Oleh: M. Nahdiansyah Abdi
Kita hidup dalam budaya lisan yang kental.
Kelisanan itu muncul dari pelisan, sebagai aktor utama, dan penonton, di sisi
yang berseberangan. Budaya menonton telah menjadi bagian dari hidup kita. Seni
tradisi kita hanya dipenuhi tontonan. Seni tari, seni musik, seni drama,
niscaya mensyaratkan hadirnya penonton. Madihin, mamanda, bakisah, balamut, basyair,
musik panting, aneka tarian, memiliki kegairahan dengan adanya penonton.
Jadilah ketika televisi hadir, tradisi menonton kita menemukan oasenya.
Televisi hadir 24 jam, memungkinkan kita mengatur waktu untuk memelotinya
sesuai dengan waktu lowong kita. Jangkauannya luas, melintasi berbagai ruang
dan waktu. Acara hari ini, bisa ditayang
esok hari, dan esok lagi, dan esok lagi, dan bertahun-tahun kemudian hingga
menjangkau manusia yang akan datang.
Para penguasa zaman dulu, para raja, para sultan, kebanyakan lebih tertarik memuaskan gairah menonton para kawulanya. Aneka jenis tarian, musik-musik, upac ara-upacara, dihadirkan dalam keriuhan massa. Hanya sedikit yang peduli dengan keberaksaraan.Jarang terdengar penguasa di tempat kita punya perpustakaan pribadi. Mereka lebih memelihara para penari, joker (pelawak istana), pemusik. Keberaksaraan menempuh jalannya yang paling sunyi. Jalan para empu.
Tradisi sastra
kita, (barangkali) juga masih berkisar di seputar budaya menonton. Semacam
sastra laporan pandangan mata dan kabar-kabar angin. Sastra yang terlalu
mengandalkan bakat alam. Hasil dari mengamati, mendengar, dan sedikit merenung.
Bukan hasil dari bertekun-tekun membaca literatur. Kalaupun terbaca literatur
juga, maka cuma sedikit dan dangkal pula.
Saya menilai,
maju tidaknya perkembangan sastra di satu daerah, bukan dilihat dari banyaknya
pementasan atau pertunjukan berbau sastra. Juga bukan dari banyaknya forum
diskusi atau pertemuan-pertemuan sastrawan. Itu hanya keriuhan sesaat. Itu
hanya memuaskan hasrat kita untuk menjadi aktor dan memenuhi kebutuhan sesaat
kita akan sebuah tontonan. Apa beda, misalnya, forum diskusi sastra dengan
budaya mawarung kita? Sekedar
mahalabiu, mengebuau, bakisah, dan esok kembali lagi dengan kisah hanyar pulang. Tradisi keberaksaraan
menuntut adanya tulisan, menuntut teks. Tanpa adanya buah pikiran yang
dituliskan, maka forum diskusi sastra hanya kelanjutan dari tradisi lisan saja.
Namun, apakah
sebuah tulisan saja cukup untuk menguatkan tradisi keberaksaraan? Tentu saja
belum. Penulis mungkin disebut penulis dengan menulis. Namun tradisi keberaksaraan
adalah tradisi buku atau pustaka. Penulis karya sastra harus sejak dini
disadarkan bahwa pada akhirnya, kita tak cukup dengan menulis saja, tapi juga
membukukannya. Menulis adalah satu soal, dan membukukannya adalah persoalan lain,
yaitu persoalan yang lebih serius, persoalan manajemen. Buku mengorganisir
gagasan sehingga pembaca memiliki wawasan yang lebih utuh terhadap satu soal
atau proses kreatif seorang penulis. Tentu tidak nyaman memaksa pembaca kita
mengumpulkan tulisan-tulisan terserak kita, dari dulu hingga sekarang. Jika
tulisan bagus, barangkali ada “penggemar” yang secara sukarela mengumpulkannya.
Tapi itu sulit terjadi (baca: bukan berarti tidak mungkin) bagi pemula. Penulis
adalah editor dan manajer pertama dari tulisan-tulisannya sendiri.
Berapa sih buku tulisan anak banua yang terbit
dalam setahun? Ini pertanyaan serius. Karena pertanyaan inilah yang akan
mengukur seberapa kuat tradisi keberaksaraan kita. Tidak masalah kalau misalnya
buku yang terbit hanya sebuah ulasan sederhana tentang seni tradisi. Itu akan
menjadi bahan pustaka berharga ketimbang hanya dipentaskan dan dipentaskan
lagi. Namun masalah serius juga menghadang. Memilikikah kita rumah bagi
pustaka-pustaka itu? Apa yang dilakukan H.B. Jassin dan Korrie Layun Rampan
dengan pusat dokumentasinya masing-masing, atau Rumah Puisi-nya Taufik Ismail, niscaya sebuah tindakan berdimensi jauh ke depan. Jadi, bukan hanya soal menerbitkan buku saja.
Kita memang belum
akrab dengan budaya aksara, kita hanya lebih riuh merayakan tradisi lisan. Kita
lebih kuat menonton ketimbang membaca. Kita lebih suka berbicara ketimbang
menulis. Kita lebih suka berdebat dan mencela daripada berpolemik lewat
tulisan. Tradisi aksara adalah jalan kaum nyleneh,
adalah anomali dalam masyarakat kita.
Gambut, 14 September 2013
* tulisan ini didedikasikan
untuk Hajri: “Sagin ente, wal ai…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar