Laman

Tampilkan postingan dengan label IBG Dharma Putra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IBG Dharma Putra. Tampilkan semua postingan

13.4.14

TERIAKAN DIAM DAN KREDO PENYEMBUHAN

Oleh M. Nahdiansyah Abdi*

           
Barangkali tak banyak yang tahu, bahwa saat ini, Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum dipimpin oleh seorang penyair. Muncul pertanyaan: “Bah, siapa pula yang mengangkat dia jadi penyair?” atau pertanyaan-pertanyaan sejenis. Lupakan sejenak pertanyaan yang sejak dulu jadi perdebatan itu. Setidaknya dokter lulusan Universitas Airlangga ini telah menelorkan sebuah buku kumpulan puisi. Judulnya Teriakan Diam. Diterbitkan Bali Kauh Publising, Bali, pada Januari 2011. ISBN: 978-602-98344-1-3. Buku dengan sampul hard-cover dan di dalamnya pun memakai kertas luks yang licin macam kertas majalah itu, dihantar oleh tulisan Nanoq da Kansas, penyair yang tinggal di Jembrana, Bali.
            dr. IBG Dharma Putra, MKM, demikian nama si empunya buku. Lahir di Banjar Tengah, Negara, Jembrana, Bali, pada 1 Maret 1961. Memulai karir sebagai dokter atau kepala puskesmas (?) di desa Kurau, Kabupaten Tanah Laut. Nasib mengantarkannya ke berbagai rupa-rupa jabatan, di berbagai kota di Kalimantan Selatan, hingga terakhir menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Barabai). Buku Teriakan Diam diterbitkan dalam masa itu. Namun, terhitung sejak 1 Desember 2013, ditarik ke provinsi dan diangkat menjadi plt. Direktur RS Jiwa Sambang Lihum. Dan setelah ini, entah ke mana lagi.
           
Dunia tulis-menulis sudah tak asing lagi bagi dokter berkumis lebat ini. Ia merupakan kolumnis tetap di Tabloid Berita Mingguan Jembarana Forum. Dari tulisan-tulisan itu sebagian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku. Maka lahirlah “Silat Lidah”, kumpulan artikel seputar otonomi daerah dan “Catatan di Atas Pasir”, yang merupakan kumpulan kolom yang pernah ditulisnya. 
            Ada 44 (empat puluh empat) puisi dalam kumpulan Teriakan Diam. Sebagai kumpulan puisi debutan, barangkali puisi-puisinya tak terlalu istimewa. “Aku ingin seperti Renda walau tak sampai/Ingin pula meniru Tardji, Goenawan dan Emha/Kadang ingin jadi Taufik/Dan sering sok Chairil Anwar, ” tuturnya dalam sajak Puisiku Sepi. Para pencari “efek kejut” dari puisi, dalam sekali baca, barangkali tak akan menemukan apa-apa di sini. Tinimbang membincangkan puisi, saya lebih tertarik dengan esai yang ditulisnya untuk buku ini. Judulnya Kredo Penyembuhan.            
“Puisi seharusnya punya kegunaan pragmatis di samping makna filosofi yang dikandungnya. Tanpa hal tersebut maka puisi hanyalah kegenitan pengisi waktu luang yang sia-sia,” tulisnya di paragraf awal. Setelah itu, secara panjang lebar dijelaskan tentang interaksi jiwa, badan (wadag) dan lingkungan kehidupan. Dikatakan bahwa jiwa adalah inti dan bagian holistik dari kehidupan. Jiwa adalah abadi dalam pengembaraan filosofis kosmis untuk mencari sumbernya. Dan dalam kehidupan, jiwa ikut ambil bagian dalam alam kehidupan yang nyata. Pertemuan jiwa dengan domain holistik kehidupan adalah takdir dan kenyataan, tulisnya.