Laman

26.2.11

RUMAH DEBU: ANTARA METAFOR SOSIAL DAN METAFOR PERSONAL

Oleh M. Nahdiansyah Abdi
Data Novel

Judul               : Rumah Debu
Penulis             : Sandi Firly
Cetakan           : I, November 2010
Penerbit           : Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal               : iii + 151 halaman, 14 x 20 cm
ISBN               : 978-602-84140-26-0


Bukan maksudku mau berbagi nasib
Nasib adalah kesunyian masing-masing

(Pemberian Tahu, Chairil Anwar)

             Saya kira, kutipan puisi dari Chairil Anwar dengan judul yang jadul itu, mampu mengekspresikan bagaimana novel “Rumah Debu” terbangun. Ia berangkat dari kesunyian jiwa dan akan pulang pada Kesunyian yang lain. Novel “Rumah Debu” memang dilatari persoalan tambang batubara, namun latar sosial tersebut nampaknya tidak terlalu penting. Konflik-konlik yang terjadi, lebih tajam dan menukik pada kegelisahan individual tokoh-tokohnya ketimbang suntuk terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan. Jangan membayangkan novel ini sebagai novel perlawanan, yang dengan heroik menyuarakan ketidakadilan. Orang-orang kecil itu hanya terseret ke pusaran, seperti debu yang tak berdaya dihembus angin.


            Rumah debu, seperti dikatakan Sainul Hermawan dalam tanggapannya di cover belakang buku, adalah metafor sosial bagi banua batubara. Sebuah rumah yang secara politik dibayangkan sebagai wilayah yang intim sekaligus asing. Intim karena “kita” bernafas, tumbuh, bekerja, bermain, bahkan beranak pinak di dalamnya, namun asing karena kekayaannya diangkut keluar dan dinikmati orang-orang dari negeri antah berantah. Kenyataan yang miris ini, menimbulkan pertanyaan: benarkah ini rumah kita? Tokoh-tokoh dalam novel itu seakan dikepung oleh pertanyaan demikian. Kemuakan, ketidakbetahan, kepedihan, bahkan keterasingan mencuat akibat aktivitas tambang batubara.
Metafor sosial memang terlihat kentara dalam novel ini. Ada bagian dalam novel yang melukiskan secara telanjang bagaimana truk-truk batubara yang mengular di jalanan, meninggalkan debu yang menutupi rumah-rumah hingga kecoklatan. Inilah rumah debu itu! Namun ini tak menutup pada tafsir lain. Rumah debu dapat menjadi metafor personal tokoh utamanya yang remaja. Rumah adalah simbol kehidupan tenang dan debu adalah simbol dari tualang. Di sinilah mula konflik dan kegelisahannya. Perhatikan kutipan berikut: “Ujung-ujungnya, kedua peristiwa itu hanya mengingatkannya kepada dua wajah; Kira dan Jantra. Pada Kira, dia seperti menemukan sosok perempuan yang mampu meneduhkan perasaannya, sedangkan pada Jantra ia melihat sosok lelaki yang membuatnya kagum. Dia berharap nantinya bisa mengenal keduanya lebih jauh. Terutama Kira.” (hlm. 29-30).
    Hasrat akan rumah terwakilkan pada sosok Kira. Semacam hasrat -- meminjam bahasa Chairil Anwar --  untuk kawin, beranak dan berbahagia. Merasakan ketenangan dan keteduhan, sebagaimana rumah menjadi tempat yang nyaman dan menenteramkan serta mengistirahatkan diri. Rasakan bahasa novel ini menerjemahkan Kira: “Tak dapat dipungkiri Rozan, Kira telah memesonanya. Mata perempuan itu begitu teduh, seolah-olah ia bisa melabuhkan segala kepenatan dan kesendiriannya selama ini ke dalam relungnya. Senyumnya juga begitu menawan, tidak lebar, tapi memberikan ketenangan.” (hlm. 25). Indah bukan?
Adapun debu, yang menjadi simbol tualang, terejawantahkan pada sosok Jantra. Hasrat untuk mencicipi hal-hal baru dan asing serta mereguk senikmatnya kehidupan yang keras, kehidupan sebagai “laki-laki”. Demikianlah, rumah dan debu telah menjadi simbol pergolakan batin tokoh utama novel itu. Memilih antara kehidupan tenang atau mengembara tak tentu tuju demi sebuah kepuasan batin. Menziarahi negeri-negeri asing dan menikmati keriuhan yang juga asing. Dalam bahasa Sandi, semacam keinginan yang mendekam di dalam dada yang jika tak terwujud akan menjadi sesuatu yang tak terperi (hlm. 151).
Pada akhirnya, hasrat tualang lah yang dimenangkan. Rozan memutuskan untuk pergi sejauh kakinya melangkah. Berkelana dari satu negeri ke negeri lain, dari satu tempat ke tempat lain. Persis dengan akhir dari puisi Chairil Anwar dengan judul yang jadul itu (barangkali jika hidup sampai sekarang, Chairil bakal mempertimbangkan untuk mengganti judul puisinya menjadi Pemberitahuan): “Jangan satukan hidupmu dengan hidupku/Aku memang tidak bisa lama bersama/Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
Kenapa simbol tualang pada debu, bukan pada burung, misalnya, yang jauh lebih bebas, hidup dan gembira. “Aku hanyalah sebutir debu dalam genggaman angin, ” kata novel itu di halaman 150. Ya, debu adalah simbol ketidakberdayaan menghadapi permainan Nasib. Sebenarnya hasrat debu adalah statis, diam, ingin tinggal di rumah. Jika tak ada angin yang membawa, ia akan bahagia di tempatnya. Jadi, tualang yang akhirnya menang itu, karena ada campur tangan “pihak lain”. Kepedihan, kesendirian, nasib diri, adalah pendorong lain yang menyebabkan petualangan dapat terlaksana. Suatu saat, ia dapat saja terpesona dan memutuskan untuk menjalani kehidupan tenang. Bukankah di awal tadi sempat dikutipkan, bahwa ia ingin mengenal Kira dan Jantra lebih jauh. Namun ada penekanan pada kalimat selanjutnya: Terutama Kira. Ini menandakan bahwa kehidupan rumah sebenarnya jauh lebih menarik hatinya. Namun kejadian-kejadian yang berikutnya, memaksa Rozan untuk pergi jauh mengobati luka hatinya.  
Jika novel “Rumah Debu” dapat berbicara, ia akan mengutip puisi Chairil Anwar, “Bukan maksudku mau berbagi nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Bagaimana tidak, selain tentunya karena aktif mengelola blog “Ruang Sunyi”, novel ini terlalu fokus pada konflik batin dan kegelisahan tokoh-tokohnya sehingga kadang abai dengan setting tempat, waktu dan konteks sosial. Maksud saya, ini akan terasa membingungkan ketika pembaca dihadapkan pada kondisi sebenarnya di lapangan atau ada keterangan-keterangan yang saling bertabrakan. Beberapa kejanggalan yang ditemui, antara lain:
Pertama, tak ada keterangan di mana Guru Zaman tinggal. Tak ada nama kampung, yang menandai lokalitas tertentu. Di halaman 3, disebutkan bahwa tujuan Rozan adalah Rantau: “Rantau, ibukota Kabupaten Tapin, kota yang dituju itu, jaraknya hanya sekitar 68 kilometer,...”. Namun, paragraf berikutnya “... saat memasuki Kabupaten Tapin, ia harus mengatakan kepada sopir agar diturunkan di depan Langgar Ar-Rahim.”  Yang membingungkan, saat memasuki Kabupaten Tapin, kita tidak secara otomatis memasuki kota Rantau. Sebelumnya ada Sungkai, Binuang, Pulau Pinang, dst. Dan jika latarnya memang iring-iringan truk batubara, maka truk-truk itu tidaklah melalui kota Rantau. Jadi dimanakah letak “kota dengan sisa-sisa lelatu yang dibawa angin dari sebuah padang rumput yang terbakar?” (hlm.3).
Kedua, kapan Pak Ismail (ayah Kira) menikah secara siri dengan Sarah Hidayati (isteri kedua) di Yogyakarta? Keterangan pertama ada di halaman 24: “Ibunya baru satu bulan belakangan ini mengetahuinya, padahal ayah Kira telah mengawini wanita itu sudah hampir sepuluh tahun.” Dikuatkan di halaman 25: “...pengkhianatan yang telah tersimpan selama sepuluh tahun.”  Namun, keterangan yang tidak sama muncul di halaman 127, dibawah subjudul Pengakuan: “Ya, saya kawin dengan seorang pengusaha batubara, Pak Ismail, sekitar satu tahun setelah saya pergi dari Martapura.” Kapan Sarah pergi dari Martapura? Penjelasan ada di halaman 126, yaitu setelah beristirahat beberapa hari usai melahirkan Rozan. Apa artinya ini? Jika yang menjadi “saat ini” dalam novel adalah usia Rozan saat 16 tahun, maka satu tahun setelah pergi dari Martapura itu berarti 15 tahun yang lalu. Jadi mana yang benar, 10 tahun atau 15 tahun yang lalu pernikahan itu terjadi? 
Ketiga, tak begitu jelas kapan dan tahun berapa kisah dalam novel ini terjadi. Penyebutan tahun nampaknya dihindari. Yang jelas terungkap adalah usia Rozan yang 16 tahun. Itu yang menjadi titik penceritaan (saat ini). Namun hal yang mencengangkan saya terjadi di halaman 103: ada disebutkan tahun! Itu terjadi di hari kelahiran Rozan, ketika Nini Salmah, bidan yang menolong kelahiran Rozan, menerangkan cucu perempuannya: “Ibunya meninggal saat berdesak-desakan di pengajian Sekumpul beberapa tahun lalu, mungkin tahun 2004...maklum nenek sudah agak pikun.” (Hlm. 103). Sepikun-pikunnya orang tua, tentu tak akan menyebutkan tahun yang belum terjadi, dan tentu  bakal diprotes pendengarnya. Ini artinya, ditambah usia Rozan yang 16 tahun, maka yang menjadi saat ini dalam novel setidaknya tahun 2020! Implikasinya tentu luas, tahun 2020 tak ada perbincangan tentang perkawinan pengusaha Batubara Aman Jagau dengan artis dangdut, Cucu Cahyati (hlm.111). Dan paling penting, tahun itu truk-truk batubara  tak lagi melewati jalan negara karena sejak 2009 atau 2010(?) telah dibuatkan jalur khusus angkutan batubara. Dan barangkali tahun 2020, batubara di Kalsel telah habis dikeruk, menyisakan bencana-bencana dan sejarah tambang yang getir buat dikenang. 
Keempat, keterangan ini juga membuat saya suprise, muncul di halaman 38: “...membayangkan kebiasaan rombongan pedagang di pasar terapung sepulang berniaga di Muara Kuin, Sungai Barito, melewati sungai kecil di tengah kota Banjarmasin, lalu menuju hulu hingga ke Martapura.”  Wow. Sejauh itu kah? Hingga ke Martapura? Lewat jalan darat saja Banjarmasin-Martapura memakan waktu lebih kurang 1 jam. Sungguh berat perjuangan merawat tradisi ini kalau itu memang terjadi.
Kelima, tak terungkap secara jelas, lokalitas pesantren yang seperti apakah yang memungkinkan Sarah Hidayati tetap mampu belajar di pondok tanpa ketahuan ia hamil, bahkan melahirkan, kecuali pada satu orang sahabatnya saja? Meskipun dijelaskan ia ditutupi dengan jubah yang sangat longgar (hlm. 102), rasanya sulit menutupi ciri-ciri fisik dan psikologis dalam lingkungan yang sangat komunal seperti di Pesantren. Apalagi ada saksi lain yang kurang dihitung, yang memungkinkan untuk terjadinya kegegeran dan terbukanya rahasia, yaitu Abang Becak yang membawa Sarah dan Zahra ke bidan kampung.    
Terlepas dari kejanggalan-kejanggalan yang saya rasakan, novel ini layak disambut sebagai puncak perjalanan sastra seorang Sandi Firly sampai saat ini. Entah, apakah ini akan menjadi novel pertama sekaligus novel terakhirnya? Yang jelas saya sedikit iri hati karena sampai sekarang belum segores kata pun dapat diluncurkan untuk membuat “barang” yang bernama novel itu. Salam kreatif selalu.  


2 Februari 2011
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar