(Membaca Novel Galuh Hati, Randu Alamsyah)
Oleh M.
Nahdiansyah Abdi
Saya membaca novel Galuh Hati (Moka Media, Jakarta,
2014) dengan dibayangi foto penulisnya di facebook yang diapit
dua dara itu. Novel ini mampir ke rumah saya sebab rengekan isteri yang minta
dibelikan itu novel begitu terlihat olehnya sampulnya di sebuah koran lokal.
Ah, kenapa perempuan suka dengan hal-hal yang nampak kemilau? Saya diberinya
uang untuk berburu buku itu ke rumah Harie Insani Putra. Namun buku itu malah
dibeli saat ada jualan buku di depan Perpustarda Kota Banjarbaru, beberapa
waktu kemudian. Waktu beli buku itu kepergok sama Sandi Firly. Dan diam-diam saya
sedikit merasa bersalah karena tidak juga membeli dan
membaca novel Lampau yang terbit
belum lama berselang.
Di rumah, saya desak isteri saya
supaya segera membaca, biar kali ini saya berposisi sebagai pendengar saja. Saya geleng-geleng kepala karena ia membaca dari
halaman belakang.
Saya memprotes: “Apa serunya, kalau begitu!” kata saya. Tak berapa lama ia lemparkan buku itu. Ia
ketakutan. Ia merasa ngeri karena di dalamnya ada kisah pembunuhan. Ia memang
sensitif beberapa tahun belakangan ini. Sampai kemudian saya mengkhatamkan
novel Lampau-nya Sandi Firly, Galuh
Hati tetap belum tersentuh.