Oleh M. Nahdiansyah Abdi
Di Bandung pernah hidup seseorang yang bersumpah, jika sampai umur sekian, namanya tak juga dikenal khalayak sastra nasional, maka ia memutuskan untuk berhenti menulis sastra dan hidup bersahaja. Menjadi tukang roti baginya lebih terhormat daripada hidup mempertahankan kekeraskepalaan. Ia akan menganggap dirinya tidak berbakat untuk menempuh jalan itu. Titik.
Ia menyerah? Mungkin iya. Tapi bagi saya ada hal lain lagi. Ia memiliki tujuan yang jelas. Menempuh dunia sastra, yang oleh Budi Darma, diistilahkan sebagai dunia sepintas lalu, juga memiliki risiko. Tidak hanya bermodal menulis puluhan puisi, cerpen, atau novel. Lebih dari itu. Perlu kesiapan mental. Rupa-rupa nama baru bermunculan, rupa-rupa karya sastra ditulis tanpa kita sanggup mencernanya dengan sempurna. Perubahan demikian cepat sementara gerak langkah kita terseret-seret. Ini tentang cara menyesuaikan diri dengan perubahan. Barangkali inilah fenomena yang dikatakan Alvin Toffler di tahun 1970-an sebagai kejutan masa depan (future shock). Secara sederhana, rumusan ini dipakai untuk melukiskan tekanan dan disorientasi hebat yang dialami manusia jika terlampau banyak dibebani perubahan dalam waktu yang terlampau singkat. Sebuah kelumpuhan psikologis mengancam. Kemarau ide dan kekeringan imajinasi telah di depan mata.
Kehidupan modern memaksa manusia untuk hidup dengan hitung-hitungan, tak terkecuali di dunia sastra. Persaingan, kompetisi, keinginan untuk menonjol, telah membuat batin manusia menjadi lelah. Dengan kocak, penyair Chairil Anwar melukiskan fenomena ini dalam sebuah puisinya: “Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu/keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.” Sepertinya memasuki dunia sastra hanya untuk berebut lahan saja. Sekedar untuk dicatat namanya.
Di sinilah seruan Sapardi Djoko Damono untuk mengembalikan sastra sebagai seni, bukan sebagai ilmu, menjadi aktual. Ini dunia di mana setiap orang yang masuk ke dalamnya akan menjadi indah dan tercerahkan. Bukan soal kalkulasi dan menghitung-hitung posisi. Bukan soal mengukur-ukur standar estetik karya, mana yang berkualitas mana yang tidak. Jika ini yang terjadi, yang muncul kemudian adalah ngotot-ngototan dan perdebatan yang tak kunjung selesai. Masih untung jika bisa terus produktif, seringkali malah berakhir dengan permusuhan pribadi.
Ini akan sedikit latah. Jika dunia sastra adalah sebuah jalan, sebuah tarekat, maka untuk mengarunginya dibutuhkan kecerdasan. Orang terlanjur mengenal trikotomi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Saya akan tambahkan satu, kecerdasan aspirasi (aspiration intelligence). Baik, saya akan perlahan memasukinya sembari membuat analogi sederhana di dunia komputer.
Kecerdasan intelektual, saya ibaratkan sebagai perangkat keras (hardware) komputer. Semakin tinggi spesifikasinya, semakin mudah dan cepat memproses informasi. Program-program komputer yang berat, menjadi ringan ketika dijalankan. Dalam kenyataannya, akan kita temukan orang-orang yang mudah dalam memahami sesuatu. Ia cepat sekali menyerap ilmu dan menyelesaikan soal-soal yang pelik. Sebaiknya, ada orang yang lelet, lamban dalam mengerti sesuatu. Di dunia sastra, orang-orang seperti itu ada alias dapat dirasakan hadirnya. Namun kecerdasan intelektual saja tidak cukup.
Ada kecerdasan aspirasi, yaitu kapasitas untuk bermimpi, membuat tujuan, dan keteguhan (kecangkalan) dalam mewujudkannya. Ini ibarat perangkat lunak (software) komputer. Adanya software membuat pekerjaan menjadi bertujuan. Sia-sia saja memiliki perangkat keras dengan kualitas tinggi, namun sistem operasi dan programnya kricikan dan tak jelas. Yang dimasukkan (diinstal) hanya sedikit program dengan kapasitas dan kemampuan terbatas. Dalam kehidupan nyata ini mewujud dalam pengalaman hidup, termasuk pengalaman membaca. Secanggih apapun otak seseorang jika tidak dirangsang dengan rupa-rupa pengalaman, bacaan-bacaan yang luas, akan menjadi mubazir. Ini artinya, seorang sastrawan harus cangkal memperkaya hidupnya dengan pengalaman-pengalaman langsung atau melalui bacaan-bacaan. Di lihat dari sini saja, dari segi kemanfaatan, seseorang dengan kecerdasan aspirasi tinggi bisa mengalahkan seseorang dengan kecerdasan intelektual tinggi namun malas.
Kecerdasan emosi, identik dengan kesadaran akan jaringan sosial. Di sini tempatnya pengakuan dan penghargaan. Kalau kecerdasan intelektual dan kecerdasan aspirasi masih sebagai komputer stand alone, alias jomblo. Maka kecerdasan emosi seperti komputer yang terhubung dengan jaringan, entah intranet atau internet. Semakin luas dan tepat memilih jaringan, pengakuan dan penghargaan mudah didapat. Sering, seorang jenius sastra “tenggelam” karena tak memiliki kecerdasan ini. Sebaliknya, seseorang yang biasa-biasa saja, sangat mungkin terdongkrak karena memiliki jaringan yang tepat dan kompeten.
Kecerdasan spiritual memberi arah. Ia menjadi pusat pembentukan makna-makna. Pengibaratannya adalah brainware atau humanware, alias manusianya. Komputer hanya alat/sarana, ia bisa dipakai untuk kejahatan atau untuk kebaikan bersama. Sastra pun demikian. Ia harus disadari sebagai alat yang bebas nilai, bisa dipakai untuk menghaluskan jiwa atau pun untuk menghancurkannya. Kecerdasan spiritual mengarahkan pada pembentukan makna yang hakiki, yang efek sampingnya adalah perasaan bahagia. Sekalipun di tengah banyak kesedihan dan penderitaan. Ini tentang kesadaran dan pengenalan terhadap diri sendiri berhadapan dengan yang lain. “The only journey is the journey within, satu-satunya perjalanan dalam hidup ini adalah perjalanan ke dalam diri, “ kata seseorang. Ini mengacu pada pentorehan kebermaknaan dan perasaan yang penuh.
Barangkali ini akan jadi pembicaraan yang tendensius. Diceritakan, Yamoka Tesshu, seorang ahli pedang Jepang, sewaktu muda adalah jagoan yang tak tertandingi. Saat tua, ia menggantung pedangnya dan hidup tenang. Tapi jangan coba-coba mengganggunya, ia akan tetap tak terkalahkan karena kini SELURUH TUBUHNYA ADALAH PEDANG! Semisal puisi, barangkali tak sebiji kata pun mampu tertuliskan lagi, namun ia sadar bahwa hidupnya kini telah jadi puisi! Inilah hidup yang selayak puisi.
Karanganyar II, Rabu, 20 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar