbaru, Jum’at malam, 6 September 2014.
Menjadi sah-sah saja ketika Dewi Alfianti mengupasnya lewat wacana-wacana gender, yang lain menyorot lokalitasnya, atau ada beberapa peserta yang merasa terganggu dengan label sastra Islaminya. Tentu, tak ketinggalan, ada juga peserta yang gatal dengan soal-soal teknis. Malam itu, semua hibuk jadi satu.
Dan semua berawal dari Sekaca Cempaka. Dari sekaca cempakalah novel ini merangkai konflik. Bunga abadi dalam botol berisi air itu telah menjadi pertaruhan pengarang untuk menguak batin tokoh-tokohnya dan membongkar situasi sosial yang melingkupinya. Cerita tak akan terbangun seandainya tak ada mitos yang hadir di sekitar keberadaan sekaca cempaka. Ya, mitos. Sederhananya, ini cerita tentang pertarungan mitos dengan rasionalitas.

25.2.11

TENTANG MENGALAMI CERPEN DAN IDEOLOGI PENGARANG


Oleh M. Nahdiansyah Abdi


Di depan saya tergeletak kumpulan cerpen “Rindu Rumpun Ilalang” yang ditulis oleh Nailiya Nikmah JKF. Buku yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin pada Juli 2010 ini, sampul depannya didominasi warna hijau. Warna yang konon memberi sensasi keseimbangan, harmoni, penyembuhan dan daya menenangkan.