Laman

10.9.11

Doa Banyu Mata dan Bawah Sadar Kolektif Orang Banjar (Sebuah Perjalanan Mencari “Banjar”)

Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Kada karasaan banyu mata kilirkiliran
Dalam hati maingui doa
Ma
Bah
Ulun tulak
Handak manuntut ilmu di banua urang
Sangui banyakbanyak ulun
Lawan doa pian badua
 (Doa Banyu Mata, 1979)


Tanggal 4 Agustus 2011, hari keempat bulan Ramadhan, saya menerima buku dengan kover berlatar hijau tua itu, yang setiap sudut-sudutnya penuh tetesan air (sepertinya) hujan. Lewat kemurahan hati seorang teman, di singgasananya yang mungil, kantor Tahura Media di bilangan Jalan Sultan Adam. Ya, sebuah kumpulan puisi Bahasa Banjar berjudul Doa Banyu Mata oleh Abdurrahman El Husaini. Membaca puisi yang tampil menjadi judul buku di pembuka tulisan, terbentanglah sebuah pengalaman yang sangat personal. Sebuah perpisahan seorang anak yang ingin menuntut ilmu. Peristiwa akan madamnya satu anak manusia, atau dalam bahasa penyairnya: “Pas basalaman handak turun pada rumah”. Sebuah pembuka yang cantik, saya kira, yang ingin saya sebut perjalanan mencari banjar di dalam diri.


Apa sebab? Ternyata di balik judul yang sederhana itu, tidak hanya persoalan personal yang terungkap. Tapi juga mendekam bawah sadar kolektif orang Banjar. Saya merasakan sebuah ketegangan kultural. Ini suatu cara yang luar biasa, sebuah buku kumpulan puisi ternyata memberi inspirasi penting kepada saya untuk mendefinisikan siapa itu orang Banjar. Petunjuk yang mengarahkan saya awalnya ini:  walaupun tema besarnya kumpulan puisi bahasa Banjar, namun tak satu pun kata dalam judul itu (Doa Banyu Mata), yang merupakan kata asli bahasa Banjar. Semuanya kata serapan. Dan ternyata di masing-masing kata itu, terdapat medan pengaruh yang memberi warna bagi alam pikiran masyarakat Banjar.
Doa, adalah serapan dari bahasa Arab/Islam. Banyu, serapan dari bahasa Jawa. Mata, saya kira, serapan dari bahasa Melayu (salah satu subkultur Melayu, Minang, misalnya menyebut mata dengan mato). Jadi mana Banjarnya? Tidak kelihatan. Sebab Banjar adalah sebuah pergeseran budaya. Bagi saya, Banjar adalah masyarakat yang selalu berada dalam ketegangan kultural untuk menjadi. Ia bergerak dari kebudayaan lama menuju kebudayaan baru yang tak juga terdefinisikan. Ada tiga kekuatan medan pengaruh yang saling tarik menarik, yang sangat dinamis, yang saling berebut pengaruh, yaitu Arab-Jawa-Melayu. 

Pengaruh Arab, merasuk ke dalam sistem kepercayaan atau religi masyarakat Banjar. Ada pusat-pusat kebudayaan yang kentat dengan nuansa Arab/Islam (kampung Dalam Pagar, Sekumpul, Martapura secara umum) dan tokoh-tokoh yang identik dengannya. Yang menonjol seperti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan juriat-juriatnya. Ada juga ritual-ritual atau upacara-upacara yang berasal dari kebudayaan lama namun diberi sentuhan keislaman. Orang Dayak yang memeluk agama Islam, pernah pula suatu saat dikatakan, menjadi orang Banjar. Orang yang berjubah panjang, berbulang, berhaji, dan mengajar agama Islam, mendapat tempat yang terhormat dan dipanggil dengan sebutan: Tuan Guru. Lebih ke depan, corak keislaman orang Banjar lebih beragam, mulai muncul gerakan Muhammadiyah, Ikhwanul, Jemaah Tabligh, dsb. Namun secara umum, basis keagamaan yang diwariskan Syekh Muhammad Arsyad masih kuat mewarnai kehidupan religi masyarakat Banjar.       
Pengaruh Jawa, lebih menonjol dari segi politik, namun tak tertutup juga dari segi ekonomi dan teknologi. Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang menerima dan mengakui hegemoni “Jawa” atas dirinya. Dalam Hikayat Banjar, bagaimana diceritakan seorang Lembu Mangkurat berangkat ke tanah Jawa untuk mencari raja bagi tanah Banjar mendampingi Putri Junjung Buih yang berdarah pribumi. Raden Putera atau yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Suryanata adalah pembangun trah itu. Ia menjadi tokoh legendaris bagi bangunan politik kerajaan Banjar, bahkan hingga kepemimpinan Kalsel saat ini. Tokoh-tokoh “Pagustian” dan juriat kebangsawanan seperti menjadi mitos kepemimpinan orang-orang Banjar.
Bahkan, saking pentingnya Jawa, kebudayaan-kebudayaan dunia untuk masuk ke tanah Banjar harus tersaring dahulu melalui Jawa. Kebudayaan Arab/Islam, masuk ke Banjar melalui Demak, tanah Jawa. Kebudayaan Barat, yang mencoba masuk secara langsung ke Banjar, malah berujung perang Banjar. Ia baru dapat masuk ke tanah Banjar, ketika tersaring melalui Jawa, dalam bentuk keindonesiaan. Bukankah sistem perpolitikan Indonesia mengambil saripati kebudayaan Barat yang memisahkan Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif? Tentu lewat sentuhan sana sini oleh Founding Father. Satu hal yang menggembirakan dari Indonesia, seperti diungkapkan sejarawan, Ongkokham: tanpa Indonesia, kau akan berjalan membungkuk-bungkuk dan menyembah-nyembah di hadapan raja-raja Jawa. Bahkan terhadap anak cucu dan kroni-kroninya sekalipun.      

 Saat ini, di mana mitos kepemimpinan Nasional masih tetap di seputar “Jawa”, tanah Banjar tetap setia menginduk karena bawah sadarnya memang terbentuk demikian. Lewat jalur politik, Jawa memasukkan unsur-unsur budayanya yang lain, seperti adat-istiadat keraton, kesenian (wayang, gamelan), kosakata. Setiap melewati tugu pal 17 di Gambut, yang menjadi persimpangan jalan saya menuju RS Jiwa Sambang Lihum. Saya kerap melirik bangunan tugu yang mirip candi Jawa itu sebagai bentuk hegemoni Jawa atas tanah Banjar.    
Namun, alih-alih mengakui budaya Jawa sebagai rujukan, orang Banjar lebih merasa Melayu. Ia lebih berani terbuka, tidak sungkan mengkritik, bahasanya hanya selapis, tidak seperti bahasa Jawa yang mengenal kromo, kromo ingil, ngoko. Namun bukan berarti tidak bisa sopan santun. Bahasa Banjar dapat lebih sopan dengan menghaluskan intonasi dan memperlembut panggilan kata ganti orang. Melayunya Banjar dapat terlihat dari pakaian yang diakui menjadi pakaian adat Banjar, bentuk rumah yang panggung, dan pengembangan teknik pembuatan kapal yang memungkinkannya untuk menjelajah sungai-sungai besar bahkan mengarungi samudera demi keperluan perdagangan. Sesuatu hal yang tidak dikembangkan kebudayaannya yang terdahulu yang hanya bisa berburu, meramu dan bercocok tanam.  
Dalam Hikayat Banjar, unsur-unsur Melayu mulai terbentuk saat pemerintahan kerajaan Nagara Daha yang bercorak Budha. Raden Sari Kaburangan (Raden Sekar Sungsang), yang meskipun masih ada persambungan nasab dengan raja-raja Negaradipa, lebih memilih berkiblat ke kerajaan Melayu Sriwijaya sebagai pusat agama Budha di masa itu. Persinggungan dengan unsur Melayu makin menjadi-jadi saat Pangeran Samudera terusir dan ditampung oleh Patih Masih di sekitaran sungai Kuin, yang konon berdarah Melayu. Hasil penelitian Wurm dan Willson (1975), hubungan kekerabatan antara Bahasa Melayu dan Bahasa Banjar mencapai angka 85 persen. Adapun kekerabatan dengan bahasa Maanyan sekitar 32 %  dan dengan bahasa Ngaju 39 %, berdasarkan penelitian Zaini HD1.   
Tingginya hubungan kekerabatan bahasa Banjar dengan Bahasa Melayu barangkali menunjukkan lamanya proses pembauran. Bisa jadi, hubungan itu telah terjalin lama sebelum Nagara Daha berdiri. Penelitian oleh Balai arkeologi Banjarbaru, tahun 1996, saat melakukan pengujian sampel arang Candi Agung di Amuntai, ternyata menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto)2. Ini artinya, 600 tahun lebih tua dari kerajaan Kutai. Beberapa peneliti mengkaitkannya dengan kerajaan etnis Maanyan, kerajaan Nan Sarunai atau dengan kerajaan Tanjungpuri. Sayangnya, belum ditemukan prasasti tertulis yang menjelaskan hubungan tersebut. Kelihatannya Candi Agung adalah tempat peribadatan kuno yang dibangun lagi semasa kerajaan Negara Dipa. Pertanyaannya, kenapa Hikayat Banjar hanya berhenti sampai Negara Dipa, bukan kerajaan-kerajaan di atasnya? Sebab ini untuk menegaskan hegemoni “Jawa” di mana nasabnya bermula lewat ketokohan Pangeran Surianata.
Legenda Dayak Meratus menceritakan Datu Dayuhan dan Datu Intingan sebagai saudara sekandung. Datu dayuhan menurunkan orang dayak meratus. Sedang Datu intingan kawin dengan imigran melayu, melahirkan lima panglima kerajaan Tanjungpuri, Panglima Alai, panglima Tabalong, panglima Balangan, panglima Hamandit, panglima Tapin. Ekspedisi Majapahit di bawah pimpinan Empu Jatmika demi menaklukkan Tangjungpuri telah menempatkan Putri Junjung Buih sebagai putri boyongan. Namun kedahsyatan olah sastra dalam Hikayat Banjar membangun mitos rekonsiliasi lewat reka-reka peristiwa gaib dan penuh kesaktian menjadikan pertemuan kebudayaan lewat perkawinan itu sebagai sesuatu yang sakral dan suci.
Maka, demikianlah, ketegangan kultural itu telah menjadi sejarah perjalanan dan menjadi bawah sadar kolektif orang Banjar. Jadi, menjadi Banjar berarti menerima pergeseran orientasi budaya di sebuah wilayah geografis yang melibatkan suku Maayan, Ngaju, Meratus, dsb. demi menghayati kebudayaan baru, yang melibatkan Islam, Jawa, dan Melayu. Atau sebagaimana perkataan saya sebelumnya, Banjar adalah masyarakat yang selalu berada dalam ketegangan kultural untuk menjadi.
Klop dengan kisah perjalanan si penyair Doa Banyu Mata, yang berangkat dari pusat komunitas awen suku Dayak menuju pusat tanah Banjar. Puruk Cahu, tempat kelahiran si penyair, selalu menyimpan kisah mengharukan tanah Banjar. Di sana syahid raja Banjar yang terakhir, Gusti Muhammad Seman, di tangan kafir Belanda. Di sana juga bermakam seorang pejuang gagah berani yang namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit di Martapura, Ratu Zalecha. Ibu Mertua saya tahun 2010 lewat berkesempatan menziarahi makamnya yang untuk menuju ke sana harus naik turun bukit, di dalam hutan yang hanya mampu dilalui kendaraan roda 2. Puruk Cahu adalah tempat pelarian sisa-sisa pejuang perang Banjar, dalam jabat hangat saudara tua suku Dayak. Pergi madam si penyair, bagi saya, tidak saja untuk menuntut ilmu, tapi juga untuk mencari “Banjar”. Bukan cuma Banjar yang dapat dihayati di Puruk Cahu. Tapi Banjar yang menawarkan ketegangan kultural.
Berangkat dari ketegangan kultural itu, ada 2 sikap yang mungkin muncul. Pertama, sikap relijius mengarah sufistik dan sikap bijak khas Melayu yang melibatkan peribahasa-peribahasa. Kedua, sikap menertawakan karena terlampau pahitnya menghadapi realitas. Humor-humor satir yang mengejek-maurahi, yang ingin keluar dari kejenuhan, termasuk humor-humor yang menyerempet porno, termasuk humor yang menjebak (mahalabio), menjadi stereotif dominan orang Banjar. Puisi-puisi dalam Doa Banyu Mata, saya kira, tak lepas dari itu semua.
Beberapa puisi berikut membuat saya tersenyum simpul “Ubui lahai/Haraga mutur trak wan kuda/Bilang kurang labih haja lawan sasapu haduk” (Barikin, hlm. 69), “Jalabiya ari samalam disanga baasa sakalinya” (Panataran 1, hlm. 47), “Talah manalu piring/Tapi kanyangnya takaurang” (Panataran 2, hlm. 48), “Kadakah/himungnya/hampai/takantut-kantut/?” (Sajak Gajih nang Katalu Walas 1, hlm. 42), “Ka ulu ka ilir/Muha saurang jua sakalinya nang dijanaki” (Gembira Loka, hlm. 19), “Sahibar mancari luang haja sakalinya lahai” (Hakikat Hidup, hlm. 63). Lihat puisi yang terakhir saya kutip, bisa menjadi sebuah penggambaran yoni, untuk menyalakan insting hidup. Bisa mengarah ke lubang kubur, sebagai insting mati. Inilah barangkali sikap lepas (nothing to loose) urang Banjar, sebagai strategi menghadapi ketegangan kultural itu.  
Kesimpulannya, Banjar adalah proses menghayati Islam kultural, dengan menerima hegemoni “Jawa” atas dirinya, mengakui Melayu sebagai ibunya, dengan sedapat mungkin berjarak dengan Dayaknya. Entahlah.


1,2. Baca juga tulisan Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Sejarah Kehidupan di Tanah Banjar. Di Blog yang bersangkutan.

Sabtu, 6 Agustus 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar