(Catatan konyol oleh M. Nahdiansyah Abdi)
Menurutmu, apa yang ada di benak seorang “kritikus” (termasuk kritikus gadungan) jika disodori setumpuk naskah untuk dikomentari? Jawabannya bisa beragam. Salah satunya ini, Apa yang menyatukan semua teks-teks itu? Adakah kata kunci? Adakah batu pijakan? Maka aku akan menunjuk dua kata saja: Sepi dan Narsis.
Jika akhirnya aku harus menghadapi hutan rimba kata dalam ”Jebak-Jebak BANGKAI BATU” yang oleh penulisnya, Ali Syamsudin Arsi (disingkat ASA), dinamai GuMAM aSa, maka hal menggelitik pertama yang ada di kepalaku adalah: Makhluk seperti apakah Gumam itu? Dunia sastra tidak mengenal gumam, setahuku cuma ada puisi, cerpen, cermin, novel, esai dan kritik sastra.
Naskah berukuran kuarto setebal 125 halaman berisikan 33 judul gumam. Satu gumam minimal 2 halaman (terpendek gumam semakin gumam), terpanjang gumam kepada gumam, 8 halaman. Kesemuanya dengan spasi 1 dan teksnya rata kiri-kanan. Melihat strukturnya, mirip seperti cerpen. Tapi untuk mengatakan ini cerpen, aku belum cukup sinting. Terlalu liar! Dalam bayanganku yang naif ini, setidaknya setiap cerpen memuat tokoh, cerita, alur, latar, dan tidak puitis-puitis amat. Berhadapan dengan gumam aku menemukan unsur-unsur puitik yang terlalu kentara. Maka bolehlah aku sedikit gegabah dengan mengatakan bahwa gumam ASA adalah puisi bertubuh cerpen. (Oka Rusmini dalam kumpulan puisi Pandora terbitan Grasindo 2008, juga menggunakan struktur yang yang sama, hanya saja lebih pendek).
Tapi apa sebabnya dinamai Gumam? Tak terungkap memang. ASA Cuma menulis di bagian akhir naskahnya Sengaja kutulis gumam karena aku menyukainya. (Hehe... dia bilang Sengaja. Kayak bunyi lafaz niat saja!). Gumam, sepanjang pengetahuanku (maaf, lagi malas buka Kamus. Hehe..) adalah ”suara-suara” yang tak terdengar jelas bagi yang lain, tapi cukup berdentang-dentang di kepala sendiri. Secara tidak sadar, ASA menggiring pembacanya untuk berpusing-pusing tujuh keliling, menebak-nebak tiada habis, sedang ia sendiri bersenang-senang dengan kata hingga sakau, sebagaimana makna Gumam itu sendiri. Sampai-sampai aku berkeyakinan, dalam posisi sebagai pembaca, bisa jadi ASA adalah korbannya juga. HAHAHA. Ini sesuai dengan peribahasa puisi makan penyair!
Tapi tunggu dulu. Jangan-jangan ASA serius. Ia ingin menentramkan sakit hatinya, kekecewaannya, perihnya, kesepiannya, tangis kecilnya, dari hal-hal gila yang ada di sekelilingnya, menjadi secercah harapan, secuil asa (sebagaimana akronim namanya ASA), harapan akan sebuah perubahan dan pertumbuhan! ..... padahal ada doa terselip di setiap isaknya... (dalam Lukisan Tanpa Bingkai, Gumam Asa 17, hlm 60).
Bagi seorang maniak, tak ada yang tak mungkin. Bangunan puisi yang biasanya pendek dan terdiri dari bait-bait bisa saja dirobohkan dan dikacaukan. Aku yakin, saat menulis Gumam, ASA tidak berpikir tentang puisi rupa. Ia hanya berpikir kata dan kata. O, sungguh kesepian orang ini. Pernah kubaca tulisan Afrizal Malna (di Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca yang tak bersih) bahwa menulis dan membaca adalah situasi teralienasi, situasi terasing! Semakin produktif seseorang, semakin terasing dia. Semakin kesepian! Sungguh sedikit mereka yang mau merambah ke sini. Ujar Pram, Belantara ini hanya hanya dimasuki oleh orang-orang yang berani! Budaya kita adalah budaya menonton, tradisi kita berakar pada menonton dan ditonton. Mamanda, musik panting, tari-tarian, madihin, lamut, kuntau, berbagai jenis permainan, wayang, karasmin-karasmin. Maka latahlah seni kata dengan pertunjukan baca, untuk meneguhkan tradisi menonton itu. Walaupun akhirnya kecele, karena kalah bersaing dengan salah satu antek globalisasi: televisi. Kalah dalam hal produksi. Ini bisnis, Wal ai! Kekuatan uang ada di belakangnya.
Narsis. Dalam sebuah teks, sering kali Namalah yang memunculkan pencerahan. Kekuatan nama menembus abad dan milenium. Teks tanpa nama alias anonim menyisakan pertanyaan tentang siapa yang menulisnya. Bahkan ungkapan ”Apalah arti sebuah nama?” menyeret-nyeret nama Shakespeare di belakangnya. Yakinlah, dalam sebuah teks, kata yang paling bersinar adalah nama penulisnya, meskipun itu nama samaran atau nama pena. Namalah yang paling dicari-cari. Nama adalah sumber kegagahan. Orang bisa berubah senewen jika teks yang ditulisnya diakui sebagai milik orang lain atau katakanlah ditempeli nama orang lain. Plagiat. Maka sahlah sudah, Gumam ASA, adalah kombinasi sempurna dari sepi dan narsis, gumam dan ASA. Hehe..
Banjarmasin, 6 Oktober 2008
Kemungkinan Lain
Sapardi Djoko Damono pernah menulis di Kompas, 24 Januari 1988 lalu. ”...Pembacaan puisi oleh penyair telah menjadi kebiasaan yang meluas. Akibatnya bisa ditebak, beberapa penyair menulis sajak-sajaknya sementara membayangkan dirinya membaca sajak-sajak itu di depan khalayak. Perimbangan dalam kreativitasnya tentu bergeser. Konsentrasi tidak bisa hanya pada tata letak, tetapi juga pada tata bunyi. Urusannya tidak hanya dengan mata pembaca, tetapi juga dengan telinga pendengar.”
Mengingat Asa seorang pembaca puisi yang handal, patut dicurigai, bahwa puisi-puisi yang ”menggumam” itu akan sukar dipahami hanya melalui ”membaca”, kita harus pula ”menonton” dan ”mendengar”-nya.
Kemungkinan lain lagi
Afrizal Malna pernah mengemukakan tiga ungkapan yang banyak ditemukan dalam puisi dan menjadi pusat personifikasi, yaitu ”alam”, ”cermin”, dan ”TV”.
Pada alam, ada pola ”aku berhadapan dengan alam”. Kekuatan-kekuatan alam yang besar melebur dalam aku-lirik. Entah kemudian melahirkan romantisme, kesedihan, kesepian, dsb, yang jelas bukan identitas individual. Pada cermin, mulai terbuka pengertian individual, ”aku berhadapan dengan aku”. Antroposentrisme. Bacalah puisi Chairil Anwar: Aku berkaca. Ini muka penuh luka. Siapa punya. Televisi mengambil perannya kemudian, di sini ”aku berhadapan dengan yang lain yang berganda”, sebab di depan televisi, seorang pemirsa tidak berada dalam relasi tunggal, tapi dari pergantian program ke program, dari saluran ke saluran. Menurut Afrizal, di titik ini kemungkinan puisi hadir sebagai teks yang bulat, utuh dan hanya dipahami lewat dirinya sendiri, kian mudah untuk dibocorkan lewat teks-teks lain yang punya peluang melakukan korespondensi bersama.
Gumam Asa, memperlihatkan fenomena pembocoran teks yang intensif sebagaimana pemirsa yang tak setia di depan televisinya. Segala bentuk pengalaman dan penginderaan, sekecil apapun melintas di antara tema besar yang digagas, coba ditangkap dan dikurung dalam bangunan gumam.
Lucu juga, di satu sisi televisi menjadi pusat personifikasi puisi namun ia kadang dicerca dan diserang dalam banyak puisi. Padahal hidup mati televisi ada di tangan aku-lirik. Kita bisa memplesetkan ungkapan The man behind gun menjadi The man in front of television, sebagai seseorang yang berkuasa sekaligus tersihir. Kasihan deh televisi!
(Baca: Realitas Ganda dalam Ruang Puisi, dalam Sesuatu Indonesia, Penerbit Bentang Budaya, 2000)
15 Oktober 2008
Terus kreatif dan berkarya! Salam.
Pembaca yang tak bersih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar