Oleh M. Nahdiansyah Abdi
Data buku kumpulan puisi
Judul : 79 Puisi Hajri
Penulis : Hajriansyah
Cetakan : I, Juli 2010
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal : vii + 104 halaman, 14 x 20 cm ( 79 judul puisi)
ISBN : 978-602-84140-23-4
Editor : Sandi Firly
Ilustrasi : Agus Trianto BR (7 lukisan)
O banjir
bawakan aku
sebuah mobil
dengan desain terbaru
(Banjir II, hlm 8)
“Sekarang, apa lagi yang ingin ditawarkan Hajri lewat buku puisinya ini?” demikian pertanyaan menggantung di kepala saya. Pertama, saya terkesan dengan ilustrasi-ilustrasi dalam buku tersebut. Kedua, saya sempat tersentak dengan kejutan bahasa seperti pada puisi “Banjir II” yang saya kutip sebagian di atas. Kebetulan itu puisi-puisi awal yang saya baca. Parodis dan tragis sekaligus. Bait-bait awal puisi itu berisi kemarahan, kesedihan, kenaifan. Mulanya dipakai kata “kita” untuk mencapai situasi kebersamaan, bait akhir, menukik ke “aku”. Saya mengira, situasi yang menimbulkan situasi setengah menggelitik ini adalah puncak dari seluruh perasaan lelah. Lelah marah, lelah bersedih, lelah kecewa, lelah tidak berdaya. Bukankah puncak dari tragedi adalah parodi?
Kemudian, terbaca olehku sebuah puisi sederhana yang luar biasa. Judulnya “Puisi Wajahku”, Sebait puisi ditulis anakku yang paling kecil/Isinya kurang lebih seperti ini:/Ayah, aku bisa menggambar wajahmu. Bagaimana momen kekinian ditangkap tanpa beban. Tak ada interpretasi yang berlebihan. Bangunan puisi menjadi lengkap dengan pilihan judul yang apik, Puisi Wajahku.
Saya mengira, akan memperoleh kejutan-kejutan serupa dalam buku ini. Ternyata saya salah. Lepas dari dua puisi itu, saya seperti terlempar ke puisi-puisi yang lelah menanggung diksinya. Saya terseret ke situasi yang blue. Nelangsa. Puisi-puisi yang penuh beban. Beban dari masa lalu, beban dari masa depan. Di belakang diberati kenangan, penyesalan, keletihan, kesedihan dan kejengahan. Di depan, terancam kebingungan dan ketidakpastian. Sial.
Di antara puisi-puisi yang sarat beban itu, saya mencoba bernafas. Benarkah tak ada yang bisa digali? Saya mengais lagi. Membaca lagi puisi-puisi tersebut secara acak. Benar-benar tanpa harapan! Bagai menjalani mimpi buruk. Atau dalam bahasa Hajri sendiri, ini seburuk-buruk mimpi di luar tidurku (Puisi “Ninda”, hlm. 27). Apa yang salah? Ternyata saya ikut terseret. Saya ikut mendung. Saya ikut menderita dan cemas. Dan saya berpaling pada sebuah gerakan filsafat. Gerakan eksitensialisme.