Laman

21.2.11

YANG OBSESIF-KOMPULSIF DARI DEBUR OMBAK GURUH GELOMBANG


Oleh M. Nahdiansyah Abdi


JTS saat berusia 18 tahun, Rano Karno from Kandangan :)
Kesan Awal

Membolak-balik buku kumpulan puisi Debur Ombak Guruh Gelombang karya Jamal T. Suryanata (JTS), tidaklah lepas dari kesan awal. Menyerap baik-baik judul kumpulan puisi itu memaksa kita untuk diam sejenak mengaktifkan indera pendengaran untuk kemudian merasakan gerusan-gerusan dari suara-suara alam yang menggetarkan. Demikian berulang-ulang. Surut dan menerjang lagi, seperti mainan ombak di pantai.

 Membaca sekilas beberapa puisi, saya seperti menemukan kitab tentang menafsir diri. Banyak ungkapan yang digunakan penyair untuk menjelaskan siapa yang bersangkutan dan apa yang dirasakan dalam bangunan tafsir-tafsir relasi dengan dunia yang magis. aku, anak yang kemarin berlari mencari diri/menarikan cemas bayangkan negeri keakanan (h.3), akulah pendosa yang menjelma rangkaian doa (h.12), akulah burung perindu yang terus mengepak/terbang memburu keindahan semesta cintamu (h.35), akulah musafir yang tak pernah puas hujan kasihmu/masih gagap membaca gemuruh samudera alifmu (h.74).
Dalam pencarian jawaban tentang siapa “aku”, tak segan penyair menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan menyejarah, untuk diculik ke dalam sajaknya. Pun tokoh-tokoh mitos. Maka akan kita temukan nama plato, sokrates, aristoteles, archimedis, herakleitos, galileo, descartes, sisifus, iphigenia, agamemnon, sluerhoff, nietzsche, sartre, iqbal, rumi, rabi’ah adawiyah, al-hallaj, Ibrahim, Ismail, Muhammad. Bahkan ia tak segan-segan menderetkan beberapa nama sekaligus dalam satu baris sajak, seperti camus, corbire, masefield, po tsu i (h.50) atau hafizh, zunnun, sa’di, sana’i (h.84). Kesan yang ingin ditampilkan, barangkali, adalah kita tak lepas dari sejarah, sejarah harus dibaca ulang, untuk menggenapkan sisi kemanusiaan kita. agamemnon, ajari aku sekali lagi/bagaimana sebaiknya membaca sejarah/dan menerjemahkan diri sebagai manusia (h. 47). 


Obsesif-Kompulsif
Setiap penyair mestilah punya obsesi, semacam perasaan terganggu yang terus berulang, yang dengannya puisi terus ditulis. Perasaan terganggu itu muncul dari persoalan-persoalan di sekitar yang membetot hati dan pikiran penyair. Namun dalam Debur Ombak Guruh Gelombang saya menemukan obsesi yang terlampau intens, dan saya menarik garis kesepadanan dengan neurosa obsesif-kompulsif dalam dunia psikiatrik. Sejumlah indikasi akan dikemukakan dalam tulisan ini. 
Baca puisi, oom?
Bermula dari seringnya saya temukan kata malam. Malam adalah wilayah yang banyak dipesonai, dianggap menyimpan misteri, eksotik, waktu yang paling digilai untuk percintaan mistis. Dan nampaknya itu disadari. entah kenapa, aku selalu bicara dan bicara/ tentang malam, kawan, dengan segala gelisahnya (Percakapan Kali Pasir, h. 38). Kenapa kata malam berulang disebut? Bagi saya, itu menjadi sebuah pertanyaan. Apakah keadaan ini sama dengan reaksi obsesif-kompulsif?
W. M. Roan dalam buku Ilmu Kedokteran Jiwa (1979), mengemukakan bahwa reaksi obsesif-kompulsif merupakan suatu keadaan penderita yang berusaha mengelakkan kecemasan dengan cara melakukan tindakan atau mengadakan alam pikiran yang berulang secara terus menerus. Situasi ini memiliki istilah yang berbeda-beda di berbagai tempat, seperti zwangneurose di Jerman, obsessional neurosis di Inggris, atau compulsive neurosis di Amerika. Namun istilah yang disepakati oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan Indonesia adalah neurosa obsesif-kompulsif.
Namun buru-buru saya harus menetapkan kriteria tentang sebanyak apa suatu kata (yang merupakan wakil dari pikiran) dapat dikatakan telah menjelma obsesif dalam sebuah buku kumpulan puisi? Tak ada ketetapan baku dalam hal ini. Namun suatu pikiran masuk, menyatakan bahwa jika kata itu jumlahnya melebihi jumlah puisi yang dibukukan dan sebarannya setidaknya di 2/3 dari puisi yang terhimpun itu. Artinya, jika dalam kumpulan puisi Debur Ombak Guruh Gelombang ada delapan puluh (80) puisi, maka untuk dikatakan obsesif, harus ada kata yang terus-menerus diulang-tulis sebanyak minimal 80 kali dan tersebar di 54 judul puisi. Rasa penasaran saya mendorong untuk membuat tabel excel demi mengkalkulasikan kata-kata yang berulang disebut dan merelakan buku yang bagus itu menjadi korban aksi vandal saya. Sejumlah kata yang kerap muncul saya beri tanda, seperti malam, cinta, rindu, sunyi, laut, mimpi, dunia, kota, puncak, sangsi, rahasia, burung, kupu.    
Akibat Debur Ombak Guruh Gelombang :)
Ternyata bukan malam yang menjadi obsesi penyair, melainkan cinta dan rindu. Masing-masing disebut 115 dan 111 kali, dengan sebaran 59 puisi dan 56 puisi. Cinta dan rindu menjadi tema sentral dalam Debur Ombak Guruh Gelombang. Namun bagaimana ini bisa terkait dengan obsesif-kompulsif? Telah disebutkan sebelumnya bahwa reaksi obsesif-kompulsif merupakan reaksi mengelakkan kecemasan. Freud dalam tulisannya “Totem dan Taboo”, menyatakan bahwa reaksi ini merupakan suatu pertahanan (defence) atau pengelakan dari godaan (temptation) dan sebagian dari kegagalan. Apa yang menjadi sumber kecemasan, sumber godaan, atau bentuk kegagalan itu?
Jawabannya juga muncul dalam buku itu: kerlap dunia, riuh kota. Dunia, dalam berbagai tafsirnya, kadang dimunculkan sebagai godaan, tempat bermukim nafsu-nafsu kotor yang kelewat telanjang, lain waktu bising dan galau. Kota (disebut 33 kali), bersama ikon-ikon penyertanya, sama menindasnya. Bising, riuh, membuat resah, artifisial. Bahkan sunyi sudah tertangkap di bising kota (h.14). Dalam puisi “Malam Kota Pendaki” diceritakan bahwa burung-burung gereja tak lagi bernyanyi, kecuali tinggal televisi yang masih mengaji, dalam nada suara yang kian parau (h.55). Di sini ada ketegangan antara yang kudus dengan yang artifisial, yang alami dan yang menipu.
Adapun bentuk kegagalan beroperasi pada perasaan kehilangan. Akan ditemukan dunia yang lumpuh, yang tidak berfungsi, yang sia-sia.  Jika Ahmad Fahrawi menulis puisi “Kita Telah Banyak Kehilangan”, yang begitu terang benderang namun menimbulkan perasaan miris, maka JTS lebih metaforik. Maka ada bunga kehilangan wangi (h.6), cermin kehilangan pantul (h.13), segala kehilangan jejak (h.14), embun kehilangan dingin (h.16), mantra kehilangan tuah (h.21), kita kehilangan bahasa (h. 26, 40), asap kemenyan kehilangan magis (h.36), semua kehilangan mimpi (h. 43), panas kehilangan daya hangus (h. 44), dongeng purba kehilangan jalan cerita (h.56). Di tengah gempuran godaan duniawi, riuh dan gemerlapnya kota serta perasaan-perasaan kehilangan itulah, barangkali, menjadi obsesif menjadi satu-satunya pilihan rasional untuk tetap bertahan.       
            Namun, saya pikir, ada kegelisahan lain yang ikut berdenyut dalam kumpulan puisi ini, yang berasal dari dalam, yang lebih eksistensial. Hasrat akan cinta dan rindu, yang berujung pada ekstase, keterpesonaan, mabuk, ternyata memiliki paradoknya sendiri. Pada puisi “Jalan Pulang” dinyatakan kita selalu gelisah rindukan jalan pulang (h. 52). Seakan-akan ada panggilan dari dalam yang memanggil untuk meniti jalan ini. Sedari awal, ada kegelisahan yang ikut bermain. Belum-belum ada ketegangan. Dan ketegangan selanjutnya, setelah berada di jalan itu, dapat berubah menjadi sesuatu yang membingungkan. Dalam puisi “Dari Sunyi yang Kita Pagut”, terasa semacam protes: kalau kau ada dalam denyut nadiku/untuk apa sembunyikan lagi wajahmu/di balik cadar syahadatku yang kelu/kalau kau diam dalam gerak aortaku/untuk apa silaukan lagi pandangku/dengan kerlap dan kesombongan dunia/kalau kau sudah sedekat urat leherku/untuk apa kaukobarkan lagi api cemburu/dalam setiap hampar sajadahku yang kaku (h.61). Yang lebih satir terlihat dalam puisi “Di Sebuah Lorong Sunyi”, “tuhan, kaukah yang duduk di sofa itu/menonton televisi sambil tersenyum getir/menikmati berita dan secangkir kopi?” (h. 26).
Super Sekali... :)
Lebih membingungkan lagi pengalaman puncak (peak experience), yaitu ada momen-momen, yang menurut Abraham Maslow, seseorang mengalami ekstase, perasaan terpesona yang hebat, diri yang dilampaui, digenggam oleh suatu perasaan kekuatan, kepercayaan, dan kepastian, saat-saat ketika dunia nampak utuh. Menarik mencermati bahwa JTS menggunakan beragam kiasan untuk menggambarkan momen tersebut, antara lain terpanggang, terbakar, karam, luruh, luluh, mendebu, disamping puncak itu sendiri. Penggambaran JTS khas kaum mistis, lebih khusus lagi, sufistis. Misalnya, biarkan seluruhku hancur lantak tanpa sisa/dipanggang pijar api cintamu (h.64), api cinta senantiasa membakar rinduku (h.71),  aku pun karam dalam keluasan cintamu (h.9), kepakku luruh dalam kehangatan rindumu (h.35), aku luluh menghablur dalam keagunganmu (h.63), aku pun sirna mendebu (h.70), meretas gelora pendakian/derap langkah menuju puncak ketiadaan (h.65).
Namun, semua pengalaman itu kadang disangsikan sendiri. Ada rasa bimbang yang terus menerus (folie du doute), apakah semua pengalaman itu akan bermakna ataukah sia-sia? tapi selalu ada yang tersamar dalam tabirmu, ungkap sebuah sajak (h.85). Di sajak lain, mengarungi samudera rahasia, ternyata begitu dingin, begitu sunyi dan kian sendiri (h.83), sesuatu yang nampaknya tidak menyenangkan. Senada dengan itu, sajak “Risalah Airmata” juga menggaungkan hal serupa, telah kubangun kubah-kubah syahadat/dari sayup sujud dan desah tahajjud/getar bibir yang menasbihkan namamu/tapi pintu arasy-mu selalu saja tertutup/ketika jejak langkahku gamang mendaki/menuju puncak ketinggian cinta-kasihmu (h.46). Maka kemunculan nama Sisifus menemukan relevansinya. Bersama Ibrahim, Sisifus adalah nama yang paling banyak disebut (4 kali, tersebar di 3 puisi). Namun Ibrahim hadir di dua momen, yaitu saat pembakaran dirinya dan dalam kaitannya dengan penyembelihan Ismail. Sedangkan Sisifus hadir utuh sebagai mitos pemanggul batu.
Sisifus adalah tokoh mitologi Yunani yang dihukum memanggul batu ke puncak gunung dan setelah tiba di puncak, batu itu menggelinding dan Sisifus harus memanggulnya kembali ke puncak, demikian terus berulang. Mitos Sisifus sepertinya mengandung hubungan yang arkaik (archaic) dengan obsesi akan puncak, harapan, dan perasaan yang sia-sia. Dalam puisi “Orasi Anak Abad” ditulis, kami terlahir dari sebuah pesta padang rumput/sebagai anak abad yang tak henti memanggul/riuh jagat, membaca lagi kesangsian sysiphus/yang terus mendaki memanggul batu tartar/memikul mimpi dan kesia-siaan (h.17).
Dalam pada itu, tahun 1942, Albert Camus telah menulis buku yang diberinya judul Le Mythe de Sisyphe. Sebuah esai filsafat tentang absurdnya pencarian makna oleh manusia, menghadapi dunia yang tidak dapat dipahaminya. Ia membandingkan absurditas kehidupan manusia itu dengan situasi yang dialami Sisifus. Pada akhirnya, Camus menyimpulkan:  “Perjuangan itu sendiri....sudah cukup untuk mengisi hati manusia dan kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.” Setidaknya, saya sudah berbahagia dapat membaca Debur Ombak Guruh Gelombang
Yang berjiwa muda....


Loktabat Utara, 5 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar