Laman

19.2.11

POLITIK TERTIKAM SASTRA


(Tanggapan terhadap tulisan Taufik Arbain, “Seni(man) Tertikam Politik”, Radar Banjarmasin, 27 Desember 2009)

Oleh M. Nahdiansyah Abdi*

 Sastra yang Berpatron

Kekuasaan, yang besar dan langgeng, niscaya terbangun di sekitar aksara dan teks. Niscaya akan ada teks-teks yang disakralkan dan atau disucikan. Rakyat jelata tidak memiliki aksara, mereka hanya punya bahasa lisan. Ekspresi perlawanan ditunjukkan dengan tindakan bahasa seperti sumpah serapah dan gerundelan/gerunuman, atau tindakan fisik langsung terhadap pusat kekuasaan. Penyebaran aksara oleh penguasa, merupakan strategi untuk menciptakan mitos, meluaskan serta melanggengkan kekuasaan. Pujangga, saat itu, menjadi corong kekuasaan yang penting.   
   
Politisasi terhadap pujangga terjadi secara tubuh dan teks. Secara tubuh, politisasi pujangga bertujuan untuk menimbulkan kesan Keagungan dan Kedermawanan pusat kekuasaan pada rakyat. Secara teks, politisasi berupaya menggaungkan estetika dan keindahan untuk menutupi sisi politik yang kotor dan berdarah-darah. Maka karya sastra yang muncul kemudian hanya tentang istana-sentris: berisi puji-pujian pada penguasa, warta tentang kemakmuran, kebajikan-kebajikan. Eksprerimen-eksperimen sastra hanya pada bentuk. Tidak pada isi.
Ketika zaman berubah, permasalahan semakin komplek, pusat-pusat kekuasaan tumbuh dan tumbang dengan cepat. Saat itulah, pujangga sebenarnya telah kehilangan patronnya yang penting. Perubahan yang terjadi terlalu cepat bagi pengendapan-pengendapan. Pujangga pun terdiaspora. Ada yang tetap menjadi corong penguasa dengan risiko siap menerima kejutan-kejutan yang menyakitkan seiring perubahan kondisi politik yang sulit diraba. Yang lain mengambil jarak.  
Bagi yang mengambil jarak, terbuka banyak kemungkinan untuk melihat dalam berbagai sudut pandang. Di sinilah awal bagi pujangga untuk mempertanyakan kembali apa yang  menjadi panggilan jiwanya. Merujuk pada teori ERGn (existence, relatedness, growth needs) yang dikembangkan oleh Alderfer, orang yang bersastra dapat dibagi berdasarkan kebutuhan yang ingin dipuaskan. Ada yang hanya ingin memuaskan kebutuhan eksistensinya (existence needs) sebagai substansi material, dengan bersungguh-sungguh memenuhi kebutuhan fisiologisnya dan rasa aman. Sekedar mengepulkan asap dapur dan keamanan dari gonjang-ganjing dunia politik yang sedia memangsa. Ada yang terobsesi dengan kebutuhan hubungan (relatedness needs), asal dapat dikenali, diakui dan dihargai dalam suatu relasi sosial. Atau bersastra untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan (growth needs). Bersastra menjadi pilihan sadar sebagai bentuk aktualisasi diri, menjadi alat untuk mencapai pencerahan jiwa bagi masyarakat.
Sastra politik, jika memang ada istilah itu, dapat diletakkan dalam bingkai teori kebutuhan di atas. Ia dapat digunakan untuk menciptakan sensasi sesaat. Perlawanan teks sastra terhadap pusat kekuasaan pastilah akan menghebohkan. Apalagi jika momennya tepat. Bagi saya, inilah bentuk penikaman sastra terhadap politik. Bagaimana tidak, jika dahulu, sastra dibesarkan dan dekat dengan kekuasaan, kini berbalik menikam. Maka kekuasaan yang tertikam akan kalap. Pemenjaraan dan pengasingan sastrawan telah banyak terjadi, pelarangan buku sastra dan pementasan pun kerap kita dengar. Jika hanya ingin memuaskan kebutuhan hubungan (relatedness needs), keinginan untuk terkenal sekaligus menuntaskan dendam, sastra bertema politis dapat menjadi jalan pintas.
Namun jika berorientasi pada pertumbuhan, pendidikan politiklah yang disasar. Teks sastra tak akan dikerdilkan maknanya hanya sebatas karya-karya yang berisi kritik dan hujatan-hujatan membabi buta terhadap penguasa. Sastra bisa saja terbentur dengan kekuasaan yang zalim dan pelakunya dapat saja terbungkam, namun sastra yang lahir dari ranah ini tidak bermusuhan dan menyimpan dendam terhadap kekuasaan. Kekuasaan terlalu pendek, sastra terlampau panjang.   
Jadi, kalaupun ada istilah “seni(man) tertikam politik”, seperti yang diungkapkan Taufik Arbain, bagi saya itu hanya nostagia kekuasaan terhadap sastra yang kini berjarak. Sah-sah saja. Pusat kekuasaan ingin memanfaatkan sastra dan sastrawan sebagai corong untuk mempromosikan bahwa kekuasaan yang ada sekarang baik-baik saja. Yang jelas, kekuasaan ingin bermesra-mesra lagi dengan sastra, seperti dahulu. Namun, karena konteks dan zaman telah berubah, simbiosis ini akan terlihat menjijikkan. Posisi sastra yang sub-ordinat terhadap pusat kekuasaan, akan mudah dituding sebagai upaya melacurkan diri. Dalam relasi ini, orang bebas berkarya, namun jangan dekati satu hal: jangan menggoyang kekuasaan terlalu keras!


Sastra Daerah dan Politik Kekuasaan

            Kalau ingin difokuskan, bahasa dan sastra daerahlah, saat ini, yang tertikam politik kekuasaan berkali-kali. Ia berada dalam posisi tarik ulur dan terjepit dalam banyak kepentingan. Alokasi fungsi bahasa yang memisahkan Bahasa Asing, Bahasa Negara dan Bahasa Daerah, telah sedemikian rupa menciptakan pencitraan diri para penuturnya. Bahasa, yang merupakan amunisi utama sastra, dengan demikian membangun stratifikasi sosial, dengan menempatkan penuturnya pada gugusan wawasan global-nasional-lokal. Pencitraan ini melalui proses panjang ekspansi politik dan ekonomi.   
 Struktur kekuasaan terbangun dari alokasi fungsi bahasa ini. Bahasa (dan sastra) daerah berada pada hierarki paling bawah. Penggunaannya dipencilkan dari forum-forum ilmiah dan kegiatan seremonial pemerintahan. Ia tidak menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah, pemakaiannya hanya terbatas pada hiburan dan pertunjukan/pewacanaan seni tradisional. Berkecimpung dalam bahasa dan sastra daerah dipersepsikan tidak memiliki nilai prestise dan manfaat ekonomi. Bahasa dan sastra daerah tidak mendekatkan kepada pusat kekuasaan. Tidak membantu mobilitas sosial. Di sinilah tikaman politik yang saya maksud. Prosesnya sangat halus dan nyaris tanpa “rasa sakit” serta tidak dilakukan dalam satu malam.
Namun, terkait globalitas, lokalitas adalah jualan yang laku di pasar global. Pusat-pusat kekuasaan masih membutuhkan bahasa dan sastra daerah sebagai komoditi budaya. Secara fungsional, banyak bahasa berguguran di deras perubahan sosial. Keberadaannya tinggal artefak. Tinggal pecinta “benda-benda” kuno saja yang masih bersetia menggalinya. Segelintir orang yang patut kita angkat topi atas dedikasinya.
            Meski demikian, upaya pusat kekuasaan untuk mengangkat budaya dan sastra daerah tetap patut dihargai. UU Nomor 24 tahun 2009,  Pasal 42 ayat 1 berbunyi, “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.” Pun telah disahkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 7 tahun 2009 tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah. Namun semua proses politik tersebut tidak cukup memadai jika tidak diiringi dengan strategi pencitraan dan pemberian nilai ekonomis pada pengembangan bahasa dan sastra daerah. Ada anggaran besar yang harus digelontorkan, karena masing-masing bahasa berada dalam persaingan sengit memperebutkan hegemoni dan kekuasaan. Jika tidak, jangan bermimpi bahasa dan sastra daerah akan dapat duduk setara. Sepertinya bahasa dan sastra daerah akan tetap menduduki kasta terbawah dalam hierarki kekuasaan. Terkantuk-kantuk menerima tikaman kekuasaan.    
            Permasalahan bertambah rumit lagi ketika kita menyadari bahwa bahasa dan sastra daerah pun banyak ragamnya dan tersebar jauh ke pelosok, jauh dari pusat-pusat kekuasaan di daerah. Pilihan yang banyak ini tentu menyulitkan dan berpotensi menimbulkan kecemburuan. Namun optimislah, tangan-tangan kekuasaan bukan hanya milik penguasa-penguasa simbolik yang kita sebut pemerintah. Tetap ada yang bertahan sekuat tenaga menjaga gawang kekayaan lokal daerah meski dengan hati pedih dan teriris-iris. Dan bukankah, jika bahasa dan sastra daerah mati, kita, generasi yang ada kini, telah sedia memakamkannya dengan penuh kebesaran?      
            Terakhir, ijinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah puisi, bertanggal lahir 12 Desember 2009 lalu.
  
TIRAN SEPANJANG ZAMAN

Kemari, duduklah di sini
Aku akan bercerita kepadamu tentang
Tiran Sepanjang Zaman

Hewan-hewan yang punah
Laut yang tercemar
Belantara yang tersingkap
Perut bumi yang terbuka
Ras yang hilang
Kemiskinan yang menganga

Kamu ingin menyalahkan seseorang
Kamu ingin ada yang ditunjuk jidatnya
Kamu merasa hidup di sistem yang salah
Sendirian sebagai martir yang malang
Kamu meronta-ronta dan menggugat

Lupakan sejenak semua yang menimpamu
Musuh yang kau bicarakan terlalu kecil

Tidakkah gemetar, sesungguhnya yang kita hadapi
adalah Tiran Sepanjang Zaman: apatisme
dalam diri.


Loktabat Utara, 28 Desember 2009 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar