Laman

8.9.14

Lampau dan Pelajaran Menulis Novel



M. Nahdiansyah Abdi


 Tentu berbeda pengalaman membaca novel antara orang yang mengenal penulisnya secara pribadi dengan orang yang tidak mengenal apapun  dari penulisnya kecuali hanya sekedar nama. Menyandingkan kehidupan pribadi si penulis dengan kisah dalam novel, sepertinya akan menjadi tambahan petualangan bagi orang-orang yang mengenal dekat. Pikiran dengan sendirinya akan mengelompokkan mana bagian yang merupakan imajinasi dan mana bagian yang merupakan kisah nyata. Pada kenyataannya, tak ada satu novelis pun yang luput dari menceritakan kisah dirinya. Ada lintasan-lintasan pengalaman atau persepsi yang sangat khas, yang sesekali tersembul dalam cerita, yang berasal dari kehidupan nyata si penulis. Semakin pembaca terlibat dalam kehidupan penulis, semakin tak terelakkan dorongan untuk menelisik itu. Dan jika itu diceritakan atau dituliskan, maka akan menjadi kisah tersendiri yang tak kalah  menarik.




Saya membaca novel Lampau karya Sandi Firly saat telah banyak tulisan yang mengulasnya dan dalam kondisi yang bisa dikatakan tak lagi hangat karena sudah lama diangkat dari oven penerbit. Padahal itu baru setahun yang lalu. Ah, kenapa saat ini begitu mudah “sesuatu” menjadi lampau. Mendapatkan bukunya pun dalam kondisi hati yang tidak enak sehabis disindir habis-habisan oleh Budi Darma dalam buku Solilokui. Katanya, sungguh mengherankan, bahwa kaum intelektual kita masih suka menerima yang gratisan atau semacam itu. Meskipun tak layak digolongkan kaum intelektual, saya telanjur tersinggung. Waktu menerima itu memang saat bertamu ke rumah penulis. Ada Hajri juga. Kata Hajri, memang punya duit untuk membeli? Saya terdiam menyadari dompet yang cekak. Membeli novel tidak ada dalam pikiran saya, yang ada hanya buku puisi saja. Tapi sepertinya Sandi tulus. (Aha, ketemu juga apologinya!). Paling tidak itu meredam rasa bersalah saya. Sembari mengharapkan sesuatu yang musykil, misalnya Sandi tak pernah menemukan tulisan ini.
Lama “Lampau” tak tersentuh. Ia tetap dalam bungkus plastiknya. Sempat terselip sesal kenapa kemarin lupa minta tanda tangan penulisnya. Sesuatu yang kini lumrah meskipun kalau dipikir buat apa juga. Mau membanggakan kalau sudah ketemu sama penulisnya? Tapi konon, kegiatan kecil itu membahagiakan penulisnya juga. Kembali ke “Lampau”, ia bahkan menjadi alas mouse buat komputer saya di rumah. Hah? Terus terang bahannya bagus. Setidaknya ia berguna dan dengan begitu ia akan bisa terlirik, sesekali. Ketimbang di rak buku. Tapi jurus itu juga tak mempan. Ia tetap dalam kepompongnya berbulan-bulan. Dan akhirnya, kesempatan itu tiba juga. Saat ini. Dan segera setelah itu, saya tak tahan untuk tidak menulis.
Seperti kebiasaan membaca buku puisi, saya mulai membaca dari halaman mana saja, maksudnya mana yang kebuka duluan. Dan yang terbuka pertama adalah halaman ketika Sandayuhan di atas kereta api menuju Jakarta, setelah pening berkapal laut dan memutuskan tidak akan pulang dalam waktu dekat gara-gara trauma mabuk laut. Pembacaan saya tidak lama. Hanya terbaca pengalaman si tokoh menjadi “preman” pasar, menulis dan menerbitkan novel, berkenalan dengan Alia Makki dan terakhir bertemu dengan Ranti, teman di masa lalu, dalam sebuah peluncuran novel. Malam itu saya memutuskan cukup segitu saja pembacaan saya, saya ingin menulis.
Pelajaran pertama yang saya dapat, adalah pelajaran menulis novel. Pelajarannya sederhana. Sebagaimana jalan yang ditempuh Sandayuhan: Tuliskan pengalamanmu saja, tambahkan sedikit imajinasi. Ceritakan hanya ceritamu di masa lalu dan setelah itu mainkan imajinasimu. Tapi ada bagian yang mungkin akan terlewatkan bagi mereka yang bercita-cita jadi penulis, bahwa Sandayuhan sering main ke toko buku buat membaca-baca novel. Proses ini bisa jadi terabaikan. Sering orang punya keinginan besar menulis hal yang besar tanpa melewati banyak proses pembacaan. Hikmah dari banyak membaca novel, seperti kisah Sandayuhan, akan menimbulkan benih berupa ilmu perbandingan. Dengan sendirinya akan terkotak-kotaklah para novel itu ke dalam kriteria novel bagus atau biasa-biasa saja. Yang bagus tentu di kemudian hari akan menginspirasi dan memberi terang jalan si pembaca, tapi yang biasa-biasa pun bermanfaat. Setidaknya, ia membuat novel bagus jadi lebih bercahaya. Sebab, bagaimana sesuatu dikatakan bagus kalau tidak ada pembandingnya. Kalau tidak punya ilmu pembanding, novel jelek pun bisa dikatakan bagus.
Di Bali, sewaktu UWRF
Ah, kenapa tiba-tiba saya merasa metode Sandayuhan ini menjiwai penulisan novel Lampau? Tiba-tiba saya teringat berpuluh-puluh novel Sandi di rak buku yang terpampang megah di ruang tamu. Tiba-tiba saya menemukan pola keterpesonaan yang sama antara tokoh di novel Lampau (Sandayuhan) dengan tokoh di novel Rumah Debu (Rozan) saat terbius aliran kasmaran. Mungkinkah Sandi sedang menceritakan dirinya sendiri di bagian ini? Saya cukup senang dengan asumsi bahwa penulis kisah cinta yang hebat akan menulis kisah kematian yang getir. Dalam sajak, Chairil Anwar contohnya. Sajak cintanya menggetarkan, dan sajak yang menuliskan kematian juga menggigit. Kemudian juga hadir perasaan tidak dapat terikat, pengembara tak tentu. Selalu gelisah dalam pencarian. Saya duga, kondisi-kondisi kejiwaan seperti itu bermula ketika seseorang telah mengalami pengalaman kehilangan sedari muda. Ia kehilangan obyek yang cinta. Kehilangan orang-orang yang dicintai. Sebab itu, bahasa-bahasa ketika menemukan cinta menjadi tumpah ruah mempesona. Dan ketika ia bertemu dengan kehilangan dan kematian, maka tidak semata-mata pengalaman kekinian yang muncul, tapi bertumpang tindih dengan pengalaman kehilangan dan kematian di masa lalu. Itulah yang membuatnya berkali lipat menggigit. “Karena bagaimanapun, masa lalu akan selalu menyeruak mencari jalan keluar,” tulis Sandi di halaman depan novelnya mengutip perkataan Khaled Hosseini dalam novel The Kite Runner. Ya, tidak sekali dua Sandi menanyakan apakah saya sudah pernah membaca novel Si Pemburu Layangan itu?
Waktu masih gondrong
Ada kemiripan antara Chairil Anwar dengan Sandi Firly, namun Si Binatang Jalang jatuhnya menulis puisi dan Si penyuka jaket jean lusuh dan topi kupluk itu, jatuhnya menulis novel. Keduanya petualang yang tak dapat terikat (setidaknya dimunculkan dalam sajak atau diwakilkan pada tokoh cerita), juga menulis bertema cinta dan kematian sama bagusnya. Lampau, dengan sendirinya, beroperasi di dua medan pengertian sekaligus. Di satu sisi berdiri di ranah waktu, di sini lain berdiri di ranah tempat atau ruang. Di ranah waktu, ia sejalan dengan ekor di judul Lampau: yang menjelma kini, yang mewujud lalu. Sebagai ruang, ia menjadi sebuah tempat terikat. Sebagai waktu, lampau melukiskan betapa tidak mudahnya lepas dari ingatan masa lalu dan sebagai tempat, ia menjadi simbol dari perjuangan untuk dapat mengikat diri, meski kefanaannya tak terelakkan. Walaupun kedua penulis ini ada kemiripan, tidak lantas nasibnya juga sama. Nasib adalah kesunyian masing-masing, tulis Chairil Anwar. Dan “kita memang tidak pernah tahu” , meminjam ungkapan Sandi saat menutup Lampau. Tapi setidaknya saya tahu akan menutup tulisan ini, sekarang telah lewat dari pukul 01.00 dini hari. Dan saya bukan makhluk nokturnal seperti dua penulis itu. Juga bukan pecinta kopi.

Jum’at, 25 Juli 2014       


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar