Oleh M.
Nahdiansyah Abdi*
dr. IBG Dharma Putra,
MKM, demikian nama si empunya buku. Lahir di Banjar Tengah, Negara, Jembrana,
Bali, pada 1 Maret 1961. Memulai karir sebagai dokter atau kepala puskesmas (?)
di desa Kurau, Kabupaten Tanah Laut. Nasib mengantarkannya ke berbagai
rupa-rupa jabatan, di berbagai kota di Kalimantan Selatan, hingga terakhir
menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Barabai). Buku
Teriakan Diam diterbitkan dalam masa
itu. Namun, terhitung sejak 1 Desember 2013, ditarik ke provinsi dan diangkat menjadi
plt. Direktur RS Jiwa Sambang Lihum. Dan setelah ini, entah ke mana lagi.
Ada 44 (empat puluh
empat) puisi dalam kumpulan Teriakan Diam.
Sebagai kumpulan puisi debutan, barangkali puisi-puisinya tak terlalu istimewa.
“Aku ingin seperti Renda walau tak
sampai/Ingin pula meniru Tardji, Goenawan dan Emha/Kadang ingin jadi Taufik/Dan
sering sok Chairil Anwar, ” tuturnya dalam sajak Puisiku Sepi. Para pencari “efek kejut” dari puisi, dalam sekali
baca, barangkali tak akan menemukan apa-apa di sini. Tinimbang membincangkan
puisi, saya lebih tertarik dengan esai yang ditulisnya untuk buku ini. Judulnya
Kredo Penyembuhan.
“Puisi seharusnya punya kegunaan pragmatis di
samping makna filosofi yang dikandungnya. Tanpa hal tersebut maka puisi
hanyalah kegenitan pengisi waktu luang yang sia-sia,” tulisnya di paragraf
awal. Setelah itu, secara panjang lebar dijelaskan tentang interaksi jiwa,
badan (wadag) dan lingkungan kehidupan. Dikatakan bahwa jiwa adalah inti dan
bagian holistik dari kehidupan. Jiwa adalah abadi dalam pengembaraan filosofis
kosmis untuk mencari sumbernya. Dan dalam kehidupan, jiwa ikut ambil bagian
dalam alam kehidupan yang nyata. Pertemuan jiwa dengan domain holistik
kehidupan adalah takdir dan kenyataan, tulisnya.