(Perbincangan melebar
atas sajak Kalimantan Selatan 2030
Kemudian, karya Micky Hidayat)
Oleh M. Nahdiansyah
Abdi
Sebuah sajak
yang marah, yang berkabar tentang kehancuran dan tragedi, apa nikmatnya?
Bagaimana cara “berdamai” dengan puisi yang gegap gempita menceritakan murka
dan amukan alam. Saya tak tahu caranya dan sebenarnya tidak terlalu ingin
menghadapi “amukan” kata-kata mengerikan dalam tubuh makhluk yang lembut
seperti puisi. Menghadapi orang-orang gangguan jiwa di rumah sakit saja sudah
repot. Tapi kalau mau ditelusuri, ada saja penyair yang mau mengolah tema
tersebut. Salah satunya adalah penyair Micky Hidayat, yang menulis puisi Kalimantan Selatan 2030 Kemudian. Puisi
tersebut dapat ditemukan di antologi “Sungai Kenangan” (ASKS IX, Banjarmasin,
2012). Konon, puisi tersebut merupakan metamorfosis dari puisi SOS Kalimantan Selatan yang terdapat
dalam kumpulan “Meditasi Rindu”.
Jika
merunut lebih awal, di era Pujangga Baru, penyair Amir Hamzah telah pula bertutur
tentang huru hara alam. Di sajak Hanya
Satu, dalam kumpulan “Nyanyi Sunyi”, si penyair bersenandung:
Timbul
niat dalam kalbumu:
Terban
hujan, ungkai badai
Terendam
karam
Runtuh
ripuk tamanmu rampak
Manusia
kecil lintang pukang
Lari
terbang jatuh duduk
Air naik
tetap terus
Tumbang
bungkar pokok purba
Teriak
riuh redam terbelam
Dalam
gagap gempita guruh
Kilau
kilat membelah gelap
Lidah
api menjulang tinggi
dst.
Meskipun
sama-sama berkabar tentang ngerinya sebuah bencana, namun antara puisi Amir
Hamzah dan Micky Hidayat terdapat perbedaan. Amir Hamzah lebih menekankan
dialognya dengan Tuhan, sedang alam hanya sebagai pelengkap. Alam tak lebih
dari sesuatu yang mati, yang tidak berkehendak, barang ciptaan, instrumen,
sesuatu yang hanya memiliki nilai guna. Sedang dalam puisi Micky Hidayat,
sunnatullahnya lebih dikedepankan. Alam menjadi hidup, memiliki tubuh, mati,
dan dapat menuntut balas. Alam bisa melampiaskan dendam kepada manusia yang
dulu pernah menyakitinya. Dialog dengan Tuhan, nyaris atau bahkan tidak ada
sama sekali.
Bumi
yang hidup, saya pikir, mendekatkan kita pada sebuah paradigma yang dikenal
dengan “ekologi-dalam”. Aliran filsafat ini didirikan oleh Arne Naess, seorang
filsuf Norwegia di awal tahun 1970-an. Ekologi-dalam merupakan pandangan dunia
yang mengakui nilai yang melekat pada kehidupan nonmanusia. Semua makhluk
dianggap sebagai anggota komunitas ekologis yang terikat bersama dalam suatu
jaringan yang saling tergantung. Dalam konteks ini, nilai yang melekat pada
makhluk hidup didasarkan pada pengalaman ekologis-dalam atau spiritual bahwa
alam dan diri itu satu. Sehingga hubungan antara persepsi ekologis atas dunia
dengan perilaku bukan lagi hubungan logis, tapi hubungan psikologis. Beberapa
penulis menggunakan istilah lain seperti “ekologi transpersonal” oleh filsul
Waraick Fox atau istilah “eko-psikologis” oleh sejarawan budaya Theodore
Roszak.
Pada
saat yang hampir bersamaan, muncul ide-ide dan penelitian tentang sistem
pengaturan diri. Ilmuwan syaraf Chili, Humberto Maturana bekerjasama dengan
Francisco Varela, menggunakan istilah teknis Auto-poiesis. Kata poiesis sendiri memiliki akar kata Yunani yang sama
dengan kata ‘puisi’, yang berarti membuat. Di dalam pola jaringan ini, fungsi
tiap komponen adalah membantu menghasilkan dan mentransformasikan
komponen-komponen lain mempertahankan sirkularitas jaringan. Dan itulah yang
menjadi landasan bagi ‘pengaturan hidup’. Dalam kesimpulan Maturana:
“Sistem-sistem hidup adalah sistem-sistem kognitif, dan hidup sebagai suatu
proses ialah proses kognisi. Pernyataan ini berlaku bagi segenap organisme,
dengan atau tanpa suatu sistem syaraf.” Wawasan sentral dari penyelidikan
Maturana terhadap persepsi warna, ternyata membawanya pada kesimpulan bahwa kognisi
adalah sebuah fenomena biologis.
Ide-ide
tentang pengaturan diri ini, ternyata juga memesona kimiawan atmosferik, James
Lovelock. Ia merumuskan model pengaturan-diri yang indah – ide bahwa planet
bumi sebagai sebuah sistem hidup, yang mengatur dirinya sendiri. Awalnya,
Lovelock yang bekerja di NASA meneliti komposisi kimiawi atmosfir planet Mars
untuk mendeteksi adanya kehidupan. Ia menemukan fakta bahwa organisme hidup
mengambil energi dari materi dan membuang hasil-hasil yang tak berguna. Pada tingkatan
planet, atmosfir dan lautanlah yang menjadi media untuk mengalirkan bahan-bahan
mentah dan hasil-hasil tak berguna. Bekerjasama dengan biolog Amerika, Lynn
Margulis, ia kemudian membuat teori Gaia. Menggabungkan konsep-konsep dari
kimia, termodinamika, sibernetika, geologi, mikrobiologi dalam sebuah perpektif
sistemik. Penamaan Gaia sendiri merupakan ide atau saran dari teman Lovelock
yang seorang novelis, berangkat dari mitos kuno tentang Dewi Bumi.
Konsep
Gaia memperlihatkan sistem planeter yang beroperasi pada skala yang besar dalam
ruang dan skala waktu yang panjang. Ada kesalinghubungan antara bagian-bagian
planet yang hidup: tumbuhan, hewan, mikroorganisme, manusia, bebatuan (bukit,
gunung), lautan, dan atmosfir. Namun
citra Gaia sebagai makhluk yang sadar dan peka menjadi senjata utama penolakan
hipoteses Gaia. Penyerang-penyerang teori ini melontarkan kritik yang sinis:
“Adakah rapat panitia tiap-tiap spesies untuk merundingkan temperatur suhu
tahun depan?” Konsep ini dituding terlalu teleologi. Dan Lovelock menjawabnya
dengan suatu model matematika komputer yang disebutnya “Daisyworld”. Ia
memprogram persamaan-persamaan matematis yang cocok bagi sebuah planet dengan
melibatkan matahari, bunga daisy putih dan hitam. Makin ke sini, program makin
canggih dan kompleks. Ia mulai menambahkan pigmen yang bervariasi, memasukkan
kelinci dan rubah yang memakan kelinci, memasukkan pula bencana-bencana. Dan
pada gilirannya, temperatur planet terjaga secara konstan melalui tarian-tarian
bunga daisy. Singkat kata, teori Gaia memperkuat paradigma tentang
pengaturan-diri dalam sebuah jaringan. Sistem Gaia memiliki sifat
melestarikan-diri.
Paradigma
jaringan, sedikit banyak meredakan ketakutan saya terhadap gejala-gejala alam
yang besar. Sudah jamak terjadi, anak manusia takjud dan terpesona, kalau tidak
dikatakan takut, menghadapi fenomena-fenomena alam yang akbar. Sebuah bencana
dan penghancuran, barangkali merupakan tragedi bila ditilik dari segi
kemanusiaan, tapi dalam paradigma jaringan, bencana adalah sebuah proses pengaturan
diri, proses menuju keseimbangan kembali. Kebaikan dan kejahatan, yang
dilakukan manusia adalah sebuah proses kognisi. Dan seperti dikatakan Maturana,
bahwa kognisi adalah sebuah fenomena biologis. Dan sebagai bagian dari jaringan
yang terhubung satu sama lain, maka apapun yang kita lakukan selalu menuju
harmoni dan keseimbangan, atau dalam bahasa konsep autopoeisis, selalu mempertahankan sirkularitas jaringan. Alam
tidak bisa dilawan. Ia memiliki harmoninya sendiri. Dan ia memiliki cara
sendiri untuk membersihkan diri, untuk kembali kepada harmoninya. Barangkali
kejam. Alam telah disetting, siapapun yang menabrakkan diri pada harmoni alam
akan hancur dengan sendirinya.
Maka
demikianlah, hawa nafsu yang merusak seperti ketamakan/keserakahan,
kesombongan, dengki, telah merubah komposisi bumi atau katakanlah alam semesta menjadi
tidak stabil. Nilai-nilai yang asertif, semacam kompetisi, ekspansi, dominasi –
meskipun itu memberikan imbalan ekonomi dan kekuasaan politik, harus diimbangi
dengan penyatuan-diri (self-integration).
Orang-orang harus diajak berpikir lebih sistemik-holistik, sintesis, intuitif
dan nonlinier. Dosa-dosa, yang sering diingatkan oleh agama-agama samawi,
adalah kognisi menyimpang yang menyebabkan ketidakseimbangan. Dosa-dosa adalah
sinyal-sinyal penghancuran diri yang melawan sistem pelestarian-diri dari gaia.
Adalah suatu penyimpangan ekologis. Lalu di manakah tempat puisi?
Adalah Niklas
Luhmann, sosiolog Jerman, yang mengembangkan konsep autopoiesis sosial. Ia menggambarkan bahwa sistem-sistem sosial
menggunakan komunikasi sebagai reproduksi autopoietiknya yang khas. Penutupan
jaringan akan tercapai jika ada suatu sistem kepercayaan, penjelasan, dan
nilai-nilai yang dianut bersama. Namun karena prosesnya berlangsung dalam
bidang sosial simbolik, maka batas-batasnya tak boleh berupa batas fisik.
Batasnya lebih berupa batas pengharapan, kepercayaan, kesetiaan, dan
sebagainya. Batas-batasnya selalu dipertahankan dan dirundingkan ulang secara
terus-menerus melalui jaringan percakapan yang bersifat autopoietik. Lalu di
manakah tempat puisi? Puisi, sederhananya, adalah sebuah percakapan
autopoietik. Sama seperti kitab suci, ia bergerak dalam bahasa simbolik. Ia
menjadi cara terlembut untuk kembali kepada keseimbangan. Cara kasarnya, dengan
amukan dan penghancuran oleh alam. Karena setelah penghancuran, ada kelahiran
kembali, ada kebangkitan, ada keseimbangan.
Mungkin, puisi-puisi
macam ini dapat digolongkan sebagai puisi yang bersifat profetik. Puisi-puisi
langit. Saya pikir, puisi profetik tidak mesti harus berciri sufistik. Ia
mestinya menggugah kesadaran tentang sesuatu yang lebih besar dari sekedar
kemanusiaan. Ia mengarah pada integrasi atau penyatuan. Sering dikatakan telah
mencapai puncak bila seseorang sudah asyik berdua-dua (atau bersatu) dengan
Tuhannya. Ia akan meninggalkan keduniawian. Tidak ada lagi puisi-puisi bumi. Ia
mabuk. Tenggelam. Atau apapun istilah-istilah yang diberikan. Namun bukan
seperti itu keteladanan dari Sang Nabi. Bertemu Allah dalam peristiwa Mi’raj,
tidak lantas lupa dengan kehidupan dunia. Beliau kembali ke kekotoran dunia.
Mengajak, menyeru, mengingatkan. Dan seperti itu juga mestinya puisi profetik,
tidak lantas berhenti pada puisi-puisi sufistik lalu selesai. Ada sebuah
tanggung jawab puitik. Mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi.
Maka
demikianlah kita renungi lagi sajak-sajak bersuara gempita tersebut. Ia
barangkali memberitakan kehancuran, tapi di atas kehancuran itu semoga tumbuh
sebuah kesadaran baru. Memang bahasa yang digunakan penyair Micky Hidayat cenderung
antroposentris. Sesungguhnya saya agak kurang senang dengan penggunaan kata
“perkosa”, “menuntut balas” atau “pelampiasan dendam kesumat”. Namun itulah
bahasa simbolik dalam sebuah percakapan autopoeitik. Ia tampil sebagaimana
adanya. Dan dengan berakhirnya puisi Kalimantan
Selatan 2030 Kemudian, maka berakhirlah pula tulisan ini. Semoga
bermanfaat.
Kalimantan
Selatan 2030 Kemudian
Teruslah perkosa aku
senafsu-nafsu syahwat rakusmu
tebas dan cabik-cabik tubuhku
sebirahi-birahi erangmu
cakar dan bongkar isi perutku
sepuas-puas raungmu.
Lemparkan jasadku
dari ketinggian jurang menganga
hingga ruhku melayang-layang di udara
melintasi gunung dan samudera tak bernama
menjelajahi hutan-hutanku yang sirna tanpa suara.
Renungkanlah! Sebuah
peristiwa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah kemanusiaan, betapa
tragis dan memilukan: tahun 2030 nanti, jasadku akan bangkit menuntut balas
atas perlakuanmu yang semena-mena, brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan
yang adil apalagi beradab terhadap tubuhku.
Maka terimalah pelampiasan
dendam-kesumatku: bumi Kalimantan Selatan beserta seluruh isinya ini akan
kutenggelamkan dan kurendam sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu
pulau ini. Maka terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kusirnakan
sesirna-sirnanya. Jangan pernah kau cari lagi di mana geografi kabupaten
Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu
Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, kota
Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kuhabiskan dan lenyap tanpa sisa – hilang
dari peta kemanusiaan.
Terimalah gelegak air bah
amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas keserakahan, kerakusan dan
kesewenang-wenangan manusia memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam ini.
Segalanya kulumatkan, kululuh-lantakkan, kuhancurleburkan!
Jangan kalian cari tempat
mengungsi ke bukit-bukit dan gunung-gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah
lenyap kutenggelamkan. Tiada guna lagi kalian cari kapal Nuh penyelamat nyawamu.
Jangan kau cari
lagi rahim kehidupan, sebab
kehidupan telah tiada. Semuanya telah kutuntaskan dan kutamatkan!
Maka terimalah karmaku – ini
bukan sekadar kiamat qubra, tapi sebenar-benar kiamat bagi dosa-dosa kalian
sebagai manusia.
2008
Gambut, 20 Maret 2014
Nb. tulisan ini banyak mengambil inspirasi dari buku
Fritjof Capra, The Web of Life.
Diterjemahkan menjadi Jaring-jaring
Kehidupan. Oleh Saut Pasaribu. Penerbit Fajar Pustaka Baru. 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar