artefak oleh M. Nahdiansyah Abdi
bila kau pernah melihat seekor burung
terbang meninggalkan sangkarnya
menembus langit putih cuaca
itulah aku – si burung gelatik yang terluka
mencari kemerdekaan di jagat semesta
(Kemerdekaan Gelatik)
Micky Hidayat, seorang penyair penting dari Kalimantan Selatan, puisi-puisinya telah banyak dibicarakan. Kukira ada benarnya ketika Agus R. Sarjono menyebut Sepi, Luka, Cinta dan Rindu banyak mewarnai puisi-puisi Micky. Pun ketika Isbedy Stiawan yang menyebut Micky masih bertahan di jalur puisi relijius-sosial yang menjadi trend generasi sastrawan 87-an. Atau komentar Jamal D. Rahman yang berkomentar bahwa puisi-puisi Micky kadang terdengar lirih seperti kersik daun di malam sepi, kadang terdengar lantang sebagai amarah batin sosial yang dikhianati. Sehingga aku pun hanya melanjutkan saja.
Membaca Meditasi Rindu, kumpulan puisi sejak tahun 1980 – 2008, pikiranku langsung terhubung dengan dua kata ini: Manik Depresi. Aku sendiri heran, bahkan kaget dengan pikiran itu. Bermalam-malam kemudian aku terganggu secara psikis untuk segera melampiaskannya dalam tulisan. Acak sekali. Kepalaku panas demi merangkai kata-kata di sekitar manik depresi. Memaksaku untuk membuka literatur psikiatri.
Manik depresi, lengkapnya Gangguan afektif tipe manik depresi, merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan satu golongan penyakit jiwa dengan gangguan afek (mood) sebagai gejala primer. Kelainan ini sangat khas sehingga seseorang menunjukkan keadaan gembira (mania) di suatu saat dan di saat yang lain menunjukkan kesedihan hebat (depresi). Ada juga yang menyebutnya gangguan siklotimik.
Berbeda dengan skizofrenia, yang pada akhirnya menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar atau runtuhnya kepribadian, seseorang dengan gangguan manik depresi biasanya hangat dan mudah bergaul, sering menceritakan tentang mudah naik turunnya rasa hati (cyclothymic affect), rasa berdosa dan tak berguna. Sedangkan seorang skizofren biasanya pendiam, menutup diri, dan jalan pikirannya sukar dimengerti, bahkan aneh.
Kembali ke Micky Hidayat, aku melihat ada puisi yang berciri depresi, di lain saat muncul puisi manik yang euforik dan gaduh gelisah. Mari kita mulai mengembara.
Sama seperti Agus R. Sarjono, aku pun akan mengutip ” Sajak Untukmu” yang merupakan sajak pertama dalam buku Meditasi Rindu ini.
bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu
bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu
bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu
bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu
bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu
Oke. Bagiku, keadaan depresi tergambar jelas di sini. kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku menjelaskan suatu ansietas dan kegelisahan motorik. Kesepian, ketidakberdayaan, rendah diri, perasaan bersalah, menghukum diri, melukai diri sedemikian rupa: bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku, munculnya reaksi formasi sebagai mekanisme pertahanan ego (bertindak dengan sadar dalam cara yang berlawanan dari keinginan bawah sadar): bila ternyata kau tak mencintaiku/ aku tetap menulis sajak-sajak untukmu. Suatu sikap keras untuk menutupi kekecewaan dan perasaan tidak berharga.
Peristiwa menghukum dan melukai diri sedemikian rupa banyak muncul dalam puisi-puisi selanjutnya. Demikian juga dengan kesepian, keterasingan, kecemasan, dan perasaan tak berharga dan tak berdaya. Sebagian yang kucatat:
No
Judul Puisi
Kata-kata yang digunakan
Indikasi
1
Tangkap Aku, Kekasihku
ikat kedua tangan dan kakiku dengan tali kasihmu/jerat tubuhku erat-erat di tiang cintamu
> Ketidakberdayaan
2
Mabuk Aku
Jiwaku tergoncang, pecah bertaburan/…
Akukah si pemabuk jalang
Hari-hari selalu sempoyongan
Hari-hari rasa pening menggoyang
> Kegelisahan yang kuat,derealisasi
3
Interlude (1)
sekarang aku sering merasakan
tertikam perih tak tertahankan
terperangkap gelisah berkepanjangan
> Kegelisahan, melukai dan menghukum diri
4
Aku Ingin Jadi Penyair Yang
menenggelamkanku ke kedalaman dasarnya
> Menghukum diri
5
Ada yang Memisah Kita
Ada yang memisah kita; kau dan aku
aku dan rindu, kita dan cinta
yang terluka dikoyak-koyak waktu
> Kepedihan, Ketidakberdayaan
6
Belati
sepisau belati menghunjam diri
> Menghukum diri
7
Interlude (2)
ditampar bosan, tubuhku bagaikan bola
ditendang waktu yang datang dan pergi
> Menghukum diri
8
Kemerdekaan gelatik
"terbang dan terus terbang dalam kepedihan/hanya angin menggerak-gerakkan sayapku..."
"tapi aku ingin memakan dagingku sendiri/dan minum darah keringatku sendiri..."
"itulah aku, si gelatik berlumur darah/ditikam kekecewaan dan teror tak pernah sudah/lantaran hidup melulu diwarnai kengerian/dan keputusasaan/ juga sekian banyak tuntutan..."
> Kepedihan, kekecewaan, keputusasaan
9
Mata Pisau
Mata pisau itulah yang senantiasa menghimpit kecemasanku
> Kecemasan, keterhimpitan
10
Di Kaki Malam
.....tentang mimpi-mimpiku yang menakutkan
> Ketakutan
11
Lagu Lapar
dari lapar ke lapar aku gelisah/dari nyeri ke nyeri lukaku, laparku makin berdarah/dari duri ke duri dukaku, aku pasrah berserah/dari rintih ke tak berdayaanku, aku menyerah
> Ketidakberdayaan, kegelisahan
12
Sajak Petualang
berlumur darah, perih, duka, mimpi,/
kenangan, kekecewaan, dan luka-cinta
> Kekecewaan
13
Kalau
kalau aku pohon, kaulah kapak/takik kulitku cencang dagingku/remukkan belulang tulangku
> Melukai diri
14
Perjalanan
sejumlah bayangan/mengejarku/
ingin menerkam/dan mengepungku
> Waham paranoid?
15
Sehabis Percakapan
Aku ingin tenggelam menyelam/
Ke dalam kegelapan dan ketiadaan
> Menghukum diri
16
Malam Jakarta
O, betapa asingnya kita, sayangku...
Bertahun-tahun aku mabuk, sempoyongan, sakaw, pikiran pening, jiwa tergoncang ditempeleng bosan...
> Keterasingan, keterguncangan
17
Instrumentalia Jakarta, 1
Sementara aku semakin terasing
dalam rahim peradaban, menggeliat-geliat dalam ruang industri teknologi, megap-megap di kedalaman sumur zaman tanpa dasar
> Keterasingan
18
Diskotek Tanamur
menusuki mataku yang liar
> Melukai diri
19
Aku tak sanggup lagi
Aku tak sanggup lagi memandang dunia/dengan segala warnanya/Sebab langit telah membutakan mataku/dan matahari yang terus memburu kematianku//Aku tak sanggup lagi mendengar segala doa/dan pekik-tangis duka/Sebab awan hitam telah menyumbat telingaku/Begitu pun hujan yang tak henti-henti/mengguyur tubuhku
> Ketidakberdayaan
20
Lanskap kota
Inilah kota/Kota tua, penuh jelaga/Seorang penyair yang hidupnya terpenjara/Senantiasa meratapi nasib kota/Dalam cemas dan duka
> Kecemasan, keterkungkungan
21
Daerah Kematian
Tak ada lagi kebebasan jalan bagi diriku
> Kehilangan harapan
Puisi-puisi manik Micky Hidayat ditandai dengan adanya kegelisahan yang gaduh, euforik, liar, erotik primitif, agresif, penuh bahasa-bahasa kekerasan, tekanan dan intonasi yang tinggi. Beberapa yang dapat dijadikan contoh: ... hari-hari adalah puisi/kucumbu-cumbu/kucium-cium/kujilat-jilat/kuremas-remas/dengan gairah berkobar/hingga libido/dan ereksi/memuncak/puisi/kuperkosa/sampai orgasme/dan perutnya yang bunting/kucakar-cakar/kucabik-cabik/kurobek-robek/hingga janin di rahim/berloncatan/berdarah-darah/berceceran/hingga daging dan tulang/berserakan/menggeliat-geliat/dalam ruang/syahwatku (Ekstase Puisi, 2).
Atau
beri aku kata-kata/setajam pisau setajam kapak/untuk menikam bumi sampai koyak/dan menghunjam langit sampai retak (Beri Aku Kata-Kata)
Atau
beribu kata tergeletak diam/satu demi satu kutikam/dengan pisau rinduku yang berkilat tajam/melampiaskan rindu dendam (Beribu Kata, 2006)
Atau
akulah api/terus menyala/terus berkobar/tak padam-padam/membakar negeriku/membakar sajak-sajakku (Fragmentasi Api, Angin, Air, dan Matahari, 2000)
Dalam pada itu, puisi-puisi kritik sosial dan puisi-puisi yang menghadapkan penyair vis a vis kota kumasukkan pula ke dalam golongan puisi Micky yang manik. Di sana ada kegelisahan yang gaduh, kemarahan, loncatan arus pikir yang cepat, dan suara-suara yang nyaring menghujat-meradang.
Contoh puisi yang menampakkan kegelisahan yang gaduh, yang diucapkan dengan intonasi tinggi dan kemarahan yang terpendam dalam ”Testimoni Penyair” (1995/1999)
.....Kita pidato sampai lidah keseleo dan ludah membusa bagai limbah sabun mandi, hingga mencemari panggung pertunjukan. Kita tertawa ngakak, menangis sesenggukan, melolong-lolong, meraung-raung kemudian merintih-rintih dengan teramat sempurnanya. Otak kita pun bercanggih-canggih mengutak-atik tentang bait-bait kemanusiaan, moralitas yang sedemikian gampang digadaikan, ingar-bingar peradaban, dan carut-marutnya hak asasi manusia. Kita pun merasa paling hebat berargumen dan berdebat soal ilmu, rumus-rumus, teori-teori, visi-misi, dan konsepsi-konsepsi. Dan kita merasa diri paling pakar bicara soal sistem-sistem nilai dan rekayasa politik, tatanan dan moralitas hukum, struktur ekonomi mikro dan makro, kualitas sumber daya manusia, dampak pencemaran lingkungan, kecanggihan informasi dan teknologi era globalisasi hingga ke persoalan stabilitas dan disintegrasi bangsa, dan seterusnya. Kita pun merasa dituntut untuk senantiasa berperilaku peka dan peduli dengan berbagai kenyataan yang menari-nari di hadapan kita: ketidakadilan, keserakahan, kesewenangan, ketimpangan sosial, kebobrokan moral, kemunafikan, perilaku elit politik lapar kekuasaan, soal pemasungan kreativitas hingga ke persoalan korupsi berjemaah berjilid-jilid, manipulasi tak habis-habis, monopoli, gratifikasi, suksesi, euforia reformasi dan omong kosong demokrasi.....
Atau
....Karena hari depanmu adalah buldoser, eksavator, chainsaw, dump truk, tronton raksasa, kontiner, tongkang, ekspor non migas, dan mesin-mesin peradaban... (Reportase dari Kaki Pegunungan Meratus, 2000)
Namun, keadaan manik puisi Micky tak bertahan lama. Ia seorang pembosan. Tahun 2000-an, puisi-puisi yang lahir kembali depresi, bahkan mengarah ke waham nihilistik. ”Jalan Sunyi Pendakian” (2002) kembali mengorek-ngorek kesunyian, tanpa matahari, tanpa waktu dan tuju, perjalanan melelahkan tanpa istirah dan keinginan untuk pulang. Mengingatkan pada sebuah dongeng Yunani, tentang seseorang yang dihukum mendorong batu ke puncak gunung. Sampai di puncak gunung, batu itu bergulir turun dan ia harus kembali mendorong. ”Tak Bisa Kucatat dalam Sajak” (2006) tentang ketidakberdayaan membangunkan kata-kata yang lunglai, ada rasa bersalah? Pun ”Telah Kuhapus Kata-kata” (2007) -- yang termasuk dalam 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 – Anugerah Sastra Pena Kencana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008 – keras menggaungkan kesiasiaan dan keputusasaan.
telah kuhapus kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan kecemasan
atau kekosongan dan kekecewaan
hingga langit yang kutasbihkan
pecah berkeping dan jatuh di lautan
Menghapus kata-kata. Aku lantas ingat cerita di dunia Arab tentang seorang perempuan yang siang menenun dan malam harinya merobek-robek hasil tenunannya. Aku tak tahu, apakah ”Telah Kuhapus Kata-kata” memiliki semangat yang sama? Depresi. Kesiasiaan. Nihilitas. Kenihilan makin terasa hembusannya ketika Micky menempatkan ”Sajak tak Berisi” (2008) yang benar-benar tak berisi karena hanya ada judul, ruang kosong, dan tahun pembuatan untuk menutup kumpulan sajak itu.
Aku pun mendapatkan puisi yang didalamnya ada keadaan depresi dan manik sekaligus. Bacalah ”SOS Kalimantan Selatan” (2008). Di sana ada displacement, suatu mekanisme pertahanan ego dalam psikodinamik yang mengalihkan emosi kegelisahan ke objek lain, dalam hal ini Kalimantan Selatan. Dimulai dengan keadaan melukai dan menghukum diri.
Teruslah perkosa aku/senafsu-nafsu syahwat rakusmu/tebas dan cabik-cabik tubuhku/
sebirahi-birahi erangmu/cakar dan bongkar isi perutku/sepuas-puas raungmu/Lemparkan jasadku/dari ketinggian jurang menganga/
Diakhiri dengan kesumat dendam, kemurkaan.
....jasadku akan bangkit menuntut balas atas perlakuanmu yang/ semena-mena, brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan/ yang adil apalagi beradab terhadap tubuhku.//Maka terimalah pelampiasan dendam-kesumatku:/
Instrumentalia Matahari (1999) juga memperlihatkan hal sama.
Etiologi
Namun tidak semua puisi Micky bercorak manik depresif. Ada juga puisi yang bercorak romantik dan mencoba bijaksana. Jumlahnya minoritas. Maksudku, ini yang benar-benar bersih dari ciri-ciri manik dan depresi yang membadai dalam puisi-puisi Micky. Pertanyaannya sekarang, apa yang menjadi etiologi (pencetus) dari gejala-gejala siklotimik dan sesekali bijak itu? Ini hanya hipotesis. Aku curiga pada proses identifikasi figur bapak. Pemilihan puisi ”Meditasi Rindu” menjadi judul buku, yang notabene merupakan monumen bagi mendiang sang bapak, mengisyaratkan hal itu.
Figur bapak, itu kuncinya. Dalam bahasan Psikologi Agama di Barat sana, figur bapak merupakan identifikasi awal menuju Tuhan. Dalam ketakterjangkauan akal dan kenaifan pikiran anak-anak, sifat-sifat bapak dinisbatkan kepada sifat Tuhan. Ada bapak yang penuh wibawa dan bijaksana, ada bapak yang menyayangi dan melindungi keluarga, ada bapak yang kesepian, romantis, lelah, marah, kecewa, dsb. Bapak selalu ”besar” di mata anak-anak. Dari sana muncul istilah ”Bapak di Sorga” untuk menunjukkan figur bapak yang berkuasa. Relijiusitas dalam konteks ini mewujud dalam citra anak kecil yang mengadu kepada bapaknya. Bapak menjadi tempat berkeluh kesah, menumpahkan kekecewaan, kekalahan, ketakberdayaan. Bapak dipaksa pasang badan untuk membela kesenangan anak.
Kupikir, semua puisi Micky berpusar di sekitar identifikasi figur bapak. Sebagaimana gangguan manik depresi yang bisa dicetuskan oleh kehilangan obyek yang dicintai, maka puisi-puisi manik depresi Micky kemungkinan munculnya diakibatkan bayang-bayang kehilangan figur bapak. Dan ketika kehilangan itu benar-benar terjadi, kesakitan yang muncul disublimasikan menjadi rindu. Rindu yang pedih dan meditatif.
Mengingat kembali dirimu/Keterasingan dan sunyi pun menyapa/Menulisi air mata, di antara kata-kata liar buruanku/Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan.(Meditasi Rindu, 2001/2002)
Puisi itu mengungkapkan dengan sukses kekaguman sekaligus ketidakberdayaan aku-lirik lepas dari kebesaran figur itu.
Bayang-bayang wajahmu/Menjelma jadi rembulan dan bintang-bintang/Di hamparan sajadah kebijaksanaan.....
Sedangkan aku di sini, di puncak kerinduan ini/Beribu tahun memunguti kesepian tak terperi/Dalam ketidakberdayaan – di ruang kefanaanku/Dan menanti, akankah kau bakal datang lagi/Dengan senyum tulusmu/
Upaya untuk melepas diri dari bayang-bayang kebesaran bapak sebenarnya sudah disiratkan dalam ”Kemerdekaan Gelatik” (1982), namun yang didapatnya hanya luka, sepi, pedih, kecewa. Simbol Gelatik sendiri menyiratkan sesuatu yang kecil, lemah, ringkih.
bila kau pernah melihat seekor burung/terbang meninggalkan sangkarnya/menembus langit putih cuaca/itulah aku – si burung gelatik yang terluka/mencari kemerdekaan di jagat semesta// .........aku tak ingin lagi terperangkap dalam sangkar/kemewahan, yang dipasang beribu tangan/dan disambut dengan upacara sakral dan kehormatan/ .... o, akulah si gelatik yang terbang sendiri/akulah si gelatik yang berkicau tak henti-henti/di kesunyian abadi//
Di lain puisi, bayang-bayang kehilangan itu dibungkus dengan sesuatu besar (langit dan bintang-bintang) untuk mereduksi kesakitan yang timbul. Puisi ”Lukisan Bapak” dibuat tahun 1987, empat belas tahun sebelum figur bapak meninggal (2001). Di akhir puisi itu bahkan dibayangkan bahwa kehilangan itu sudah benar-benar terjadi. Aku akan mengutip lengkap puisi tersebut.
bapakku senang memandang langit
memandang bintang-bintang
karena langit terus berkibar menyimpan
rahasia hidupnya
dan bintang-bintang senantiasa memancar
dalam jiwanya
bapakku jatuh cinta pada langit
pada bintang-bintang
dicumbu-cumbunya dalam gairah
yang berkobar
hingga langit dan bintang-bintang tergoncang
mengucurkan darah hitam dari tubuhnya
yang terbongkar
bapakku mati di langit
ditaburi bintang-bintang
1987
Demikianlah, puisi-puisi Micky yang siklotimik, antara kelemahan dan ketidakberdayaan gelatik kecil (yang menimbulkan depresi) dan naluri pemberontakan / keinginan akan kebebasan dan melepas diri dari figur Bapak (menimbulkan ciri manik). Di antara itu, identifikasi figur bapak yang bijaksana dan romantik turut menyumbang pula ke dalam puisi-puisi Micky. Mewarnai sebagian kecil sajaknya.
Indikasi lain, gejala manik depresi biasanya diikuti gejala fisik seperti insomnia (gangguan untuk memulai atau mempertahankan tidur, atau tidak merasa tertirah setelah tidur), anoreksia (melaparkan diri), gangguan pencernaan (maag), penurunan berat badan atau kehilangan libido. Maka di puisi-puisi Micky pun aku menemukan diksi-diksi di sekitar itu: perut, lapar, ketidakmampuan istirah, gairah, syahwat, perkosaan, dsb. Semua diksi-diksi itu demikian mencekam dan hidup dalam puisinya masing-masing.
Terakhir, jangan terlalu serius. Selalu masih ada harapan. Di antara kesimpangsiuran, kehilangan-kehilangan, perasaan sia-sia, harapanlah yang menjadi bintang kejora. Dan Micky dengan sepenuh sadar menanam bibit itu dalam puisi ”Sebab Sajak masih Kutulis” (2008). Dan lagi, siapa tahu aku sedang membual di siang bolong.
Banjarmasin, 28, 29, 30 Nov, 1 Desember 2008
Referensi:
1.Meditasi Rindu, kumpulan puisi 1980 – 2008, Micky Hidayat.
2.Buku Saku Psikiatri. 1997. Residen Bagian Psikiatri UCLA. Alihbahasa: R.F. Maulany. Penerbit EGC, Jakarta.
3.Catatan Kuliah Psikiatri edisi 6. 1993. I.M. Ingram, G.C. Timbury, R.M. Mowbray. Alihbahasa: dr. Petrus Andrianto. Penerbit EGC, Jakarta.
4.Ilmu Kedokteran Jiwa. 1979. R. M. Roan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar