Laman

24.2.11

SASTRAWAN, SELEBRITAS DAN HUKUM EKONOMI


Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Barangkali, sastrawan adalah istilah yang membingungkan atau bisa jadi menakutkan. Ada sejumlah paradoks yang terus-terusan dipertahankan. Kesulitan pertama adalah belum adanya definisi yang jelas tentang kedudukan manusia ini, apakah sebagai homo luden (manusia yang bermain), atau homo faber (manusia pekerja), atau homo symbollicum (pembuat simbol) atau homo esperans (yang berharap), atau homo-homo lain yang pernah didefinisikan. Ia dapat didefinisikan sebagai apa saja, dan karenanya maasi (patuh) dengan hukum-hukum yang banyak itu. Ia dapat terlihat berpolitik dari kacamata politik, tunduk pada hukum ekonomi bila dilihat dari kacamata ekonomi, atau terlihat seperti bermain-main saja (iseng) bila dilihat dari kacamata yang lain.    


Maka yang paling aman, adalah mendefinisikan sastrawan berdasarkan perannya dalam konteks sosial yang melingkupi. Ini seperti membangun monumen diri dalam ruang sejarah. Kegamangan yang tercipta seringkali berasal dari kegamangan menerjemahkan diri di tengah tuntutan-tuntutan zaman. Apakah bermakna menjadi sastrawan saat ini, jika ternyata sastra yang dijunjung tak kunjung memberi penghidupan yang layak bagi penggiat-penggiatnya? Sastrawan selalu tergoda untuk menyalahkan minat baca yang rendah, tidak memadainya perhatian pemerintah, tanpa menyadari bahwa peran sastrawan saat ini telah menjadi sebuah paradoks.
Pertanyaannya, di hadapan zaman yang hiruk-pikuk dengan konsumerisme dan turisme ini, apakah wilayah sastra yang kontemplatif ingin juga bergenit-genit? Sastra Koran, sebagai realitas kesastraan Indonesia saat ini, telah menunjukkan kompromi itu. Lihatlah bagaimana sastra duduk berdampingan dengan berita kriminal, iklan obat kuat, gosip artis, resep memasak, gonjang-ganjing dunia politik, euforia dunia olahraga, informasi saham di bursa efek, dsb. Meski ada sekat, ia telah dengan tepat menggambarkan kedudukan sastra yang sama pentingnya (atau tidak pentingnya?) dengan “yang lain” itu di mata ekonomi kapital.             
Kalau dulu, zaman Soekarno dan Soeharto, bolehlah kedudukan sastra dan sastrawan  ditentukan oleh proses politik, sehingga seorang Saut Situmorang harus menulis buku “Politik Sastra”(?). Saat itu politik memang menjadi “panglima”, maka wajarlah timbul tenggelamnya (baca juga: terkenal tidaknya) sastrawan banyak dipengaruhi proses-proses itu, selain ditentukan kreatifitas sastrawan bersangkutan. Namun, saat ini, ketika kekuatan-kekuatan politik mulai melemah digantikan oleh kekuatan pasar, maka tidak relevan lagi kesalahan ditimpakan pada pemerintah. Hukum pasar yang berlaku. Dengan kata lain, jika ada yang mengatakan bahwa saat ini, sastra kurang memiliki posisi tawar di masyarakat maka hal itu merupakan kelemahan dari segi marketing. Harus dibangkitkan jiwa-jiwa enterpreneurship, bukan hanya mental tergantung pada Dewan Kesenian atau kemauan sejarah.
Ya, masalahnya hanya sisi marketing. Saya tidak ragu dengan sisi produksi. Saya yakin ribuan karya sastra tercipta di Indonesia dalam kurun waktu seminggu saja. Adanya halaman sastra bukan berarti sebuah kemenangan sastra di masyarakat, karena ia sama remehnya dengan halaman-halaman lain yang minta betotan serupa. Halaman sastra di Koran telah menjadi kelumrahan. Bermakna hanya bagi segelintir peminatnya saja. Ia harus “merebut” halaman-halaman lain atau melakukan strategi marketing door to door (pintu ke pintu) alias jemput bola. Tanpa keagresifan semacam itu, sastra akan tetap terasing meski selalu hadir di tengah masyarakat. Sastra akan dianggap tak menyuarakan apapun meski telah berteriak-teriak. Ujung-ujungnya, lenguh “sastrawan” yang mengeluh menyalahkan keadaan terdengar lagi.
Banyak cara untuk mendobrak pasar. Dibutuhkan kejelian membidik. Dan kadang harus berkolaborasi dengan “yang tidak sastra”. Makanya dibutuhkan pemahaman akan hukum-hukum ekonomi. Sastra dan ekonomi? Sebuah kombinasi yang aneh, bahkan kontradiktif. Ya, apa boleh buat, sastra harus mulai mengiklankan diri di tengah masyarakat, setelah ia kehilangan kuratornya yang handal (pemerintah/negara). Kata seorang teman, iklan terbaik adalah kualitas produknya. Terkait kualitas ini, saya terkenang penyataan John Sifonis, bahwa berbeda itu belum tentu lebih baik, namun yang terbaik sudah pasti berbeda. Perbedaan adalah kualitas pertama yang harus dimiliki untuk mendobrak pasar. Inovasi yang terus-menerus dalam karya dan dalam cara menyapa adalah harga mati.
Langkah selanjutnya membombardir bawah sadar khalayak. Intensitas (kekerapan) menjadi kata kunci. Sastra harus menyusup ke banyak tempat dengan frekuensi yang sering. Tentu saja sastra yang dimaksud bersentuhan langsung dengan kebutuhan publik yang disasar. Wow, lihatlah. Sastra telah menjadi komoditas, menjadi dagangan. Ada produksi, hukum penawaran, konsumen, pasar. Karya sastra sebagai produk intelektual (Pram menyebut: anak-anak rohani) kini berhadapan dengan kekuatan pasar. Di sinilah paradoksnya. Apakah sastra yang adiluhung itu mampu menahan gempuran perayaan-perayaan dangkal dari homo economicus? Di satu sisi, sastra ingin memasyarakat. Di sisi lain tak ingin terjebak dengan selebritas kosong.   
Dalam wacana ekonomi, pasar sastra telah tersegmentasi sedemikian rupa. Sastra dapat saja terbelah menjadi sastra kapital (didukung oleh modal kuat, marketing yang baik, branded, manajemen modern) dan sastra kaki lima. Barangkali dapat ditambah pula sastra birokrasi, untuk menyebut wilayah sastra yang bertumpu pada kekuatan birokrat tradisional yang berbasis anggaran. Namun percayalah, mereka semua memiliki pangsa pasar masing-masing. Dan lagi sekat-sekat yang terbangun bisa jadi imajiner. Sastra dapat menembus ke mana saja. Dapat pasang, dapat surut.
Namun yang tak terelakkan, di tengah perayaan besar manusia ekonomi itu, adalah munculnya penggembira-penggembira. Mereka yang tergiur dengan “profit” namun tak menunggu lama bertumbangan di tengah jalan. Munculnya penggembira yang tumbuh seperti jamur di musim hujan sesaat akan terlihat menggembirakan  (namanya juga penggembira…). Namun kesudahannya, bagi sebagian orang, akan menciptakan perasaan miris atau bahkan tertipu. Dalam dunia ekonomi, itu hal biasa. Hanya yang ulet dan kreatif yang mampu bertahan: ialah mereka yang dibimbing oleh mimpi-mimpinya.       
Sastra adalah investasi. Seorang anggota parlemen Inggris, pernah lebih memilih kehilangan India (sebagai jajahan Inggis waktu itu) daripada kehilangan Shakespeare. Artinya ia lebih menghargai sastra sebagai jati diri bangsa ketimbang larut dalam proses politik yang tak tentu. Sastra  vis a vis Negara barangkali telah dirumuskan. Lihatlah bagaimana angkatan 45 diposisikan sebagai pendobrak yang menggaungkan semangat kemerdekaan Republik ini. Atau angkatan 66, yang memecah kebuntuan politik Soekarno yang Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Kekuatan politik memudar setelahnya. Ketika kekuatan ekonomi mulai menguat, orang kaya baru bertumbuhan, dan proses politik kembali ke daerah (otonomi), penanda sastrawan adalah kota. Kota menjadi pusat baru, muncul koran-koran lokal berbasis kota, Dewan Kesenian kota, antologi karya sastra yang berbasis kota. Namun yang mencengangkan, bulan madu kota tak bertahan lama. Sebabnya, kota telah menjadi monster yang menawarkan keseragaman dan kegaduhan yang artifisial.  Untuk melawan itu semua, dilakukan penggalian terhadap estetika-estetika lokal. Saat ini, yang tumbuh adalah komunitas. Banyak sastrawan yang merasa perlu menambahkan keterangan bahwa ia bergiat di komunitas tertentu. Terutama bagi yang lahir paska-kota itu, tentu saja untuk meningkatkan posisi tawar dihadapan editor Koran. Perhatikan fragmentasi yang terjadi: Negara-Kota-Komunitas. Entah apa lagi berikutnya, atau bisa saja ini akan berputar menjadi siklus.
Sastrawan hanya topeng. Suatu saat harus dilepaskan. Sebagai suatu peran dalam sebuah konstruksi sosial, kesastrawanan tidak harus kaku dan membelenggu. Ia hanya kendaraan untuk menggugat dan menyadarkan, bahwa kita, tanpa kecuali, bukan sekedar manusia. Tapi sungguh-sungguh manusia. Demikian, tulisan yang berbelit-belit dan penuh kata-kata besar ini, semoga sedikit banyak memberikan pencerahan. Hehe…      
        
Selasa, 15 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar