Laman

29.9.14

Mencari "Idiot"




(Membaca Novel Galuh Hati, Randu Alamsyah)

Oleh M. Nahdiansyah Abdi


































                  

Saya membaca novel Galuh Hati (Moka Media, Jakarta, 2014) dengan dibayangi foto penulisnya di facebook yang diapit dua dara itu. Novel ini mampir ke rumah saya sebab rengekan isteri yang minta dibelikan itu novel begitu terlihat olehnya sampulnya di sebuah koran lokal. Ah, kenapa perempuan suka dengan hal-hal yang nampak kemilau? Saya diberinya uang untuk berburu buku itu ke rumah Harie Insani Putra. Namun buku itu malah dibeli saat ada jualan buku di depan Perpustarda Kota Banjarbaru, beberapa waktu kemudian. Waktu beli buku itu kepergok sama Sandi Firly. Dan diam-diam saya sedikit merasa bersalah karena tidak juga membeli dan membaca novel Lampau yang terbit belum lama berselang.      
            Di rumah, saya desak isteri saya supaya segera membaca, biar kali ini saya berposisi sebagai pendengar saja. Saya geleng-geleng kepala karena ia membaca dari halaman belakang. Saya memprotes: “Apa serunya, kalau begitu!” kata saya. Tak berapa lama ia lemparkan buku itu. Ia ketakutan. Ia merasa ngeri karena di dalamnya ada kisah pembunuhan. Ia memang sensitif beberapa tahun belakangan ini. Sampai kemudian saya mengkhatamkan novel Lampau-nya Sandi Firly, Galuh Hati tetap belum tersentuh.

    

        Saya membaca beberapa resensi tentang Galuh Hati, juga mendengar komentar beberapa teman. Sainul pun ada menulis di buku terbarunya, Membaca Novel: dari Merayu Sukma sampai Andrea Hirata (Scripta Cendekia, Banjarbaru, 2014) bahwa novel ini ditulis seperti meramu cerita detektif ala novel lima sekawan dengan bahasa yang sangat lembut (halaman 123). Itu semua saya lahap sebelum membaca novelnya. Terus terang saya tak punya pengalaman membaca novel Randu sebelumnya. Tidak Jazirah Cinta (2008), tidak juga Selalu Ada Kapal untuk Pulang (2013). Saya hanya membaca tulisan-tulisan kolomnya, entah di blog, entah di Koran. Jadi saya hanya mungkin untuk membandingkannya dengan novel Lampau, misalnya.
           
Mungkin Sainul benar ketika ia membandingkan cara bertutur novel ini dengan novel Lima Sekawan, Enid Blyton. Memang ada sedikit pengaruh, saya kira. Tapi saya lebih cenderung untuk menyandingkannya dengan novel Trio Detektif, Alfred Hicthcock. Yang ini sedikit lebih tinggi kelasnya. Tapi tentu saja masih di bawah level novel-novel Agatha Christie. Tapi bisa juga saya salah, siapa tahu yang menjadi model penulisan novel ini adalah novel-novel Sir Arthur Conan Doyle yang menciptakan tokoh rekaan Sherlock Holmes. Bukankah tokoh di novel Galuh Hati, Gil, suka bermain peran sebagai detektif Holmes dan Abul sebagai dr. Watson-nya. Ada ketegangan dan sedikit permainan kecerdasan. Pembaca harus awas membaca tanda-tanda yang tersembunyi di dalam novel. Saya kira di situ keasyikannya. Unsur “kejutan” yang menjadi pertaruhannya. Jaman-jaman saya suntuk membaca novel-novel detektif, saya kira, menjadi masa-masa terbaik dalam pengembangan imajinasi dan nalar.     
            Beberapa kritikan menyebut novel Galuh Hati melanggar logika cerita. Terutama terkait waktu. Juga ada yang menyorot perpindahan antar bagian yang “agak membingungkan”. Terus-terang saya tak begitu memperhatikan soal-soal itu. Mungkin bagi kepentingan akademis diperlukan. Dan sayangnya saya cenderung melewatkan saja bagian ini, karena bagi saya keberhasilan sebuah novel terletak pada kemampuannya mengejutkan pembaca. Kesalahan-kesalahan kecil bisa dimaafkan. Namanya juga fiksi. Lain jika bicara nonfiksi. Kita bisa memprotes dan membabatnya habis-habisan. Tapi logika cerita yang kebablasan pun, sekalipun fiksi, bisa mengakibatkan cedera parah.
            Saya pikir, bahasa novel “Galuh Hati” tergolong kuat. Jadi agak membingungkan ketika Sainul menyebutnya lembut. Dalam urusan itu, saya kira, Lampau pun terlampaui. Secara  sastrawi “menjanjikan”, barangkali itu tepatnya. Dalam dunia cerpen di Kalsel, cerpen-cerpen yang saya golongkan memiliki bahasa sastrawi yang kuat adalah cerpen Sainul Hermawan dan jauh di belakangnya, Harie Insani Putra. Yang lain belum. Jadi tinggal memilih tema atau menentukan bahan saja lagi. Dan tentu saja ketekunan. Sebenarnya, yang kuat itu seperti apa sih? Bagi saya pribadi, bahasa yang kuat itu ngajak kita berpikir. Kebanyakan cerpen dan novel kita berangkat dari bahasa lisan. Ini hanya sekedar pemindahan saja. Ia kuat di cerita. Tapi tidak hidup ketika dituliskan. Ia mungkin hidup ketika dilisankan oleh seseorang. Tapi jika teronggok menjadi tulisan, kesannya larut begitu saja. Tapi saya juga khawatir, jangan-jangan saya kebanyakan membaca novel terjemahan. Sebab bahasa-bahasa novel terjemahan, kayaknya juga seperti itu. Jangan-jangan saya tergiring untuk menyatakan kekuatan novel itu hanya gara-gara gaya bahasa novel terjemahan yang “liat dan berbelit-belit itu”. Ah, tapi novel Pram, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Romo Mangun, yang gaya bahasanya sederhana pun bagi saya tergolong kuat. Barangkali ini hanya persoalan ide. Jadi apakah ide yang kau tawarkan biasa-biasa saja dan sudah terlalu sering diangkat atau kau sedang bergulat-gelisah dengan ide-ide baru yang menyegarkan?
            Oya, saya tadi ada menyinggung novel Lampau Sandi Firly. Novel itu bagi saya, merupakan cermin penuh dari penulisnya, berisi hasrat-hasrat pengembaraan yang ditulis dengan penuh kesederhanaan dan penuh dedikasi. Ya, saya suka sekali telah menemukan kata “penuh dedikasi” itu. Gaya bahasanya belum merata kuat, yang jelas selera humornya kadang mengejutkan dan menggelakkan. Berbeda dengan Randu, ini orang kayaknya lebih rumit, barangkali seperti jalan hidupnya yang bergelombang. Selera humornya sarkastik. Akut, kata orang rumah sakit. Ia dekat dengan ekstrim, obsesif, anomalif.
            Yang menarik, di novel ini, tokohnya, yaitu Gilardia Florens, dikategorikan sebagai idiot atau tunagrahita (halaman vi). Seorang anak, hanya dengan mengamati fotonya, dapat menyimpulkan bahwa Gil seorang idiot. Dan Abul pun memaklumi pandangan itu. Sebuah stereotif terhadap para tunagrahita, demikian pikirnya. Beberapa komentar menyebut Gil terlalu pintar untuk dikategorikan sebagai idiot. Tapi ada baiknya kita menyimak pengertian idiot dan tunagrahita itu. Kita mulai dengan tunagrahita.
Tunagrahita, sepertinya idiom warisan zaman orde baru. Ia merupakan eufimisme (penghalusan ungkapan) dari disabilitas mental dan merujuk pada keterbelakangan mental. Istilah medisnya Retardasi Mental (RM). Istilah-istilah sejenis misalnya tuna netra (tidak dapat melihat/buta), tuna rungu (tidak dapat mendengar/tuli), tuna laras (disabilitas fisik: cacat suara/nada; disabilitas mental: tidak bisa menyesuaikan diri), tuna wicara (tidak dapat bicara/bisu), tuna daksa (cacat tubuh), tuna graha (gelandangan/tidak punya tempat tinggal), tuna susila, dll. Istilah yang menggunakan tuna-tuna ini merupakan terminologi sosial dan politik.   
Lalu dari mana pula istilah idiot itu? Apakah idiot sama dengan tuna grahita. Sepertinya tidak. Sebenarnya istilah idiot sudah tidak digunakan lagi dalam literatur-literatur medis terbaru. Idiot memang pernah menjadi idiom medis, namun karena pertimbangan tertentu tidak dipakai lagi. Saya mengira hal itu dilakukan untuk menghindari stigmatisasi. Saat ini, hanya disebut tingkat atau gradenya saja. Idiot dulunya digunakan untuk menyebut taraf retardasi mental sangat berat (IQ berkisar 0 – 20), di atasnya ada imbisil (retardasi mental berat, IQ = 20 – 35), debil (retardasi mental sedang, IQ = 36 – 51), moron (retardasi mental ringan, IQ = 52 – 67), dan borderline (retardasi mental taraf perbatasan, IQ = 68 – 85). Penggunaan istilah stigmatif ini dulu masih digunakan dalam buku Ilmu Kedokteran Jiwa/Psikiatri karangan Wicaksana Martin Roan yang terbit tahun 1979.    
Sekarang mari kita sedikit teoritis. Mengurai satu per satu pengertian dan kategorisasi. Untuk kepentingan ini, saya menggunakan dua sumber referensi, yaitu buku Sinopsis Psikiatri, edisi Ketujuh, jilid 2, karangan Kaplan dan Sadock (Binarupa Aksara, Jakarta, 1997) dan edisi Kesembilan dari buku Psikologi Abnormal, terjemahan dari pengarang Gerald C. Davidson, John M. Neale, dan Ann M. Kring (Rajawali Pers, Jakarta, 2010).
Kaplan dan Sadock mendefinisikan Retardasi Mental (RM) sebagai suatu gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi intelektual yang di bawah rata-rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun. Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor genetik (kromosom dan bawaan), lingkungan dan psikososial. Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang panjang sebelum keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi yang baik, diagnosis resmi tidak dapat dibuat pada saat tertentu dalam kehidupan seseorang. Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Dan diperkirakan 1,5 kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Jadi, ada tiga kriteria yang mendasar bagi pendiagnosisan RM, yaitu pertama, fungsi intelegensi yang di bawah rata-rata (kurang dari 70); kedua, kurangnya fungsi sosial adaptif, minimal di dua bidang berikut: komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas, kemampuan mengambil keputusan, keterampilan akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan keamanan. Dan ketiga, ditemukan sebelum umur 18 tahun.   
Mari bermain dengan klasifikasi, mengacu pada DSM-IV-TR, 2000; Robinson & Robinson:
·      Retardasi Mental Ringan (IQ 50-55 hingga 70)
Mereka tidak selalu dapat dibedakan dari anak normal sebelum mulai bersekolah. Di usia remaja akhir masih bisa mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan anak level kelas 6. Mereka mungkin dapat menikah dan berketurunan, meskipun mungkin membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Persentasenya sekitar 85 persen dari kelompok RM.

·      Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55)
Di kelompok ini, sering terjadi kerusakan otak dan berbagai patologi lain. Mereka dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik halus seperti memegang dan mewarnai di dalam garis, dan keterampilan motorik kasar seperti berlari dan memanjat. Dengan bimbingan dan latihan, mereka dapat bepergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka. Secara psikososial, di kelompok ini (juga RM ringan) anak sering menyadari keterbatasannya dan sering merasa diasingkan oleh teman sebaya dan merasa frustrasi. Kadang merasa gagal dan kecewa secara berulang karena tidak mampu memenuhi harapan orangtua dan masyarakat. Kerentanannya semakin tinggi saat ada kesulitan komunikasi. Perilaku menarik diri sering terjadi. Cemas, marah, depresi sering dikaitkan dengan perasaan isolasi dan ketidakberdayaan. Sebagian besar hidupnya bergantung keluarga atau institusi penampungan. Persentasenya sekitar 10 persen dari kelompok RM.

·      Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40)
Umumnya kelompok ini memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Ciri-cirinya terlihat jelas sejak tahun-tahun prasekolah, seperti bicara yang sangat terbatas dan perkembangan motorik yang buruk. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi terus-menerus. Hanya mampu melakukan sedikit aktivitas secara mandiri, sering terlihat lesu karena kerusakan otak parah, relatif pasif. Persentase sekitar 3 sampai 4 % dalam kelompok RM.

·      Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20-25)
Kelompok ini membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup. Memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis. Tidak mampu berjalan sendiri ke mana pun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak sangat tinggi. Persentase sekitar 1 hingga 2 % dalam kelompok RM.

            Namun mungkin perlu diangkat juga tentang sindrom-sindrom terkait kelainan kromosom yang berhubungan dengan retardasi mental. Yang paling terkenal adalah sindrom Down (ditemukan oleh dokter berkebangsaan Inggris, Langdon Down, 1866). Ini menjadi sindrom yang paling banyak diteliti dan dibicarakan dalam retardasi mental. Orang dengan sindrom down memiliki tanda fisik yang khas, awalnya dinamakan “mongoloid” karena karakteristik yang muncul selalu sama pada semua orang, seperti mata yang sipit, hidung pesek, mata yang oval dan condong ke atas, lipatan kelopak mata bagian atas memanjang melewati sudut dalam mata, lidah yang besar dan berkerut yang menjulur ke luar karena mulut yang kecil dengan langit-langit rendah.


            Ada juga sindrom kelainan kromosom yang tidak selalu berhubungan dengan retardasi mental. Beberapa anak dengan sindrom turner memiliki kecerdasan yang normal sampai superior. Namun sebagian lagi bermasalah dengan intelegensi, seperti kesulitan dalam menghafal, matematika, kemampuan visual dan ruang. Sindrom turner ini  hanya terjadi pada wanita, dengan ciri yang nampak: wajah menyerupai anak kecil, dada rata, tubuh pendek, kehilangan lipatan kulit di sekitar leher, fertil.
            Juga patut dicatat bahwa 80 % anak-anak autistik memiliki skor di bawah 70 pada berbagai tes intelegensi terstandar. Jadi memang perlu sedikit ketelitian ketika ingin membedakan antara anak penderita autisme dan retardasi mental. Ada dikenal sindrom asperger (ditemukan oleh Hans Asperger, dokter anak berkebangsaan Austria, 1944). Sindrom ini dikategorikan oleh beberapa ahli sebagai autisme ringan. Meskipun secara sosial, sulit bersosialisasi dan cenderung pemalu, punya kebiasaan grogi, kadang bermasalah dengan keseimbangan tubuh. Namun dalam satu hal dapat sangat “berbakat”.
            Ah, saya sudah meracau terlalu banyak. Tentu saja terminologi “idiot” dalam novel Galuh Hati tidak merujuk pada istilah medis. Ia lebih merujuk pada terminologi sosial. Karena tentu akan membingungkan ketika seseorang dengan kategori Retardasi Mental Sangat Berat menjadi jawara kelas dan berpikiran secerdas Sherlock Holmes. Barangkali Gil di novel itu hanya menderita RM ringan atau barangkali menderita sindrom turner atau sindrom asperger atau malah kita hanya berpraduga saja dan nyatanya Gil tidak menderita apa-apa.
            Hanya satu yang masih menggantung di benak saya, yaitu bagaimana cara Abul menemukan petunjuk bahwa Kai Amak mati tergantung di pendulangan. Novel-novel bergenre sejenis biasanya memberi penjelasan dan petunjuk-petunjuk di bagian akhir. Tentang bagaimana mereka bisa sampai pada kesimpulan itu. Di novel Galuh Hati, sepertinya, tidak ada. Barangkali itu tidak penting bagi Randu. Barangkali saya saja yang menganggapnya penting.

Gambut, 27 September 2014

  

4 komentar:

  1. Sumber foto: fb. randu (nb. minjam foto wal lah... hehe)

    BalasHapus
  2. Hahahaha...Thanks wal, keren, aku banyak belajar dari catatan ini ;-)

    BalasHapus
  3. Akhirnya kutemukan jejakmu terurai di sini. Ulasan yg sangat menarik, briliant.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ane harus balas komen jua kah, Harie? Napa lah? Kada baisi ide nah... Makasih dah bejalan ke sini, selamat bejualan di blog sebelah... Hehe

      Hapus