Laman

25.2.11

TENTANG MENGALAMI CERPEN DAN IDEOLOGI PENGARANG


Oleh M. Nahdiansyah Abdi


Di depan saya tergeletak kumpulan cerpen “Rindu Rumpun Ilalang” yang ditulis oleh Nailiya Nikmah JKF. Buku yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin pada Juli 2010 ini, sampul depannya didominasi warna hijau. Warna yang konon memberi sensasi keseimbangan, harmoni, penyembuhan dan daya menenangkan.


Jika penulis menulis berdasarkan struktur pengalamannya, demikian juga pembaca membaca menurut struktur pengalamannya. Semakin luas struktur pengalaman seorang penulis, semakin luas wilayah penjelajahan tematiknya, semakin penuh kejutan alurnya, semakin banyak melibatkan sensasi-sensasi inderawi. Pun pembaca, semakin luas struktur pengalamannya, semakin terbuka kemungkinan tafsirnya, bahkan pada hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Seperti prisma yang memecah warna. Milyaran warna. Apalagi jika warna itu ditangkap – dituliskan, itu akan menjadi pesona tersendiri.
Menghadapi buku dengan 10 biji cerpen ini, mengalami cerpen-cerpen yang ditulis oleh seorang perempuan dengan empat orang anak ini, pikiran saya tergiring untuk memilih kata kunci: renyah. Sulit bagi saya menjelaskan kata itu. Pengalaman renyah saya berbeda dengan pengalaman renyah yang lainnya. Kesulitannya mungkin sama ketika saya harus menjelaskan bagaimana rasa jeruk. Asam? Apakah asam seperti mangga muda? Atau manis? Manis seperti gula aren? Benarlah kata Aldous Huxley bahwa kata-kata itu membentuk benang di mana kita mengikatkan pengalaman-pengalaman kita. Ya, sederhananya, kita berusaha mewakilkan pengalaman inderawi kita pada kata kunci, dan itu sangat pribadi dan unik. Ia memberi semacam marka di mana kita mungkin kembali. Ibarat file multimedia, mulanya adalah nama filenya, baru kemudian terbuka ruang imajiner yang menggetarkan indera. Bahkan yang disebut hampa, kekosongan, hening, diam, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, adalah bentuk penamaan juga sebelum masuk kepada kumpulan imaji visual-dengar-raba-rasa, yang melingkur di hati dan pikiran kita.
Renyah yang saya rasakan barangkali karena dialog-dialognya yang lancar dan tanpa beban. Mungkin ada bagian yang berat, yang membuat tercenung, tapi bagian lain seperti menisbikannya. Paradoks dan ironi dilepas macam kembang api. Riang. Namun kadang menyengat sisi kemanusiaan kita, sementara yang lain bikin melongok, haru, tergelak. Bacalah misalnya cerpen “Jejak Tapak Surga”, buka halaman 19. Ada bunyi teks seperti ini, “Aku hampir meledak dan menyemburkan sumpah serapah, betapa kejinya lelaki yang dipanggil papa oleh Sinta. Lelaki buaya, penipu, penjahat. Tapi aku tertegun ketika di mata Sinta kutemukan pijar kerinduan.” Atau, masih di cerpen yang sama di halaman yang sama: “Aku berulang kali mengampanyekan pola hidup sehat. Aku tak senang mereka makan mie instan tapi apa daya, aku tak bisa menyiapkan penggantinya.”
 Tengoklah juga cerpen “Rindu Rumpun Ilalang”, cerpen yang melankolis dan instropektif tentang perasaan rindu yang beragam. Rindu yang tak terbatas dan tak terbalas pada yang tak tertentu, demikian ujaran si pencerita. Ada proses displacement (pengalihan), jika mengacu pada teori psikoanalisis, di mana tokoh menggeser fokus perhatian kepada objek yang kurang mengancam untuk memungkinkan ekspresi emosional. Dan objeknya itu adalah ilalang, di mana perasaan-perasaan kehilangan akan disaring menjadi rindu setiap menatap rumpun ilalang yang bergoyang ditiup angin. Namun, cerpen yang sentimentil ini pun ternyata masih menyisakan ruang buat guyonan tentang Osama bin Laden.   
Renyah yang saya rasakan barangkali juga karena pengarang pandai memancing rasa penasaran. Seperti cerita detektif, jantung saya tiba-tiba berdebaran ingin tahu bagaimana kesudahan cerita. Dan setelahnya, timbul semacam perasaan lega. Hal itu sangat saya rasakan terutama pada cerpen “Dua Jam di Sudimampir”, “Suami Undian”, dan “Flamboyan Jingga”. Geliat yang sama sebenarnya terasa di semua cerpen, hanya porsinya lebih kecil. Mungkin juga karena saya terpengaruh ucapan Muhamad Kasim, sebagai yang digadang-gadang Bapak Cerpen Indonesia, bahwa cerpen itu bacaan yang dibaca sekali duduk. Teman duduk. Secara implisit, pernyataan itu mengisyaratkan bahwa cerpen selayaknya bersifat ringan dan menghibur. Menghibur karena kita telah bercermin. Dan cerpen adalah cermin wajah “kita”. Kerenyahan yang saya rasakan barangkali juga karena ada perasaan puas bahwa cerpen-cerpen Nailiya telah memenuhi definisi dari Muhamad Kasim itu. 
Nailiya mungkin tak begitu peduli dengan wacana eksperimentasi. Ia menyandarkan kekuatan cerpennya pada alur, dialog dan paradoks dalam keseharian. Dan tentu saja pada eksistensinya sebagai perempuan. Lho? Mungkin saya cuma terseret-seret ke dalam potret buram sebagaimana disinyalir oleh Bagus Putu Parto. Ia menyatakan bahwa karya perempuan masih dipandang dari sisi eksotis daripada estetis. Pertanyaannya, masihkah saya mengalami kerenyahan yang sama jika seandainya Nailiya menulis namanya sebagai NN Jumadi Khairi Fitri, ketimbang Nailiya Nikmah JKF? Entahlah.
Saya merasakan perasaan berat setiap muncul di kepala saya wacana tentang ideologi. Ideologi? Wow. Saya telah terpengaruh sedemikian hebatnya bahwa ideologi pastilah membicarakan hal-hal besar berkenaan dengan politik kekuasaan. “Indonesia” memiliki sejarah suram terkait dengan ideologi. Ada sekian banyak tarik ulur dan ketegangan. Terkait dengan sastra, kita tak bisa melepaskan ingatan dari polemik yang terjadi antara Lekra versus Manifes Kebudayaan, yang gregetnya terasa hingga sekarang. Polemik Sastra Boemipetra dengan Teater Utan Kayu (TUK), pun adalah polemik yang sebenarnya dilandasi oleh ideologi orang-orangnya.
Tapi saya ingin mengambil ide dasar dari ideologi, yaitu ide itu sendiri, sebagai sebuah gagasan, pemikiran, cita-cita. Jadinya ideologi merangkum sebuah pemikiran tentang tatanan masyarakat yang ideal, yang dicita-citakan. Pada kenyataannya, tak ada ideologi yang murni, selalu ada penambahan-penambahan dari tokoh-tokoh sesudahnya. Selalu ada tafsir baru, apalagi kalau sudah dipraktekkan ke dalam kehidupan politik.
Karya sastra, adalah medium yang dapat dimasuki untuk melesapkan ideologi pengarangnya. Banyak sastrawan yang secara sadar melakukan itu. Saya selalu teringat dengan sebuah diskusi di UC Universitas Gadjah Mada, Februari tahun 2003 silam. Hadir sebagai pembicara Gus Dur, Gadis Arivia, Mansour Fakih, dan Pram tua yang saat itu matanya telah lamur karena katarak dan pendengarannya juga lemah. Saya teringat dengan komentar Mansour Fakih yang aktivis itu. Ia memuji-muji novel “Gadis Pantai” karya Pram. Baginya, novel itu membuka wawasannya tentang teori pertentangan kelas, tentang realisme sosial. Sesuatu yang tidak ia peroleh saat membaca karya-karya teoritis penulis luar negeri.
Bagi saya, cerpen-cerpen Nailiya pun seperti melesapkan ideologi tertentu. Lewat dialog-dialog dan pandangan hidup tokoh-tokohnya tersirat nilai-nilai etik dan moral Islam. Lalu kenapa tidak disebut saja karya yang religius? Toh banyak idiom yang digunakan berasal dari perbendaharaan kata-kata dalam Agama Islam? Subijantoro Atmosuwito dalam bukunya, “Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra” (Bandung, 1989) memiliki batasan sendiri perihal hal ini. Baginya, karya sastra yang religius adalah karya yang membangkitkan perasaan keagamaan, segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan. Perasaan itu bisa berupa perasaan dosa (guilty feeling), perasaan takut (fear to God), atau kebesaran Tuhan (God’s glory).  
Saya rasa, cerpen-cerpen Nailiya tidak terlalu mengeksploitasi perasaan batin itu. Ia lebih tertuju keluar, kepada tatanan masyarakat yang ideal, kepada ideologinya. Nilai etik Islami seperti tidak berpacaran sebelum nikah, misalnya, dapat kita temukan juga dalam Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka. Namun itu lebih kepada adab pergaulan masa itu, di tempat itu. Pada cerpen Nailiya, nilai etik untuk tidak berpacaran itu juga ada namun diperkuat dengan proses doktrinasi. Tentu saja, proses doktrinasi itu tidak blak-blakan diumbar dalam cerpen. Ia hadir melalui siratan-siratan. Nah, munculnya teks-teks yang berkesesuaian dengan doktrin-doktrin tertentu dalam konteks sosial yang sebenarnyalah yang menyebabkan karya lebih dekat ke ideologis ketimbang religius. Cerpen-cerpen yang hadir seperti memotret pergulatan ideologis di tingkat individu dalam lingkungan sosial yang beragam. Ia tidak banyak memikirkan hubungan perasaan batin manusia dengan Tuhan an sich. Ia cenderung menggiring pada sebuah opini tentang tatanan masyarakat yang baik dan ideal. Dan mau tidak mau, dalam karya yang sifatnya ideologis itu, pengarang harus berpihak. Keberpihakanlah kuncinya.
Kembali kepada konteks sosial yang melatarinya, ini mungkin terkait dengan munculnya pergerakan-pergerakan di dunia Islam seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir atau Hizbuz Tahrir di Turki. Wacana-wacana tentang ideologi, perang pemikiran, penegakan syariat, begitu dominan dalam gerakan-gerakan ini. Tak bisa dilupakan pula pengaruh bacaan yang banyak diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena. Persoalan-persoalan di dunia Islam diangkat dan didedah bersama-sama ke dalam bangunan cerpen: menyoal solidaritas, pertentangan dengan adat atau konteks kekinian, epik (kisah kepahlawanan), persoalan ketidakadilan, yang dikesemuanya itu coba dibalut dengan nilai etik keislaman.     
Pertanyaannya, apakah tidak boleh sebuah karya sastra dicemari ideologi tertentu? Tergantung cara meramunya. Banyak karya sastra yang melesapkan hal-hal di luar sastra macam filsafat, psikologi, sains, tanpa menjadi karya teks yang kering. Kalau sudah begitu, saya selalu terngiang-ngiang dengan demokratisasi ala Abdul Hadi WM. Biarlah penulis bebas menulis apa yang ingin ditulisnya dan biarlah pembaca bebas membaca apa yang ingin dibacanya. Dan biarlah untuk saat ini, dalam kepala saya telah muncul sebuah genre baru, genre cerpen renyah. (karena sebagai pembaca, saya membaca sebagaimana saya dikontruksikan atau sebagaimana saya “ingin” dikonstruksikan). Jadi, selamat datang kumpulan cerpen “Rindu Rumpun Ilalang”. Inilah cerpen-cerpen yang realis, tidak absurd, tidak kolosal, membumi. Adakah yang lebih renyah dari itu? Lupakan hal-hal yang jungkir balik. Toh, pembaca tidak memesan sastra modern, kata Afrizal Malna.

  
Loktabat Utara, 9 Agustus 2010

1 komentar: