(Catatan Tercecer: Diskusi Buku Kumpulan Puisi di Book Café, 8 Nopember 2008)
Membaca Lelaki Kembang Batu yang berisi 99 puisi itu, aku berpikir tentang ruang bernafas. Mungkin inilah yang menyebabkan seorang YS. Agus Suseno kekurangan oksigen dan lantas mual ketika membaca buku yang sesak teks ini. Ia kemudian merujuk kumpulan puisi Eza Thabry sebelumnya, Surat dari Langit (1985), sebagai antologi puisi terkuat dari sang penyairnya, sembari tak lupa membacakan satu puisi yang membuatnya selalu tergetar, Kuala.
Di luar alasan-alasan “estetis”, kukira ada hal-hal non teknis yang mempengaruhi gelap terang sebuah puisi (Entah siapa yang memunculkan pertama kali istilah puisi gelap. Macam-macam saja!). Penyair, yang oleh Micky Hidayat, dikatakan sebagai penyair dengan puisi tergelap di Kalimantan Selatan, bisa jadi Eza Thabry memang demikian adanya. Selain penggunaan metafor-metafor yang rumit bin sulit, seperti kukatakan sebelumnya, hal-hal non teknislah yang turut memberi pengaruh.
Musik adalah ruang di antara nada-nada, demikian kata Claude Debussy. Maka tidak berlebihan kiranya kalau puisi kukatakan sebagai ruang bernafas di antara sesak kata-kata. Aku berkeyakinan bahwa jenis huruf (font), besar huruf, jarak antar baris (spasi), banyak sedikitnya bait, panjang teks dalam satu baris, penuh tidaknya halaman, jenis dan warna kertas (atau media yang digunakan), turut memberi suram dan keras sebuah puisi. Maka demikianlah, puisi-puisi dalam Lelaki Kembang Batu berpotensi dikatakan gelap karena sedikitnya ruang bernafas. Kondisi yang tidak menguntungkan secara visual ini memungkinkan bagi kesulitan bernafas dan smaput intelektual. Habis akal menghadapi puisi! Dalam smaput ini hanya gelap dan gelap. Hanya orang-orang tabah saja yang tetap keranjingan dan bertahan. Yang lain memilih menghindar.
Ruang bernafas, kelihatannya sepele saja. Tapi ia bisa mempengaruhi mood pembacaan sebagaimana seseorang yang memaksakan tersenyum di depan cermin akan mendapati perasaannya berubah gembira. Motion mempengaruhi emotion. Ada hal-hal yang secara psikologis mampu menarik orang lain untuk membaca teks dari pandangannya yang pertama (apalagi dalam pembacaan puisi yang multi tafsir itu). Ialah kesan keseluruhan. Ruang bernafas! Di samping keakraban dengan nama penulisnya, yang oleh Saut Situmorang, memunculkan harapan akan kejutan.
Hal lain yang terbetik dalam pikiranku sebagai pembaca adalah makna terurai dari judul kumpulan puisi itu: Lelaki, Kembang dan Batu. Ada gradasi mobilitas. Dari lelaki yang leluasa dalam bergerak, kembang (tanaman) yang cuma bisa tumbuh, hingga batu yang cuma diam. Lelaki adalah simbol maskulinitas, kembang adalah simbol feminimitas, dan batu nir-jender. Lelaki (maskulinitas) dan Kembang (feminimitas) adalah entitas yang terus bertumbuh, melambangkan Diri yang bergerak dinamis. Adapun Batu, yang nir-jender itu, melambangkan Diri yang mengamati.
Jika kemudian Sainul Hermawan mencatat banyak puisi Eza Thabry menggunakan kata batu, bagiku itu lebih merupakan semangat zamannya ketimbang pengaruh visual dari lingkungan tempat tinggalnya yang penuh batu-batu itu. (Ada dicatat tentang Banjarbaru dengan jalan yang berbatu kerikil, rumah batu / beton, batu karaha, batu-batu gunung, penambangan batu intan, hingga pembatuan!). Afrizal menengarai bahwa puisi-puisi yang lahir sepanjang dekade 80-90-an banyak menggunakan benda-benda, dan batu termasuk yang cukup populer. Kriapur: aku ingin menjadi batu di dasar kali. Isbedy Stiawan: Batu-batukah yang beterbangan di hatiku? Tan Lioe Ie: Dengarkan gugat gaguku: Biar kusuarakan duka batu-batu dalam sajakku. Jamal D. Rahman: Padahal di situ, batu-batu masih kurenungkan. Sutardji Calzoum Bachri: batu duka, batu luka, batu ngilu, batu diam. Oddy’s: Perkawinan batu. Dan banyak lagi batu-batu yang lain. Bahkan jauh sebelumnya Amir Hamzah pernah berkoar tentang Batu Belah Batu Bertangkup.
Akhir kata, apapun puisi yang lahir, dia akan berbalik melahirkan penyairnya menjadi sama sekali baru. Dan selamat datang di dunia magis kata!
sepucuk surat memperlebar garis luka tiba-tiba
dari duri bukit kehilangan isyarat cinta
kata-katanya seperti susunan rambut-rambut
sehabis keramas, jungkir balik mengeja fantasi
lanskap gunung, suara tasbih burung-burung
padang kesetiaan begitu malam, sunyikah disini
tenggelam menarikan iris-iris kegelisahan?
o duri bukit, kabarkan pada arca dan bunga
siapa lebih dulu memahat relief taman tiada rupa
membikin lumut cinta berulangkali
sajak-sajak tiada arti?
dua ekor burung memungut ranting-ranting batu
membangun bianglala lukaku!
telah rampung kubaca garis sembilu biografi
lembaran duri bukit kulipat ke dasar nisan
: luka disimpan.
(SURAT DARI DURI BUKIT)
Simpang Bali, 10 Nopember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar