(Antara perlawanan dan kompromi)
Oleh M. Nahdiansyah Abdi
Awal
Habislah saya. Saya sudah menolak untuk bicara “Mata untuk Mama” (MuM), kumpulan cerpen dan puisi Sainul Hermawan. Saya ingin berada dalam posisi penikmat saja, sambil sesekali terkagum-kagum dengan rumpun liar kata-kata. Saya sudah menolak, namun karisma orang ini sungguh besar. No mercy, teriaknya lewat sms. Seperti ada tangan kekuasaan gaib yang mencengkeram saya dan membuat saya kesulitan bernafas. Titahnya sudah tetap dan sejak itu, berkali-kali saya mengutuki diri.
Betapa tidak, ia datang ke tanah banjar ini dengan kemegahan pengetahuan, seakan mengulang lagi kedatangan Pangeran Surianata untuk dirajakan. Kesaktiannya ada pada kata, pada pengetahuan. Dan pengetahuan dapat berarti kekuasaan. Saya dapat merasakan ketidakpedean beberapa sastrawan dalam menulis “kritik sastra” paska kedatangan orang ini. Secara tersirat, mereka mengakui kekuasaan Sainul dan sedikit merendah. Dalam “Hikayat Banjar” kedatangan Pangeran Surianata dari pusat kerajaan Majapahit difasilitasi oleh Lambung Mangkurat setelah melalui kegiatan balampah/bersemedi, maka sekian abad kemudian, Lambung Mangkurat (melalui Universitas Lambung Mangkurat) kembali berperan menjemput seorang “bangsawan Majapahit”, seorang lulusan Pascasarjana Sastra Universitas Gadjah Mada. Kita sudah mafhum siapa Gadjah Mada. Dialah ikon terbesar Majapahit, yang bahkan mengalahkan rajanya (karena tak ada Universitas Hayam Wuruk!). Begitulah pikiran konyol saya yang tiba-tiba muncul.
Jalan bercabang
Saya tak punya ide ketika pertama kali memegang buku MuM. Mau mulai dari mana? Bingung. Akhirnya saya mulai dari membaca prolog (oleh Aprinus Salam) dan Epilog (oleh M. Faizi). Selanjutnya hanya membolak-balik halaman tanpa tujuan, depan ke belakang, belakang ke depan, sampai mata saya tertumbuk pada judul cerpen “Aku Benci Hari Senin”. Saya tergerak. Mungkin ada bagian dari ingatan masa lampau saya yang bereaksi, mungkin saya teringat nama group band “I hate Mondays” yang ketika kuliah di Yogya dulu kerap manggung dan menghiasi selebaran-selebaran di kampus.
Cerpen “Aku Benci Hari Senin” (hlm. 97) mengambil sudut pandang seorang anak perempuan kelas dua sekolah dasar. Namanya Nauka, sama persis dengan nama anak Sainul, Nauka Nayana Prasadini. Kita berhenti dulu. Saya ingin menukil tulisan Sainul dalam Prakata: “Cerita mereka saya abadikan, dalam sajak dan cerita. Ada cerita yang sepenuhnya khayali, tetapi sebagian besar cerita dan puisi dalam buku ini bersandar pada kisah nyata yang difiksikan.” (hlm. iv). Di sini Sainul secara sadar membuat statement dan memiliki motif yang jelas dalam menulis. Namun sesungguhnya saya terganggu dengan ungkapan “saya tidak cengeng, cuma perasa.” (hlm. 97) dan itu diulang lagi di bagian lain. Saya sebenarnya ingin bertolak dari ungkapan ini. Namun saya berada dalam dilema. Saya menghadapi jalan bercabang, persis seperti pertemuan Gordon Allport (1897-1967) dengan Sigmund Freud yang mengubah pendekatan Allport terhadap kepribadian.
Musim panas tahun 1920, Allport (yang ketika itu berusia 23 tahun dan baru memperoleh gelar sarjana muda dari Harvard, dan setelah satu tahun mengajar di Robert College, Istambul, Turki) menyempatkan diri singgah ke Wina sebelum kembali ke Amerika Serikat. Ia mengunjungi saudaranya, sekaligus memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu Freud. Ia menulis surat dan Freud menjawabnya dengan mengirim undangan. Hari H, Freud mengantar Allport ke kantornya dan duduk, tak berkata apa-apa, cuma memandang lekat ke arah Allport. Dipandangi terus menerus dengan tatapan mata yang kuat dari ahli psikoanalisis yang terkenal di dunia ini, tentu saja membuat Allport tidak enak. Akhirnya, karena putus asa terhadap cara memulai percakapan, Allport hanya menceritakan suatu peristiwa yang dilihatnya sewaktu naik trem ke tempat Freud.
Allport bercerita tentang seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang kelihatan takut akan kotor dan percaya bahwa segala sesuatu di sekitarnya adalah kotor. Selama naik trem, anak itu selalu mengeluh pada ibunya: “Saya tidak mau duduk di sana. Jangan biarkan orang laki-laki yang kotor itu duduk di samping saya.” Ibu si anak, kelihatan bagi Allport sebagai orang yang bersifat menguasai, sangat rapi dan mengenakan pakaian yang dikanji dengan baik. Bagi Allport ketakutan anak itu terhadap kotor adalah jelas.
Selesai bercerita keheningan makin menjadi-jadi. Sementara Freud tetap menatap anak muda Amerika yang rapi dan sopan itu. Keheningan pecah saat suara Freud yang berat berkata,” Dan apakah anak laki-laki itu anda?” Allport terkejut tapi berhasil mengalihkan pembicaraan. Bagi Freud, pertanyaannya itu didasarkan pada kepercayaan bahwa apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang-orang memperlihatkan konflik-konflik batin dan ketakutan-ketakutan mereka sendiri. Pun banyak yang percaya bahwa pertanyaan Freud kepada Allport penuh dengan wawasan dan banyak mengenai sasaran. Tapi tidak bagi Allport. Pertemuan itu meninggalkan bekas yang dalam yang akhirnya menyebabkan Allport menolak psikoanalisis. Allport bahkan menganjurkan agar ahli-ahli psikologi bekerja di permukaan, pada kesadaran dan motif-motif yang jelas daripada terjun pada kedalaman ketidaksadaran. Allport mendapat gelar Ph.D dari Harvard tahun 1922 dan ia menempuh jalan yang diyakininya sendiri dalam penelitian-penelitiannya.[1].
Dan saya pun dihadapkan pada dua pilihan, Allport atau Freud? Kesadaran atau ketidaksadaran? Motif Sainul sudah jelas: ingin mengabadikan dan membagi cerita. Jauh-jauh hari ia sudah menancapkan patok, secara sadar! Atau berpihak ke Freud, dengan menanyakan: “Mas Sainul, apakah yang tidak cengeng tapi perasa itu anda?” Sebagai petualang konyol, saya akan menempuh keduanya.
Relasi Kekuasaan
Di tingkat sadar, karya cerpen dan puisi Sainul Hermawan banyak berisi gugatan dan perlawanan terhadap pusat-pusat kekuasaan. Ia menyindir dengan tajam, mempertanyakan, bermain-main, berontak, berparodi, atau mengungkapkan tragedi di sekitar relasi kekuasaan. Kekuasaan tidak melulu bicara tentang penguasa. Kita bicara tentang kekuasaan yang menyusup pada struktur yang lebih luas. Oleh karena itu saya akan meminjam pemikiran Michel Foucault dan Pierre Bourdieu [2].
Menurut Foucault, kekuasaan itu bukan sesuatu yang diperoleh, dirampas atau dibagi, atau sesuatu yang digenggam, melainkan kekuasaan itu terlaksana melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan merujuk pada nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan. Hubungan dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan orang lain sehingga memungkinkan munculnya kekuasaan. Intinya, kekuasaan berfungsi dalam permainan hubungan yang tak sederajat dan terus bergerak.
Bourdieu berujar, konsep kekuasaan selalu berada dan beroperasi pada suatu arena (field). Dan dalam arena tersebut, terdapat pelaku-pelaku yang memiliki modal, baik itu modal ekonomik, simbolik, maupun kultural. Modal ini oleh Bourdieu dilihat sebagai basis dominasi (meskipun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pelaku-pelaku). Menurut Bourdieu, pada satu sisi masyarakat distrukturkan oleh pembedaan distribusi dan penguasaan modal. Pada sisi lain, individu-individu juga berjuang untuk memperbesar modal yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam pembesaran dan diversifikasi modal ini menentukan posisi dan status di dalam masyarakat (social trajectory dan class distinction).
Yang lebih seru lagi, seperti diungkapkan Foucault, pertarungan dalam arena bertambah panas ketika penguasa modal menempatkan “aparat” untuk mengatur permainan. Maka demikianlah, saya membaca karya Sainul dalam relasi kekuasaan. Ketika “aktor” menggugat dirinya sendiri dan mendapati hubungan yang tidak setara dengan yang lain, sehingga memicu beroperasinya kekuasaan. Beberapa karya menghadirkan “aparat”.
Cerpen kedua yang saya baca adalah “Bohlam in Memoriam” (hlm. 3). Saat pertama kali membaca, saya bergidik ngeri, tak dapat membayangkan bahwa seorang Sainul ternyata bisa juga mereproduksi kekerasan. Cerpen ini berkisah tentang Juhli yang dituduh sebagai Dukun Santet dan menerima perlakukan yang tidak mengenakan akibat adanya prasangka tersebut. Bahkan tidak hanya dirinya yang teraniaya, tapi istri dan putri bungsunya juga menanggung aib dalam sebuah peristiwa penyerangan ketika aliran listrik dipadamkan. Rumahnya juga rusak dan hampir dibakar. Ia bahkan diseret ke sebuah Pesantren untuk bersumpah di atas Kitab Suci. Di cerpen ini kita melihat kehadiran “aparat” yaitu eksekutor lapangan yang diwakili oleh sosok Okok, Odari, Matah, dan Nanzah. Juga ada sosok Penyidik, yang menutup kasus karena disodori amplop berisi lima ratus ribu rupiah. Maka kita pun melihat sosok penguasa modal, yaitu Haji Umar (seorang juragan), Pak Kalebun (pemegang otoritas wilayah desa), lalu ada Haji Jala (pemilik jaringan listrik yang memadamkan aliran listrik jam 10 malam, penanggung biaya pelarian Okok ke Jogja). Mereka mewakili pemilik modal ekonomik, simbolik, dan kultural.
Sebenarnya juga, menurut Bourdieu, modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain. Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu unsur penting dari modal simbolis. Penyematan gelar Haji pada tokoh dalam cerpen ini lebih bernilai simbolik untuk melegitimasi tindakan kekerasan sebagai sesuatu yang benar ketimbang merepresentasikan pemahaman beragama yang mendalam.
“Aparat” pun posisinya dapat dipertukarkan. Kehadiran eksekutor lapangan dapat dilihat sebagai akibat adanya relasi kekuasaaan dengan pemilik modal. Setidaknya mereka dijamin dan ditanggung hidupnya atau menerima uang suap seperti Penyidik. Posisinya sebenarnya juga rentan untuk dikorbankan. Itu karena makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya mengarahkan ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan. Pun, dalam batas tertentu, mereka dapat menjelma menjadi pemilik modal simbolik, seperti Penyidik yang memiliki wewenang menutup kasus dan membiarkan Juhli tidak mendapatkan keadilannya. Sebagai korban, Juhli menerima ekses negatif kekuasaan yang berbagai-bagai dan beruntun, tidak hanya dari satu sumber otoritas. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Maka jadilah Juhli, sebagai yang tertikam kekuasaan berkali-kali -- setiap Haji Jala mematikan aliran listrik -- melalui mekanisme trauma.
Tahun 1975, Foucault menerbitkan Surveiller et Punir, bicara tentang asal muasal penjara yang kemudian melembaga. Dikatakan bahwa ternyata penjara dan sistem hukum yang mendasarinya tidak bertujuan untuk menghapus tindak kejahatan, sehingga hipotesinya harus diganti bahwa penjara sangat berhasil dalam memproduksi tindak kejahatan, terutama jika bentuk pelanggarannya secara politis atau ekonomis tidak terlalu berbahaya. Maka dalam kerangka itulah saya membaca cerpen “Rumah Allah di Penjara”. Tokoh “aku” membuka cerpen itu dengan ujaran, “Seumur hidupku baru kali itu aku masuk ke lingkungan penjara. Menjenguk juraganku yang ditahan sebagai penanggung jawab kami yang bebas. Sebenarnya tak benar-benar bebas. Kami juga seperti ditahan di kapal-kapal kayu bertonase kecil, bermesin Cuma 15 PK.” (hlm. 83). Persoalan relasi kekuasaan sudah mengemuka di awal cerpen, di mana tokoh “aku” berada di posisi sub-ordinat dan mendapati dirinya mengalami kelangkaan kekuasaan (lack of power): terpenjara di kapal-kapal kayu bertonase kecil.
Hal pertama yang dihadapi tokoh “aku” dalam lawatannya ke penjara adalah masalah pungli, meskipun di dinding penjara ada tulisan: BESUK TIDAK DIPUNGUT BIAYA APAPUN! Tokoh “aku” berkata, ”Di sini kami dipermainkan. Mereka tak peduli bekal kami untuk rencana melaut sebulan nyaris habis. Untung mereka masih senyum ramah kepada kami.” (hlm. 84). Bahkan aparat hukum itupun memanfaatkan modal simboliknya pada beberapa tahanan lama untuk meminta “duit sukarela” pada para pembesuk. Dalam cerpen ini, lagi-lagi Sainul mengungkapkan kekuatan modal simbolik yang tak berelasi dengan kompetensi dan tanggung jawab keagamaan. Ia bersuara melalui sang tokoh, “Mereka yang menjebloskan juraganku ke penjara itu pun masih Islam dan haji meski suka pungli.”
Akhir dari cerpen ini adalah tentang tawar menawar kekuasaan. Budin, sang juragan, akhirnya melenggang keluar setelah melalui permainan dan kongkalikong. Sebagai gantinya, tokoh “aku” dikorbankan. Pembicaraan berbisik saat sholat Jum’at antara majikan-budak ini memperoleh relevansinya, “Tapi kamu tahu kan, pelacur mana yang tak bisa ditawar?” Budin menahan tawa sambil sedikit menghalangi mulutnya dengan tangan kirinya yang penuh lemak. “Pelacur?”. “Ya. Hukum di negeri ini hukum pelacuran.” (hlm. 86).
Media massa, yang konon merupakan salah satu pilar penting demokrasi, juga tak luput dari relasi-relasi kekuasaan. Bacalah cerpen “Akuarium”. Di sana misalnya, saya temukan kutipan: “Sandi diam. Orang asing itu menyodorkan halaman koran yang berisi foto-foto kegiatan pejabat dan halaman koran yang memuat korban tragis bersimbah darah, perampok yang mencoba mencuri helm di Pasar Sudimampir. “Buat apa ini?” tanya Sandi. “Begitulah wajah koran dan wartawan pengecut itu. Merendahkan martabat maling-maling kecil sampai titik nadir, tapi meninggikan martabat maling-maling besar. Maling besar, ya...pejabat-pejabat riya, yang tak bekerja apa-apa, tapi seolah-olah bekerja. Hahahaha...”. Para penguasa modal menggiring opini, menyuguhkan informasi terpilih sehingga seolah-olah penting, memanfaatkan insan pers dan pertelevisian, dalam sebuah permainan kekuasaan. Sungguh, besarnya kekuasaan berbanding lurus dengan intensifnya propaganda. Hanya penguasa dungu yang tidak berinvestasi di sektor ini. Tujuannya jelas, ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka melesakkan informasi (propaganda, iklan, dsb.) secara bertubi-tubi hingga menjadi bagian dari ketidaksadaran kolektif massa.
Arena selanjutnya yang dapat dipetakan terkait relasi kekuasaan dalam kumpulan cerpen ini terdapat pada apa yang kita sebut dunia pendidikan. Muncul dalam cerpen “Rektor Antik”, “Manusia Besi”, dan “Aku Benci Hari Senin”. Di sana kita bisa mengidentifikasi siapa pemilik modal dan bagaimana mereka mengoperasikan modalnya.
Cerpen “Rektor Antik” berkisah tentang rektor antik dengan dua staf yang juga antik. Si Rektor diminta untuk menjadi pembicara di sebuah seminar nasional di lingkungan universitasnya. “Apa yang harus saya sampaikan?” menjadi kata kunci rektor untuk mendelegasikan tugas penyusunan makalah pada si staf. Tak berhenti di situ. “Sembilas belas jam sebelum acara dimulai dia menyatakan tak sanggup karena harus ke luar kota untuk urusan yang tak tercatat dalam agenda penting universitas itu.” (hlm. 49). Maka si staflah, yang semalam suntuk begadang untuk membuat makalah, yang ditugasi membaca makalah dengan berbekal memo ke panitia seminar. “Dadung, yang mengatasnamakan diri mewakili rektornya, membacakan makalah yang ditulisnya sendiri dengan penuh semangat. Ruangan bergemuruh. Para peserta berimajinasi tentang kehebatan rektor universitas itu melalui kata-katanya yang cerdas dan brilian.” Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan kompetensi yang kurang dapat ditutupi dengan penguasaan modal simbolik, seperti yang terjadi pada diri rektor antik.
Cerpen “Manusia Besi” berkisah tentang “guru yang cari sampingan di jalur yang tidak relevan”, yang kemudian dapat beasiswa untuk sekolah lagi. Saat ditanya bagaimana skripsinya, dijawab bahwa banyak kemajuan di atas kertas dan penyusutan drastis di rekeningnya (Hlm. 107). Dosen pembimbing digambarkan begitu rakus dengan uang. Bimbingan hanya bisa lancar jika si mahasiswa paham dengan keadaan. Cengkeraman kekuasaan di arena ini juga terlihat manakala si dosen berpesan, “Bos, karya ilmiahmu terlalu moralistis. Ingat karya ilmiah itu harus objektif, berjarak, dingin, datar, dan jangan mengedepankan bahasa yang penuh perasaan gunakan otak, bukan hati. Paham?” (Hlm. 108). Padahal, Foucault melihat bahwa objektivitas adalah ranah investigasi. Sedang dalam investigasi, orang selalu mencari dan tak pernah puas pada finalitas definisi.
Si “Manusia Besi” ini pun menjadi sarjana dan ditarik untuk mengajar di universitas. Cerpen itu ditutup dengan tragis: “Setiap mahasiswa bimbinganku kutanya,”Buat apa kalian kuliah?” Hampir semuanya menjawab ingin jadi manusia besi yang santun, perlente, dan banyak uang. Mengapa perlu kuliah jika hanya ingin santun dan perlente? Bukankah kemampuan ini dapat dipelajari di luar? Mereka menjawab lebih gila, ”Ini cara cerdas untuk miskin, Pak Dosen!” Demikianlah, institusi pendidikan telah menjadi arena kekuasaan yang mengiris dan tempat untuk meraih/memperbesar modal dan ujung-ujungnya tentang kekuasaan juga, dalam kelilingan wacana-wacana tertentu karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu! (Wacana itu bisa tentang kemajuan bangsa, ketertinggalan, pemberantasan kebodohan, pengentasan kemiskinan, dsb).
Lebih jauh, Foucault mengungkapkan bahwa kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Ada proses pemberian struktur pada kegiatan dalam masyarakat yang disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Dan pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Hal ini terjadi karena didukung oleh tiga komponen penting kekuasaan/pengetahuan yang saling berdialektika, yaitu Disiplin Ilmu, Institusi, dan Tokoh.
Cerpen “Aku Benci Hari Senin” sempat disinggung sebelumnya. Cerpen ini mengambil setting Sekolah Dasar, berkisah tentang “aparat-aparat” yang arogan yaitu guru-guru yang berkata-kata kasar terhadap siswa (hlm. 98) demi kedisiplinan, memberi hukuman fisik tanpa mempertimbangkan dampak psikis terhadap perkembangan anak ke depannya, memperagakan kemurkaan, memaksakan ketaatan dan kepatuhan. Demikianlah sistem-sistem simbolik merayakan kekuasaan melalui sebuah konsensus di dalam suatu komunitas yang memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan sosial. Konsensus inilah yang menempatkan pihak-pihak dalam suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, meletakkan pihak-pihak tertentu di atas pihak lain, menentukan yang ordinat dan sub-ordinat.
Arena kekuasaan juga bermain di seputar seksualitas. Sesuatu yang saya kira, mendominasi cerpen-cerpen Sainul dalam MuM. Antara lain terdapat dalam cerpen “Mencari Timur”, “Mata untuk Mama”, “Khilafah Cinta”, “Ladies dan Gentlement”, “Akuarium”, “Sebungkus Bubur Tumbur”, “Rahasia Cinta Riska Rubenska”, “Plasebo”, dan “Aku Benci Hari Senin”. Menurut Foucalt, kekuasaan beroperasi karena telah terjadi histerisasi tubuh perempuan, dimana proses awalnya, tubuh perempuan dianalisa – baik dikualifikasi maupun didiskualifikasi – sebagai tubuh yang penuh seksualitas. Ia menganjurkan untuk mencari skema modifikasi-modifikasi yang merupakan ikutan dari permainan hubungan kekuasaan, ketimbang mencari siapa yang mempunyai kekuasaan dalam hal seksualitas (laki-laki, orang dewasa, orangtua, dokter) dan siapa yang tidak memilikinya (perempuan, remaja, anak-anak, orang sakit, ... ). Dalam kerangka itulah, saya menduga, kenapa Sainul angkat bicara mewakili orang-orang yang kehilangan kekuasaan (lack of power): kadang ia menyeberangi jenis kelaminnya sendiri dan bicara sebagai perempuan, atau anak-anak, atau remaja.
Gugatan-gugatan Sainul muncul dalam bentuk sindiran, pertanyaan-pertanyaan, atau gumaman-gumaman, pernyataan-pernyataan. Berikut akan disajikan dalam bentuk matrik:
No
|
Judul Cerpen
|
Kutipan
|
1
|
Mencari Timur
|
“Dia dibebaskan memilih kesenangannya kecuali dua hal: jodoh dan mati. Yang pertama wewenang ayahnya, yang kedua bagian Tuhan.” (hlm. 12).
|
2
|
Mata untuk Mama
|
“Sebab lelaki itu merasa perempuan itu bermartabat karena dirinya yang ningrat, keturunan orang terpandang, yang berhak menendang mereka yang dianggap kurang terpandang.” (hlm. 35). Atau
“Apa beda papa dan Arjuna itu? Begitukah laki-laki? Akan demikiankah aku? (hlm. 35).
|
3
|
Khilafah cinta
|
“Lucu ketika lelaki tampak ketakutan. Aku bisa menikmatinya. Tampaknya memang dia belum tahu bahwa seorang laki-laki harganya akan jatuh kalau suka kepada lebih dari seorang wanita.” (hlm. 42)
|
4
|
Ladies and gentlemen
|
“Pak Haji, kau tak sempat mendengar tanyaku: jika kau telah bahagia, mengapa kau masih mencari bahagia dari tempat ini? Tempat gairah yang entah energinya bersumber dari mana.” (hlm. 56)
|
5
|
Akuarium
|
“Kamu tahu berapa usia walikota kita?” “Ya, lebih muda daripada penyair bijak idolamu.” “Bagaimana kalau dengan usia wakil gubernur kita?” “Kurang lebih sama, pun mereka seselera tampaknya. Lebih suka menghadiri pertemuan-pertemuan yang nyelebritis, yang dikepung bokong-bokong dan dada-dada sintal beraroma imajinatif daripada datang ke pertemuan-pertemuan sastrawan duafa berbokong kisut dan wajah cekung yang dikepung hembusan asap-asap nikotin.” (Hlm. 62)
|
6.
|
Sebungkus bubur tumbur
|
“Sejak pertemuan itu aku sakit. Kuharap istrinya tak mengetahui, tetapi ternyata dia sudah mengerti. Dia tak sempat bertanya bagaimana perasaanku setelah diketahui. Dia menikmati suasana hari terlalu sepihak.” (hlm. 69)
“Sejak memilihnya, aku terima dia apa adanya. Aku akan mempertahankannya dengan caraku sendiri.” Ibu yang baik itu menangis tanpa isak di hadapanku. Oh... aku tak sanggup melihat airmatanya yang mengalir pelan di pipinya. Buru-buru dia mengusapnya. Kupejamkan mata. (Hlm. 71)
|
7
|
Rahasia Cinta Riska Rubenska
|
“Tapi bukankah kompromi adalah dunia sejati para perempuan?” (hlm.76).
|
8
|
Plasebo
|
“Aku tahu dia menginginkanku, tetapi aku selalu ingin pergi karena kedekatan masa kecil yang telah menyekapku dalam tabu.” (hlm. 90).
|
9
|
Aku Benci Hari Senin
|
“Masa kami, termasuk aku, disetrap di depan kelas karena nggak pakai jilbab. Tapi murid laki-lakinya tidak. Kami tak merasa salah. Setiap Senin sebelumnya kami tak disetrap. Gurunya juga sidin. Kenapa sekarang? Kanapa tak diumumkan? Kenapa cuma perempuan?”
“Ya, karena yang laki-laki kan memang tak pakai jilbab, Sayang, “ sanggah mama sambil mengusap airmataku.
“Bukan begitu, Mama. Sekolah kan sudah menentukan hari apa kami harus pakai jilbab. Itu pada saat Jumat Takwa. Murid-murid putra harus pakai peci dan celana panjang. Tapi, hari ini murid-murid putra nggak pakai peci dan celana panjang, kenapa tak disetrap juga? Pak Izul jahat!”
“Hus, nggak boleh kayak gitu sama gurumu, “tegur mama. “Gurumu pasti punya maksud baik. Biar besok mama tanyakan sama beliau, ya?” (Hlm. 100).
|
Tokoh-tokoh dalam cerpen Sainul adalah tokoh-tokoh yang berada dalam tekanan, dalam suatu relasi kekuasaan, sehingga banyak mempertanyakan eksistensi dirinya dan dunia sekelilingnya. Yang muncul kemudian bisa kebingungan, kemarahan, kenaifan, kelucuan, kompromi-kompromi atau dibiarkan menggantung begitu saja. Entah, apakah Sainul dapat dikategorikan sebagai feminis laki-laki? Yang jelas ia telah menjawab seruan Helen Cixous-feminis Prancis, untuk memecah kebisuan teks dengan melancarkan strategi yaitu bicara dan menulis, mewakili orang-orang yang mengalami kelangkaan kekuasaan. Menulis dan berekspresi, dengan demikian adalah sebuah kerja politik dalam kerangka mengubah struktur yang menindas menjadi relasi yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki. Dengan catatan, jika ia mengamini salah satu prinsip feminisme bahwa “personal is political” [3].
Yang cukup menarik, cerpen “Ladies and Gentlemen” (hlm. 51). Ada relasi-relasi kekuasaan yang saling bertumpang tindih, berjalan tidak searah, mengharukan, menggelikan, dan sinis. Ada orang-orang yang kelihatannya berkuasa, tapi di lain saat menjadi pecundang. Pun tokoh “Ladies” yang sepertinya powerful tapi menjadi boneka bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi. Juga ada resepsionis, yang terjepit di antara berbagai kepentingan. “Resepsionis itu bimbang saat akan mengabarkan berita itu. Ladies telah banyak jasanya bagi peningkatan insentifnya para karyawan biasa. Tetapi ibu itu telah memberi uang terlalu banyak dalam waktu singkat.” (hlm. 57). Sebelumnya, tekanan kekuasaan hadir lewat manajemen tempat ia bekerja. Petikan berikut pas untuk menggambarkannya: “Resepsionis bingung, tapi tetap harus tersenyum. Sepagi itu, sudah banyak yang menikmati senyumnya. Ya, inilah senyum yang disiplin, yang terbit bukan dari ketulusan, tetapi dari latihan dan latihan, tuntutan, dan ancaman.” (hlm. 57). Maka kesudahannya dapat diduga, aparat ini pun dikorbankan demi menjaga kekuasaan tetap langgeng. Ini hanya strategi. “Dia dimutasi ke cabang lain. Resepsionis itu selalu teringat jeritan dua gentlemen itu di depan istri mereka, “Ampun Mama, ampun mama!” Tentu dengan tetap tersenyum.” (hlm. 58).
Kompleks Oedipus (Oedipus complex)
Sebetulnya saya tercengang dangan keberanian saya memberi subjudul ini dengan oedipus complex. Saya telah memasuki bagian tergelap dan sekaligus menantang. Saya selalu curiga dengan pilihan judul buku. Kenapa seseorang memilih atau katakanlah menyetujui judul yang ini dan bukan judul yang lain? Saya memang tidak seyakin Freud yang mengatakan “apakah anak laki-laki itu Anda?” Tapi kalau ingin memasuki psikoanalisa, kau harus percaya bahwa apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang-orang memperlihatkan konflik-konflik batin dan ketakutan-ketakutan mereka sendiri.
Kita bisa berandai-andai bahwa “Mata untuk Mama” diangkat dari kisah orang lain. Namun kisah tersebut tak akan hidup dan bernyawa di tangan orang-orang yang tak punya perhatian dan kepekaan. Dan ungkapan “saya tidak cengeng, cuma perasa.” (hlm. 97) dalam cerpen “Aku Benci Hari Senin” menemukan akarnya yang kuat. Bagaimana seorang Sainul menjadi peka terhadap segala laku kekuasaan. Dan ia mungkin tersiksa. Puisi pendek “Epilog Masa Kecil” membetot saya “Dik, lihat itu namanya matahari/Yang kelak membakar matamu/hingga tak kenal aku lagi.” (hlm. 111). Matahari bisa jadi metafor dari kekuasaan. Lihat, tantang, hadapi dengan berani, walaupun kau akan kalah selalu. (Perlawanan, menurut Foucalt, tidak merupakan ilusi atau janji yang niscaya tak terpenuhi, melainkan merupakan sisi lain dari relasi kekuasaan, terpatri di dalam kekuasaan, dan tak tergoyahkan sebagai pelengkap dialektikanya. Titik-titik perlawanan hadir di mana-mana dalam jaringan kekuasaan!). Dalam puisi ini, perlawanan menjadi sebuah masalah eksistensi. Kata “kenal”, mengenal, di baris akhir puisi, saya pikir lebih bermuatan eksistensial ketimbang bermakna fisik-sosial. Tidak dikenal, terasing, menimbulkan luka mendidih ketimbang terbakarnya mata. Kobaran api perlawanan lebih menyengat pada “aku” ketimbang “kamu”. Ia menyeru, ia bersabda, karena ia sedemikian bergulat merasakannya, karena ia telah lebih dulu merentas jalan.
Cerpen “Mata untuk Mama” (hlm. 31) berisi kesaksian seorang remaja siswa SMP perihal keinginannya bertemu mama. “Waktu itu mataku hanya mampu menangkap garis dan warna, belum makna. Aku lihat mamaku berlari menyeberang jalan, lalu hilang bersama bis yang melintas.” Demikian cerpen itu dibuka. Sejak itu, ia dalam posisi sub-ordinat, terhalang untuk memperoleh informasi. Pusat kekuasaan telah merahasiakan, bahkan memanipulasi informasi, demi melanggengkan kekuasaannya. “Tatkala kutanya nenek, ibu papaku, dia bilang kalau mamaku mencari Arjuna yang akan mengajarinya bercinta. Mengapa tak belajar ke papa saja? Kata nenek, papa tak perlu perempuan pemuja keperkasaan, pujangga picisan, atau tikus bagi rumah tangga orang lain.” (hlm. 31). Upaya untuk menghapus ingatan dan jejak fisik juga dilakukan: “Tapi kini tak ada lagi gambarku bersama mama. Entah ke mana lembaran gambar lama melayang dan berganti dengan gambarku bersama kakek, nenek, papa.” (hlm. 34).
Karakter papanya, misalnya, dapat dengan jelas diungkap pada kutipan berikut: “Sebab lelaki itu merasa perempuan itu bermartabat karena dirinya yang ningrat, keturunan orang terpandang, yang berhak menendang mereka yang dianggap kurang terpandang. Dia merasa dengan mudah mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya karena setiap perempuan telah dianggapnya sebagai makhluk bodoh, yang mudah tergiur oleh kekayaannya” (hlm. 35). Demikianlah, si anak menjadi tidak berdaya (lack of power) dalam sebuah relasi kekuasaan.
Lebih jauh, perasaan kehilangan itu demikian mencekam hingga menuntut kompensasi dalam imajinasi, yaitu muncul simbol Arjuna dan rekaan ceritanya: “Akhirnya mamaku menemukan Arjuna dan bercinta, konon, sembilan kali sehari.” (hlm. 32). Tapi itu pun berakhir sengsara. “Mama hanya salah seorang dari mereka yang hadir dalam hidupnya yang penuh berahi.” (hlm. 33). Mamanya tercampak! Arjuna, tokoh mitologi Mahabrata itu, mungkin menjelma di kehidupan nyata, namun si anak itu telah lebih dulu disakiti imajinasinya sendiri melalui rekayasa kekuasaan papanya. Pergulatan-pergulatan ini menyampaikannya pada pertanyaan: “Apa beda papa dan Arjuna itu? Begitukan laki-laki? Akan demikiankah aku?” (hlm. 35).
Dalam pada itu saya teringat dengan konsep Oedipus Complex, sebuah konsep kontroversial dari Sigmund Freud. Freud menulis tentang Archaic Remmants, yaitu mitos yang diperankan kembali oleh setiap individu, di mana mitos Oedipus (kebencian anak pria terhadap ayahnya untuk mendapatkan cinta ibunya) diturunkan menjadi Oedipus Complex. Oedipus merupakan tragedi Yunani yang diceritakan oleh Sophocles, di mana tokoh Oedipus tanpa disengaja dan tanpa disadari telah membunuh ayahnya, Laius, dan menikahi ibunya, Jacosta. Pada masa mudanya, Oedipus pernah tertusuk kakinya (Oedipus berarti kaki yang bengkak) dan ditinggalkan agar mati seorang diri di sebuah gunung. Beruntung ia diselamatkan oleh seorang gembala sampai kemudian ia menyelesaikan nasibnya.
Kompleks Oedipus (Oedipus complex) merujuk pada suatu tahapan perkembangan psikoseksual di masa anak-anak saat anak laki-laki menganggap ayah mereka sebagai musuh dan saingan dalam meraih cinta eksklusif dari ibunya. Orangtua diduga menyadari akan hasrat tersebut dan mereka mengancam dengan pembalasan tertentu sehingga anak harus menekan, menindas atau menahan hasratnya. Namun, seperti kamar gas, hasrat terus-menerus menuntut penyaluran, maka dilakukan identifikasi dengan orangtua dari jenis kelamin sama. Si anak pun memperoleh pemuasan pengganti (vicarious satisfaction: seolah-olah merasakan sendiri apa yang dilakukan oleh/bagi orang lain). Oedipus complex ini sebagian diubah ke dalam bentuk energi yang diperlukan oleh anak untuk sosialisasi lewat proses sublimasi. [4]
Maka saya pun menyusun skenarionya. Tentang anak yang kehilangan cinta ekslusif dari ibunya (entah secara fisik & psikis, entah secara psikis saja) dan orang yang bertanggung jawab terhadap semua itu adalah papanya. Maka proses identifikasi pun berjalan dengan sangat menyakitkan karena standar moral ganda yang ditawarkan: bermartabat tapi penuh kebohongan. Anak dikondisikan untuk tak berdaya dan menghadiahkan kesenangan atas perasaan ketidakberdayaan itu. “Papa memang telah sempurna mengenakkan aku...“ (hlm. 34). Inilah ketidakberdayaan yang direkayasa untuk tak meraih cinta eksklusif ibu, dan membiarkan ada naluri yang tetap liar tanpa menyediakan saluran pengganti pada proses identifikasi. Permusuhan dan kebencian, dengan demikian, tetap terpelihara dan menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat muncul. Maka demikianlah, gabungan antara ketidakberdayaan dan kebencian menghasilkan individu yang sangat perasa dan sengit. Perasa dan sengit terhadap kekuasaan, perasa dan sengit terhadap kebohongan. Efek yang ditimbulkan bisa lebih luas, hal-hal yang mungkin melekat dan bersinggungan dengan figur ayah dapat menjadi sasaran perlawanan juga: simbol-simbol keagamaan dan sosial (misalnya gelar Haji atau Ulama atau guru agama, gelar bangsawan, gelar akademis), peran-peran sosialnya (misalnya sebagai orangtua, pemuka masyarakat, orang kaya, pejabat) bahkan Tuhan sekalipun. “Aku laki-laki, ayahku laki, tapi tuhan kami berbeda. Ayah mengusirku sebab ia tahu kalau tuhanku lebih kuat.” (Cerpen Godspot, hlm. 25).
Namun, perlawanan tidak melulu perlawanan. Kadang ada kompromi. Kadang terlempar pada pilihan-pilihan sulit dan mengambang. Ada dinamikanya. Konon, beberapa waktu kemudian, Freud sedikit mengubah pandangannya dengan mengatakan bahwa untuk anak laki-laki sudah ada sejarah identifikasi dengan ayahnya, yang tidak menyertakan persaingan dengannya. Anak laki-laki, mau tak mau, harus melakukan identifikasi dengan sang ayah, walaupun tak sempurna dan menyakitkan. Mungkin inilah peletak dasar pernyataan: “Apa beda papa dan Arjuna itu? Begitukan laki-laki? Akan demikiankah aku?” (hlm. 35).
Terkait dengan dinamika. Mungkin fase oedipal ini termasuk penyumbang kekritisan terbesar. Namun sebenarnya dinamika yang terjadi mengikut pada tiga sistem kepribadian yang dikembangkan Sigmund Freud. Ketiga sistem ini memungkinkan seorang individu untuk bergerak memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok. Ketiga sistem itu adalah id, ego, superego. Pembayangan mama dan Arjuna (sebagai tokoh ideal yang bisa memberi kebahagiaan pada mama) berada pada sistem id. Id adalah sumber primer dari energi rohaniah dan tempat berkumpulnya naluri-naluri. Id tidak diperintah oleh hukum akal atau logika dan tidak memiliki nilai, etika, atau akhlak. Ia cenderung menghasilkan sesuatu yang impulsif. Di dalam id terjadi proses primer (primary process) sebagai akibat dari suatu frustasi (keadaan tak terpenuhinya suatu kebutuhan), yaitu proses yang menimbulkan suatu kenangan dari suatu benda/objek yang diperlukan untuk meredakan atau mengurangi suatu ketegangan. Proses ini bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), yang bertujuan untuk mencegah penderitaan, menjaga ketetapan dalam menghadapi guncangan-guncangan, dan menemukan kesenangan. Dalam cerpen “Mata untuk Mama”, anak melakukan identifikasi pada tokoh Arjuna untuk memberi kebahagiaan pada mamanya. Dengan demikian, ia pun memperoleh kasih sayang yang dibutuhkan melalui mekanisme vicarious satisfaction, yaitu seolah-olah merasakan sendiri apa yang dilakukan oleh/bagi orang lain.
Proses primer hanya membawa ke suatu titik di mana ia mendapat gambaran dari benda/objek yang akan memuaskan keinginannya. Langkah selanjutnya adalah menemukan atau menghasilkan benda tersebut, yaitu dengan membawanya ke alam wujud. Langkah ini disebut proses sekunder (secondary process) dan tempatnya berada dalam sistem ego. Sistem ego bekerja berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle). Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menangguhkan peredaan energi sampai benda nyata yang akan memuaskan keperluan telah ditemukan atau dihasilkan. Dalam pada itu seseorang melaksanakan suatu rencana tindakan dan melihat apakah rencana itu akan berjalan atau tidak (disebut reality testing). Hal ini berjalan terus sampai ketemu pemecahan yang tepat (kenyataan) dan ketegangan diredakan oleh suatu tindakan yang tepat. Pada titik ini, pikiran yang logis melakukan peranan sebagai pemuasan keinginan.
Perhatikan kutipan cerpen “Mata untuk Mama” berikut: “Bu, aku tak bisa melanjutkan cerita ini. Mamaku sepertinya akan datang entah dari arah mana.” “Ceritamu bagus, kamu pasti menjadi pemenangnya. Saya suka membacanya, meskipun ia baru berupa sketsa kasar.” Perempuan berbaju dinas memesankan lagi es degan buat teman ngobrolnya. “Tapi aku tak menulisnya untuk lomba. Aku ingin ketemu, Mama.” (Hlm. 33-34). Si anak tak ingin berpuas diri dengan berlarut-larut dalam imajinasi kosongnya. Ia terus berjuang menaklukan pertanyaan yang belum terjawab. Ia menyimpan gambar mata, sepasang mata mamanya, dari satu foto yang belum teraniaya dan mata itu penuh air. Ini satu strategi juga. Dan pikiran bahwa hidup harus punya rahasia (yang dibeberkan dalam cerpen itu di empat bagian, halaman 34, 35, 36), juga berada di sistem ego, semacam menangguhkan peredaan energi sampai benda nyata yang akan memuaskan keperluan telah ditemukan. Kesimpulannya, ego merupakan hasil dari tindakan saling mempengaruhi dengan lingkungan, yang garis perkembangannya dapat dicapai melalui pengalaman, latihan, dan pendidikan.
Yang selanjutnya superego, merupakan kode moril dari seseorang. Superego adalah wakil dalam kepribadian dari ukuran-ukuran dan cita-cita tradisional masyarakat sebagaimana yang disampaikan oleh orangtua kepada anak-anak. Superego ini bukanlah pencerminan dari kelakuan orangtua, namun cerminan dari superego orangtua. Di samping orangtua, ada alat-alat masyarakat lain yang turut mempengaruhi pembentukan superego anak, seperti guru, polisi, pemuka agama – siapapun yang memiliki kekuasaan terhadap anak. Namun reaksi anak terhadap tokoh-tokoh pemangku kewibawaan itu, bagian terbesarnya ditentukan oleh apa yang terlebih dahulu dipadukannya dari orangtua. Superego mempunyai 2 anak sistem, yaitu ego-ideal dan hati nurani. Ego-ideal adalah sesuatu yang sesuai dengan pengertian anak tentang apa yang secara moral dianggap baik oleh orangtua, terbentuk melalui pengalaman dengan penghargaan. Hati Nurani adalah sesuatu yang sesuai dengan pengertian anak tentang apa yang oleh orangtuanya dianggap moral buruk dan terbentuk melalui pengalaman dengan hukuman. (Ini akan menjadi penjelasan yang panjang tapi harus dilakukan untuk memperoleh titik terang pada cerpen yang akan dibahas....).
Penghargaan dan hukuman, dapat bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Secara rohaniah, penghargaan dan hukuman yang digunakan oleh superego berupa perasaan bangga dan perasaan bersalah atau perasaan kurang harga diri. Ego merasa bangga jika telah berkelakuan atau berpikir baik, sebaliknya akan malu dan bersalah jika mengalah pada godaan. Kebanggaan sama dengan cinta-diri-sendiri, dan rasa salah atau rasa kurang harga diri sama dengan kebencian-terhadap-diri-sendiri; semuanya adalah pengganti dalam batin dari cinta dan penolakan orangtua.
Secara jasmaniah, superego sebenarnya dapat berkata pada seseorang yang telah berjalan sesuai koridor: “Karena engkau telah bersikap baik, engkau kuberi ijin untuk menuruti kehendak hati dan mencari kesenangan”. Dan itu dapat berupa makanan yang enak, tidur sepanjang hari atau kesenangan seksual. Liburan, misalnya, dapat dianggap sebagai penghargaan untuk pekerjaan berat. Sebaliknya, kepada pelanggar moral, superego dapat berkata:” Karena kau telah berbuat/berpikir buruk, engkau dihukum dengan sesuatu yang tidak akan enak bagimu.” Freud mensinyalir, segala bentuk kesialan, kecelakaan, sakit, kehilangan barang-barang, sampai batas-batas tertentu, ada hubungannya dengan penghukuman-diri-sendiri karena yang bersangkutan telah berbuat sesuatu yang salah. Kecelakaan, misalnya, melukiskan keinginan untuk melukai diri sendiri.
Sebenarnya, antara id dan superego memiliki kesamaan. Mereka bekerja secara irrasional, mencampur-campurkan pikiran yang realistis dari ego bahkan memalsu kenyataan. Kekuatan superego memaksa ego untuk melihat benda-benda dalam bentuk yang seharusnya dan bukan dalam bentuk yang sebenarnya. Superego terutama mengontrol gerak-hati yang kalau dinyatakan secara sewenang-wenang dianggap membahayakan kemantapan masyarakat. Gerak hati itu adalah sex dan agresi.
Lebih ke dalam, seseorang yang energinya banyak terikat dalam ego-ideal dari superego adalah orang yang idealistis dan berbudi tinggi. Tujuan dan perhatiannya lebih banyak ditentukan oleh nilai moralnya daripada nilai-nilai realistis. Ia lebih banyak memperhatikan perbedaan baik dan buruk daripada membedakan yang benar dan yang palsu. Untuk orang ini, kebajikan lebih penting daripada kebenaran. Dari sini bisa timbul ironi, ketika superego menjadi agen dari id untuk mencapai kepuasan bagi naluri-naluri primitifnya. Dicontohkan bahwa superego bisa menjadi sangat agresif terhadap ego-nya. Ditimbulkan perasaan tidak layak dan jahat pada ego, sehingga seseorang bisa merusak, melukai, bahkan membunuh dirinya sendiri. Bahkan superego dari seseorang yang “berbudi tinggi” ini dapat juga mencapai kepuasan bagi id dengan jalan menyerang orang-orang yang dianggap immoral. Kebuasan yang didorong pertimbangan moril ini konon dipraktekkan secara besar-besaran dalam sejarah, misalnya kebuasan dari Inquisisi (pengejaran terhadap penganut Katolik), pembakaran perempuan sihir, dan pembunuhan oleh kaum Nazi.
Kisah superego yang diperbudak id, dapat pula kita temukan dalam cerpen “Bohlam in Memoriam” (Hlm. 3). Cerpen yang memotret perburuan dukun santet.
Dinamika kepribadian terkait dengan penyebaran energi pada sistem id, ego, superego. Perlu diketahui bahwa jumlah energi yang tersedia terbatas dan tidak dapat ditambah lagi. Memberi energi kepada satu sistem kepribadian berarti mengambil energi dari sistem-sistem lainnya. Sesorang dengan ego yang kuat akan mempunyai id dan superego yang lemah.
[1]. Cerita tersebut saya dapatkan dalam terjemahan buku Growth Psychology: Models of Healthy Personality karya Duane Schulth. Dialihbahasakan menjadi Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat oleh Drs. Yustinus. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991. Sumber pertama, buku The Person in Psychology karya G. Allport. Terbitan Beacon Press, Boston, tahun 1968.
[2]. Saya berterima kasih pada Audifax, Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya, yang menulis esai PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN: Pengategorian Status Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Juga buku Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan oleh Michel Foucault, yang dialihbahasakan oleh Rahayu S. Hidayat. Penerbit Pt. Gramedia, Jakarta, 1997.
[3] Makalah R. Valentina Sagala. Menulis Puisi: Gelisah Politik (Sunyi). Dipresentasikan pada
Diskusi Buku Biru Hitam Merah Kesumba (Kumpulan Puisi Perempuan Bukan Penyair: Lulu Ratna, Vivian Idris, Oppie Andaresta dan Olin Monteiro). Sabtu, 17 Februari 2007, di Prefere 72,Bandung.
Diskusi Buku Biru Hitam Merah Kesumba (Kumpulan Puisi Perempuan Bukan Penyair: Lulu Ratna, Vivian Idris, Oppie Andaresta dan Olin Monteiro). Sabtu, 17 Februari 2007, di Prefere 72,Bandung.
[4] Bahan saya ambil secara keroyokan dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedi bebas dengan menggoogling kata oedipus complex. J.P. Chaplin. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Dan Calvin S. Hall. A primer of Freudian Psychology. Diterjemahkan oleh S. Tasrif menjadi Pengantar ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud. 1980. Pt. Pembangunan Jakarta.
Banjarmasin, 14 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar