Laman

19.6.12

2 Puisi Saya

REFLEKSI

Tubuh dan hidupku adalah monumen
dari hutang yang tak kan bisa terbayarkan

Seberapa keras aku menyicil
lebih terdengar sebagai lelucon saja

Hutang yang kian membengkak
setiap bertambah sekon

yang menyebabkan
aku tergolek lemas oleh rasa syukur

Aku hidup dengan nafas buatan
langsung dari mulutMu

dan matiku pun, tidak bisa tidak,
akan di pangkuanMu

Bolehkah sekarang
aku menangis, Tuanku?

Karanganyar 2, 20 Juni 2012
M. Nahdiansyah Abdi

28.4.12

PANTUN DAN SONETA CHAIRIL ANWAR


Oleh M. Nahdiansyah Abdi*


Tanggal 28 April selalu diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Mengenang hari tersebut tentu saja tak bisa lepas dari sosok Chairil Anwar karena tanggal kematiannyalah yang dijadikan penanda. Chairil sering digambarkan sebagai pendobrak dan pembaharu puisi di Indonesia. Tak jarang ia digambarkan sebagaimana bait puisinya sendiri: sebagai binatang jalang. Puisinya dianggap keluar dari kecenderungan umum zamannya, yang tertib pola, dan menjelma menjadi sajak bebas yang tak terikat. Bahkan Sapardi Djoko Damono, tidak menyarankan mempelajari puisi-puisi Chairil bagi pemula untuk menghindari terciptanya sajak emosional yang tidak terjaga.1 Ya, Chairil telah terlampau identik dengan puisi Aku-nya.
            Berlawanan dengan ingatan massa yang mengenang Chairil sebagai sosok yang meradang-menerjang, saya ingin mengenang Chairil sebagai seorang yang tertib. Seorang yang rapi jali. Tentu lewat karya-karyanya. Ini sebenarnya mengejutkan saya juga: ternyata Chairil menulis pantun dan soneta. Bentuk-bentuk puisi jadul yang bahkan di zaman itu sudah dianggap ketinggalan. Namun setelah diserapi dan direnungi, saya menangkap nilai simbolik di balik pantun dan soneta Chairil. Saya menangkap ketegangan dan pergulatannya dalam merumuskan keindonesiaannya, lebih khusus lagi, merumuskan dirinya sendiri di tengah peradaban-peradaban kemanusiaan.