Laman

13.4.14

Merenungi Sajak, Menjaga Bumi, Merenda Keakanan

(Perbincangan melebar atas sajak Kalimantan Selatan 2030 Kemudian, karya Micky Hidayat)
Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Penampakan penyair Micky Hidayat, waktu muda :)
 
Sebuah sajak yang marah, yang berkabar tentang kehancuran dan tragedi, apa nikmatnya? Bagaimana cara “berdamai” dengan puisi yang gegap gempita menceritakan murka dan amukan alam. Saya tak tahu caranya dan sebenarnya tidak terlalu ingin menghadapi “amukan” kata-kata mengerikan dalam tubuh makhluk yang lembut seperti puisi. Menghadapi orang-orang gangguan jiwa di rumah sakit saja sudah repot. Tapi kalau mau ditelusuri, ada saja penyair yang mau mengolah tema tersebut. Salah satunya adalah penyair Micky Hidayat, yang menulis puisi Kalimantan Selatan 2030 Kemudian. Puisi tersebut dapat ditemukan di antologi “Sungai Kenangan” (ASKS IX, Banjarmasin, 2012). Konon, puisi tersebut merupakan metamorfosis dari puisi SOS Kalimantan Selatan yang terdapat dalam kumpulan “Meditasi Rindu”.     
            Jika merunut lebih awal, di era Pujangga Baru, penyair Amir Hamzah telah pula bertutur tentang huru hara alam. Di sajak Hanya Satu, dalam kumpulan “Nyanyi Sunyi”, si penyair bersenandung:

Timbul niat dalam kalbumu:
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

dst.


            Meskipun sama-sama berkabar tentang ngerinya sebuah bencana, namun antara puisi Amir Hamzah dan Micky Hidayat terdapat perbedaan. Amir Hamzah lebih menekankan dialognya dengan Tuhan, sedang alam hanya sebagai pelengkap. Alam tak lebih dari sesuatu yang mati, yang tidak berkehendak, barang ciptaan, instrumen, sesuatu yang hanya memiliki nilai guna. Sedang dalam puisi Micky Hidayat, sunnatullahnya lebih dikedepankan. Alam menjadi hidup, memiliki tubuh, mati, dan dapat menuntut balas. Alam bisa melampiaskan dendam kepada manusia yang dulu pernah menyakitinya. Dialog dengan Tuhan, nyaris atau bahkan tidak ada sama sekali.     
            Bumi yang hidup, saya pikir, mendekatkan kita pada sebuah paradigma yang dikenal dengan “ekologi-dalam”. Aliran filsafat ini didirikan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia di awal tahun 1970-an. Ekologi-dalam merupakan pandangan dunia yang mengakui nilai yang melekat pada kehidupan nonmanusia. Semua makhluk dianggap sebagai anggota komunitas ekologis yang terikat bersama dalam suatu jaringan yang saling tergantung. Dalam konteks ini, nilai yang melekat pada makhluk hidup didasarkan pada pengalaman ekologis-dalam atau spiritual bahwa alam dan diri itu satu. Sehingga hubungan antara persepsi ekologis atas dunia dengan perilaku bukan lagi hubungan logis, tapi hubungan psikologis. Beberapa penulis menggunakan istilah lain seperti “ekologi transpersonal” oleh filsul Waraick Fox atau istilah “eko-psikologis” oleh sejarawan budaya Theodore Roszak.   
            Pada saat yang hampir bersamaan, muncul ide-ide dan penelitian tentang sistem pengaturan diri. Ilmuwan syaraf Chili, Humberto Maturana bekerjasama dengan Francisco Varela, menggunakan istilah teknis Auto-poiesis. Kata poiesis sendiri memiliki akar kata Yunani yang sama dengan kata ‘puisi’, yang berarti membuat. Di dalam pola jaringan ini, fungsi tiap komponen adalah membantu menghasilkan dan mentransformasikan komponen-komponen lain mempertahankan sirkularitas jaringan. Dan itulah yang menjadi landasan bagi ‘pengaturan hidup’. Dalam kesimpulan Maturana: “Sistem-sistem hidup adalah sistem-sistem kognitif, dan hidup sebagai suatu proses ialah proses kognisi. Pernyataan ini berlaku bagi segenap organisme, dengan atau tanpa suatu sistem syaraf.” Wawasan sentral dari penyelidikan Maturana terhadap persepsi warna, ternyata membawanya pada kesimpulan bahwa kognisi adalah sebuah fenomena biologis. 
            Ide-ide tentang pengaturan diri ini, ternyata juga memesona kimiawan atmosferik, James Lovelock. Ia merumuskan model pengaturan-diri yang indah – ide bahwa planet bumi sebagai sebuah sistem hidup, yang mengatur dirinya sendiri. Awalnya, Lovelock yang bekerja di NASA meneliti komposisi kimiawi atmosfir planet Mars untuk mendeteksi adanya kehidupan. Ia menemukan fakta bahwa organisme hidup mengambil energi dari materi dan membuang hasil-hasil yang tak berguna. Pada tingkatan planet, atmosfir dan lautanlah yang menjadi media untuk mengalirkan bahan-bahan mentah dan hasil-hasil tak berguna. Bekerjasama dengan biolog Amerika, Lynn Margulis, ia kemudian membuat teori Gaia. Menggabungkan konsep-konsep dari kimia, termodinamika, sibernetika, geologi, mikrobiologi dalam sebuah perpektif sistemik. Penamaan Gaia sendiri merupakan ide atau saran dari teman Lovelock yang seorang novelis, berangkat dari mitos kuno tentang Dewi Bumi.           
            Konsep Gaia memperlihatkan sistem planeter yang beroperasi pada skala yang besar dalam ruang dan skala waktu yang panjang. Ada kesalinghubungan antara bagian-bagian planet yang hidup: tumbuhan, hewan, mikroorganisme, manusia, bebatuan (bukit, gunung), lautan, dan  atmosfir. Namun citra Gaia sebagai makhluk yang sadar dan peka menjadi senjata utama penolakan hipoteses Gaia. Penyerang-penyerang teori ini melontarkan kritik yang sinis: “Adakah rapat panitia tiap-tiap spesies untuk merundingkan temperatur suhu tahun depan?” Konsep ini dituding terlalu teleologi. Dan Lovelock menjawabnya dengan suatu model matematika komputer yang disebutnya “Daisyworld”. Ia memprogram persamaan-persamaan matematis yang cocok bagi sebuah planet dengan melibatkan matahari, bunga daisy putih dan hitam. Makin ke sini, program makin canggih dan kompleks. Ia mulai menambahkan pigmen yang bervariasi, memasukkan kelinci dan rubah yang memakan kelinci, memasukkan pula bencana-bencana. Dan pada gilirannya, temperatur planet terjaga secara konstan melalui tarian-tarian bunga daisy. Singkat kata, teori Gaia memperkuat paradigma tentang pengaturan-diri dalam sebuah jaringan. Sistem Gaia memiliki sifat melestarikan-diri.       
            Paradigma jaringan, sedikit banyak meredakan ketakutan saya terhadap gejala-gejala alam yang besar. Sudah jamak terjadi, anak manusia takjud dan terpesona, kalau tidak dikatakan takut, menghadapi fenomena-fenomena alam yang akbar. Sebuah bencana dan penghancuran, barangkali merupakan tragedi bila ditilik dari segi kemanusiaan, tapi dalam paradigma jaringan, bencana adalah sebuah proses pengaturan diri, proses menuju keseimbangan kembali. Kebaikan dan kejahatan, yang dilakukan manusia adalah sebuah proses kognisi. Dan seperti dikatakan Maturana, bahwa kognisi adalah sebuah fenomena biologis. Dan sebagai bagian dari jaringan yang terhubung satu sama lain, maka apapun yang kita lakukan selalu menuju harmoni dan keseimbangan, atau dalam bahasa konsep autopoeisis, selalu mempertahankan sirkularitas jaringan. Alam tidak bisa dilawan. Ia memiliki harmoninya sendiri. Dan ia memiliki cara sendiri untuk membersihkan diri, untuk kembali kepada harmoninya. Barangkali kejam. Alam telah disetting, siapapun yang menabrakkan diri pada harmoni alam akan hancur dengan sendirinya.
Maka demikianlah, hawa nafsu yang merusak seperti ketamakan/keserakahan, kesombongan, dengki, telah merubah komposisi bumi atau katakanlah alam semesta menjadi tidak stabil. Nilai-nilai yang asertif, semacam kompetisi, ekspansi, dominasi – meskipun itu memberikan imbalan ekonomi dan kekuasaan politik, harus diimbangi dengan penyatuan-diri (self-integration). Orang-orang harus diajak berpikir lebih sistemik-holistik, sintesis, intuitif dan nonlinier. Dosa-dosa, yang sering diingatkan oleh agama-agama samawi, adalah kognisi menyimpang yang menyebabkan ketidakseimbangan. Dosa-dosa adalah sinyal-sinyal penghancuran diri yang melawan sistem pelestarian-diri dari gaia. Adalah suatu penyimpangan ekologis. Lalu di manakah tempat puisi?
Adalah Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, yang mengembangkan konsep autopoiesis sosial. Ia menggambarkan bahwa sistem-sistem sosial menggunakan komunikasi sebagai reproduksi autopoietiknya yang khas. Penutupan jaringan akan tercapai jika ada suatu sistem kepercayaan, penjelasan, dan nilai-nilai yang dianut bersama. Namun karena prosesnya berlangsung dalam bidang sosial simbolik, maka batas-batasnya tak boleh berupa batas fisik. Batasnya lebih berupa batas pengharapan, kepercayaan, kesetiaan, dan sebagainya. Batas-batasnya selalu dipertahankan dan dirundingkan ulang secara terus-menerus melalui jaringan percakapan yang bersifat autopoietik. Lalu di manakah tempat puisi? Puisi, sederhananya, adalah sebuah percakapan autopoietik. Sama seperti kitab suci, ia bergerak dalam bahasa simbolik. Ia menjadi cara terlembut untuk kembali kepada keseimbangan. Cara kasarnya, dengan amukan dan penghancuran oleh alam. Karena setelah penghancuran, ada kelahiran kembali, ada kebangkitan, ada keseimbangan.
Mungkin, puisi-puisi macam ini dapat digolongkan sebagai puisi yang bersifat profetik. Puisi-puisi langit. Saya pikir, puisi profetik tidak mesti harus berciri sufistik. Ia mestinya menggugah kesadaran tentang sesuatu yang lebih besar dari sekedar kemanusiaan. Ia mengarah pada integrasi atau penyatuan. Sering dikatakan telah mencapai puncak bila seseorang sudah asyik berdua-dua (atau bersatu) dengan Tuhannya. Ia akan meninggalkan keduniawian. Tidak ada lagi puisi-puisi bumi. Ia mabuk. Tenggelam. Atau apapun istilah-istilah yang diberikan. Namun bukan seperti itu keteladanan dari Sang Nabi. Bertemu Allah dalam peristiwa Mi’raj, tidak lantas lupa dengan kehidupan dunia. Beliau kembali ke kekotoran dunia. Mengajak, menyeru, mengingatkan. Dan seperti itu juga mestinya puisi profetik, tidak lantas berhenti pada puisi-puisi sufistik lalu selesai. Ada sebuah tanggung jawab puitik. Mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi.
Maka demikianlah kita renungi lagi sajak-sajak bersuara gempita tersebut. Ia barangkali memberitakan kehancuran, tapi di atas kehancuran itu semoga tumbuh sebuah kesadaran baru. Memang bahasa yang digunakan penyair Micky Hidayat cenderung antroposentris. Sesungguhnya saya agak kurang senang dengan penggunaan kata “perkosa”, “menuntut balas” atau “pelampiasan dendam kesumat”. Namun itulah bahasa simbolik dalam sebuah percakapan autopoeitik. Ia tampil sebagaimana adanya. Dan dengan berakhirnya puisi Kalimantan Selatan 2030 Kemudian, maka berakhirlah pula tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Kalimantan Selatan 2030 Kemudian

Teruslah perkosa aku
senafsu-nafsu syahwat rakusmu
tebas dan cabik-cabik tubuhku
sebirahi-birahi erangmu
cakar dan bongkar isi perutku
sepuas-puas raungmu.
Lemparkan jasadku
dari ketinggian jurang menganga
hingga ruhku melayang-layang di udara
melintasi gunung dan samudera tak bernama
menjelajahi hutan-hutanku yang sirna tanpa suara.

Renungkanlah! Sebuah peristiwa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah kemanusiaan, betapa tragis dan memilukan: tahun 2030 nanti, jasadku akan bangkit menuntut balas atas perlakuanmu yang semena-mena, brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan yang adil apalagi beradab terhadap tubuhku.

Maka terimalah pelampiasan dendam-kesumatku: bumi Kalimantan Selatan beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kurendam sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kusirnakan sesirna-sirnanya. Jangan pernah kau cari lagi di mana geografi kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kuhabiskan dan lenyap tanpa sisa – hilang dari peta kemanusiaan.

Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuh-lantakkan, kuhancurleburkan!

Jangan kalian cari tempat mengungsi ke bukit-bukit dan gunung-gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah lenyap kutenggelamkan. Tiada guna lagi kalian cari kapal Nuh penyelamat  nyawamu.  Jangan  kau  cari  lagi rahim  kehidupan, sebab kehidupan telah tiada. Semuanya telah kutuntaskan dan kutamatkan!

Maka terimalah karmaku – ini bukan sekadar kiamat qubra, tapi sebenar-benar kiamat bagi dosa-dosa kalian sebagai manusia.

2008


Gambut, 20 Maret 2014

Nb. tulisan ini banyak mengambil inspirasi dari buku Fritjof Capra, The Web of Life. Diterjemahkan menjadi Jaring-jaring Kehidupan. Oleh Saut Pasaribu. Penerbit Fajar Pustaka Baru. 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar