Kada karasaan banyu mata
kilirkiliran
Dalam hati maingui doa
Ma
Bah
Ulun tulak
Handak manuntut ilmu di banua
urang
Sangui banyakbanyak ulun
Lawan doa pian badua
(Doa Banyu Mata, 1979)
Tanggal 4 Agustus 2011, hari keempat bulan Ramadhan, saya
menerima buku dengan kover berlatar hijau tua itu, yang setiap sudut-sudutnya
penuh tetesan air (sepertinya) hujan. Lewat kemurahan hati seorang teman, di
singgasananya yang mungil,
kantor Tahura Media di bilangan Jalan Sultan Adam. Ya, sebuah kumpulan puisi
Bahasa Banjar berjudul Doa Banyu Mata
oleh Abdurrahman El Husaini. Membaca puisi yang tampil menjadi judul buku di
pembuka tulisan, terbentanglah sebuah pengalaman yang sangat personal. Sebuah
perpisahan seorang anak yang ingin menuntut ilmu. Peristiwa akan madamnya satu
anak manusia, atau dalam bahasa penyairnya: “Pas basalaman handak turun pada rumah”. Sebuah pembuka yang cantik,
saya kira, yang ingin saya sebut perjalanan mencari banjar di dalam diri.
Apa sebab? Ternyata di balik judul yang sederhana itu,
tidak hanya persoalan personal yang terungkap. Tapi juga mendekam bawah sadar
kolektif orang Banjar. Saya merasakan sebuah ketegangan kultural. Ini suatu
cara yang luar biasa, sebuah buku kumpulan puisi ternyata memberi inspirasi
penting kepada saya untuk mendefinisikan siapa itu orang Banjar. Petunjuk yang mengarahkan
saya awalnya ini: walaupun tema besarnya
kumpulan puisi bahasa Banjar, namun tak satu pun kata dalam judul itu (Doa Banyu Mata), yang merupakan kata
asli bahasa Banjar. Semuanya kata serapan. Dan ternyata di masing-masing kata
itu, terdapat medan pengaruh yang memberi warna bagi alam pikiran masyarakat
Banjar.
Doa,
adalah serapan dari bahasa Arab/Islam. Banyu,
serapan dari bahasa Jawa. Mata, saya
kira, serapan dari bahasa Melayu (salah satu subkultur Melayu, Minang, misalnya
menyebut mata dengan mato). Jadi mana
Banjarnya? Tidak kelihatan. Sebab Banjar adalah sebuah pergeseran budaya. Bagi
saya, Banjar adalah masyarakat yang
selalu berada dalam ketegangan kultural untuk menjadi. Ia bergerak dari
kebudayaan lama menuju kebudayaan baru yang tak juga terdefinisikan. Ada tiga
kekuatan medan pengaruh yang saling tarik menarik, yang sangat dinamis, yang
saling berebut pengaruh, yaitu Arab-Jawa-Melayu.
Pengaruh Arab, merasuk ke dalam sistem kepercayaan atau
religi masyarakat Banjar. Ada pusat-pusat kebudayaan yang kentat dengan nuansa Arab/Islam
(kampung Dalam Pagar, Sekumpul, Martapura secara umum) dan tokoh-tokoh yang
identik dengannya. Yang menonjol seperti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan
juriat-juriatnya. Ada juga ritual-ritual atau upacara-upacara yang berasal dari
kebudayaan lama namun diberi sentuhan keislaman. Orang Dayak yang memeluk agama
Islam, pernah pula suatu saat dikatakan, menjadi orang Banjar. Orang yang
berjubah panjang, berbulang, berhaji, dan mengajar agama Islam, mendapat tempat
yang terhormat dan dipanggil dengan sebutan: Tuan Guru. Lebih ke depan, corak
keislaman orang Banjar lebih beragam, mulai muncul gerakan Muhammadiyah,
Ikhwanul, Jemaah Tabligh, dsb. Namun secara umum, basis keagamaan yang
diwariskan Syekh Muhammad Arsyad masih kuat mewarnai kehidupan religi
masyarakat Banjar.
Pengaruh Jawa, lebih menonjol dari segi politik, namun tak tertutup juga dari
segi ekonomi dan teknologi. Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang menerima dan
mengakui hegemoni “Jawa” atas dirinya. Dalam Hikayat Banjar, bagaimana diceritakan seorang Lembu Mangkurat
berangkat ke tanah Jawa untuk mencari raja bagi tanah Banjar mendampingi Putri
Junjung Buih yang berdarah pribumi. Raden Putera atau yang kemudian dikenal
sebagai Pangeran Suryanata adalah pembangun trah itu. Ia menjadi tokoh
legendaris bagi bangunan politik kerajaan Banjar, bahkan hingga kepemimpinan
Kalsel saat ini. Tokoh-tokoh “Pagustian” dan juriat kebangsawanan seperti
menjadi mitos kepemimpinan orang-orang Banjar.
Bahkan, saking pentingnya Jawa, kebudayaan-kebudayaan
dunia untuk masuk ke tanah Banjar harus tersaring dahulu melalui Jawa.
Kebudayaan Arab/Islam, masuk ke Banjar melalui Demak, tanah Jawa. Kebudayaan
Barat, yang mencoba masuk secara langsung ke Banjar, malah berujung perang
Banjar. Ia baru dapat masuk ke tanah Banjar, ketika tersaring melalui Jawa,
dalam bentuk keindonesiaan. Bukankah sistem perpolitikan Indonesia mengambil
saripati kebudayaan Barat yang memisahkan Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif?
Tentu lewat sentuhan sana sini oleh Founding
Father. Satu hal yang menggembirakan dari Indonesia, seperti diungkapkan
sejarawan, Ongkokham: tanpa Indonesia, kau akan berjalan membungkuk-bungkuk dan
menyembah-nyembah di hadapan raja-raja Jawa. Bahkan terhadap anak cucu dan
kroni-kroninya sekalipun.
Saat ini, di mana
mitos kepemimpinan Nasional masih tetap di seputar “Jawa”, tanah Banjar tetap
setia menginduk karena bawah sadarnya memang terbentuk demikian. Lewat jalur
politik, Jawa memasukkan unsur-unsur budayanya yang lain, seperti adat-istiadat
keraton, kesenian (wayang, gamelan), kosakata. Setiap melewati tugu pal 17 di
Gambut, yang menjadi persimpangan jalan saya menuju RS Jiwa Sambang Lihum. Saya
kerap melirik bangunan tugu yang mirip candi Jawa itu sebagai bentuk hegemoni
Jawa atas tanah Banjar.
Namun, alih-alih mengakui budaya Jawa sebagai rujukan,
orang Banjar lebih merasa Melayu. Ia lebih berani terbuka, tidak sungkan
mengkritik, bahasanya hanya selapis, tidak seperti bahasa Jawa yang mengenal kromo, kromo ingil, ngoko. Namun
bukan berarti tidak bisa sopan santun. Bahasa Banjar dapat lebih sopan dengan
menghaluskan intonasi dan memperlembut panggilan kata ganti orang. Melayunya
Banjar dapat terlihat dari pakaian yang diakui menjadi pakaian adat Banjar,
bentuk rumah yang panggung, dan pengembangan teknik pembuatan kapal yang
memungkinkannya untuk menjelajah sungai-sungai besar bahkan mengarungi samudera
demi keperluan perdagangan. Sesuatu hal yang tidak dikembangkan kebudayaannya
yang terdahulu yang hanya bisa berburu, meramu dan bercocok tanam.
Dalam Hikayat
Banjar, unsur-unsur Melayu mulai terbentuk saat pemerintahan kerajaan
Nagara Daha yang bercorak Budha. Raden Sari Kaburangan (Raden Sekar Sungsang),
yang meskipun masih ada persambungan nasab dengan raja-raja Negaradipa, lebih
memilih berkiblat ke kerajaan Melayu Sriwijaya sebagai pusat agama Budha di
masa itu. Persinggungan dengan unsur Melayu makin menjadi-jadi saat Pangeran
Samudera terusir dan ditampung oleh Patih Masih di sekitaran sungai Kuin, yang
konon berdarah Melayu. Hasil penelitian Wurm dan Willson (1975), hubungan
kekerabatan antara Bahasa Melayu dan Bahasa Banjar mencapai angka 85 persen.
Adapun kekerabatan dengan bahasa Maanyan sekitar 32 % dan dengan bahasa Ngaju 39 %, berdasarkan
penelitian Zaini HD1.
Tingginya hubungan kekerabatan bahasa Banjar dengan
Bahasa Melayu barangkali menunjukkan lamanya proses pembauran. Bisa jadi, hubungan
itu telah terjalin lama sebelum Nagara Daha berdiri. Penelitian oleh Balai
arkeologi Banjarbaru, tahun 1996, saat melakukan pengujian sampel arang Candi
Agung di Amuntai, ternyata menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM
(Kusmartono dan Widianto)2. Ini artinya, 600 tahun lebih tua dari
kerajaan Kutai. Beberapa peneliti mengkaitkannya dengan kerajaan etnis Maanyan,
kerajaan Nan Sarunai atau dengan kerajaan Tanjungpuri. Sayangnya, belum
ditemukan prasasti tertulis yang menjelaskan hubungan tersebut. Kelihatannya
Candi Agung adalah tempat peribadatan kuno yang dibangun lagi semasa kerajaan
Negara Dipa. Pertanyaannya, kenapa Hikayat
Banjar hanya berhenti sampai Negara Dipa, bukan kerajaan-kerajaan di
atasnya? Sebab ini untuk menegaskan hegemoni “Jawa” di mana nasabnya bermula
lewat ketokohan Pangeran Surianata.
Legenda Dayak Meratus menceritakan Datu Dayuhan dan Datu Intingan
sebagai saudara sekandung. Datu dayuhan menurunkan orang dayak meratus. Sedang Datu
intingan kawin dengan imigran melayu, melahirkan lima panglima kerajaan
Tanjungpuri, Panglima Alai, panglima Tabalong, panglima Balangan, panglima Hamandit,
panglima Tapin. Ekspedisi Majapahit di bawah pimpinan Empu Jatmika demi
menaklukkan Tangjungpuri telah menempatkan Putri Junjung Buih sebagai putri
boyongan. Namun kedahsyatan olah sastra dalam Hikayat Banjar membangun mitos rekonsiliasi lewat reka-reka
peristiwa gaib dan penuh kesaktian menjadikan pertemuan kebudayaan lewat
perkawinan itu sebagai sesuatu yang sakral dan suci.
Maka, demikianlah, ketegangan kultural itu telah menjadi
sejarah perjalanan dan menjadi bawah sadar kolektif orang Banjar. Jadi, menjadi
Banjar berarti menerima pergeseran orientasi budaya di sebuah wilayah geografis
yang melibatkan suku Maayan, Ngaju, Meratus, dsb. demi menghayati kebudayaan baru,
yang melibatkan Islam, Jawa, dan Melayu. Atau sebagaimana perkataan saya
sebelumnya, Banjar adalah masyarakat yang
selalu berada dalam ketegangan kultural untuk menjadi.
Klop dengan kisah perjalanan si penyair Doa Banyu Mata, yang berangkat dari
pusat komunitas awen suku Dayak
menuju pusat tanah Banjar. Puruk Cahu, tempat kelahiran si penyair, selalu
menyimpan kisah mengharukan tanah Banjar. Di sana syahid raja Banjar yang
terakhir, Gusti Muhammad Seman, di tangan kafir Belanda. Di sana juga bermakam
seorang pejuang gagah berani yang namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit
di Martapura, Ratu Zalecha. Ibu Mertua saya tahun 2010 lewat berkesempatan
menziarahi makamnya yang untuk menuju ke sana harus naik turun bukit, di dalam
hutan yang hanya mampu dilalui kendaraan roda 2. Puruk Cahu adalah tempat
pelarian sisa-sisa pejuang perang Banjar, dalam jabat hangat saudara tua suku
Dayak. Pergi madam si penyair, bagi saya, tidak saja untuk menuntut ilmu, tapi
juga untuk mencari “Banjar”. Bukan cuma Banjar yang dapat dihayati di Puruk
Cahu. Tapi Banjar yang menawarkan ketegangan kultural.
Berangkat dari ketegangan kultural itu, ada 2 sikap yang
mungkin muncul. Pertama, sikap relijius mengarah sufistik dan sikap bijak khas
Melayu yang melibatkan peribahasa-peribahasa. Kedua, sikap menertawakan karena
terlampau pahitnya menghadapi realitas. Humor-humor satir yang mengejek-maurahi, yang ingin keluar dari
kejenuhan, termasuk humor-humor yang menyerempet porno, termasuk humor yang
menjebak (mahalabio), menjadi
stereotif dominan orang Banjar. Puisi-puisi dalam Doa Banyu Mata, saya kira, tak lepas dari itu semua.
Beberapa puisi berikut membuat saya tersenyum simpul “Ubui lahai/Haraga mutur trak wan kuda/Bilang kurang labih haja lawan sasapu haduk”
(Barikin, hlm. 69), “Jalabiya ari samalam
disanga baasa sakalinya” (Panataran 1, hlm. 47), “Talah manalu piring/Tapi kanyangnya takaurang” (Panataran 2, hlm.
48), “Kadakah/himungnya/hampai/takantut-kantut/?”
(Sajak Gajih nang Katalu Walas 1, hlm. 42), “Ka ulu ka ilir/Muha saurang jua sakalinya nang dijanaki” (Gembira
Loka, hlm. 19), “Sahibar mancari luang
haja sakalinya lahai” (Hakikat Hidup, hlm. 63). Lihat puisi yang terakhir
saya kutip, bisa menjadi sebuah penggambaran yoni, untuk menyalakan insting hidup. Bisa mengarah ke lubang
kubur, sebagai insting mati. Inilah barangkali sikap lepas (nothing to loose) urang Banjar, sebagai
strategi menghadapi ketegangan kultural itu.
Kesimpulannya, Banjar adalah proses menghayati Islam
kultural, dengan menerima hegemoni “Jawa” atas dirinya, mengakui Melayu sebagai
ibunya, dengan sedapat mungkin berjarak dengan Dayaknya. Entahlah.
1,2.
Baca juga tulisan Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Sejarah Kehidupan di Tanah Banjar.
Di Blog yang bersangkutan.
Sabtu, 6 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar