Laman

28.4.12

PANTUN DAN SONETA CHAIRIL ANWAR


Oleh M. Nahdiansyah Abdi*


Tanggal 28 April selalu diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Mengenang hari tersebut tentu saja tak bisa lepas dari sosok Chairil Anwar karena tanggal kematiannyalah yang dijadikan penanda. Chairil sering digambarkan sebagai pendobrak dan pembaharu puisi di Indonesia. Tak jarang ia digambarkan sebagaimana bait puisinya sendiri: sebagai binatang jalang. Puisinya dianggap keluar dari kecenderungan umum zamannya, yang tertib pola, dan menjelma menjadi sajak bebas yang tak terikat. Bahkan Sapardi Djoko Damono, tidak menyarankan mempelajari puisi-puisi Chairil bagi pemula untuk menghindari terciptanya sajak emosional yang tidak terjaga.1 Ya, Chairil telah terlampau identik dengan puisi Aku-nya.
            Berlawanan dengan ingatan massa yang mengenang Chairil sebagai sosok yang meradang-menerjang, saya ingin mengenang Chairil sebagai seorang yang tertib. Seorang yang rapi jali. Tentu lewat karya-karyanya. Ini sebenarnya mengejutkan saya juga: ternyata Chairil menulis pantun dan soneta. Bentuk-bentuk puisi jadul yang bahkan di zaman itu sudah dianggap ketinggalan. Namun setelah diserapi dan direnungi, saya menangkap nilai simbolik di balik pantun dan soneta Chairil. Saya menangkap ketegangan dan pergulatannya dalam merumuskan keindonesiaannya, lebih khusus lagi, merumuskan dirinya sendiri di tengah peradaban-peradaban kemanusiaan.  


Pantun
Menurut catatan Ajib Rosidi, sebelum tahun 1930-an masih banyak orang menulis pantun di media massa. Buku-buku pantun pun ada diterbitkan oleh Balai Pustaka dan penerbit-penerbit lain masa itu. Namun setelah Sutan Takdir Alisjahbana mengejek pantun sebagai ocehan nyinyir nenek-nenek yang tak ada kerja, maka semangat menulis pantun mulai luntur.2  Sejak itu pantun mulai jarang terlihat di media cetak dan hanya bertahan sebagai sastra lisan. Padahal pantun dianggap sebagai  puisi asli Nusantara. Menurut catatan Ajip Rosidi, bentuk puisi pantun dikenal juga dalam bahasa daerah. Dalam bahasa Sunda ada sisindiran, dalam bahasa Jawa ada parikan, dalam bahasa Batak ada pardohom, dll.
Setidaknya ada tiga ciri pantun: Pertama, tiap bait lariknya selalu genap. Kedua, pola rima yang dipakai adalah a-b-a-b, dan ketiga, setiap bait memuat sampiran dan isi. Tema pantun beragam, diantaranya berisi kebijaksanaan (wisdom) dan religiusitas atau bisa juga berisi hal-hal yang ringan dan menghibur hati (pantun jenaka). Contoh pantun yang bisa dikemukakan:

Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
Hutang emas dapat dibayar
Hutang budi dibawa mati

Atau

Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau angsa dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik dikenang jua

Pada Chairil, pantunnya melulu isi, tak ada yang dapat diindikasikan sebagai sampiran dalam pengertian tradisional. Namun, dua ciri pantun masih melekat pada puisi Chairil yaitu berlarik genap dan berrima a-b-a-b. Dua pertiga ciri pantun masih melekat. Dan saya tidak sangsi lagi bahwa puisi ini dibangun dari kejeniusan pantun. Dengan kata lain, inilah pantun ala Chairil, yaitu Nisan, Malam di Pegunungan dan Derai-derai Cemara. Jika kita membacanya dengan pelan dan penuh penghayatan, terasalah aura dan pesona pantun. Saya tidak tahu bagaimana puisi ini diterjemahkan ke bahasa asing. Masihkah mempertahankan rima a-b-a-b itu? Jika tidak, tentu sayang sekali.
     

Nisan
Untuk Nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

Makam Chairil di TPU Karet Bivak

Malam di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!


Derai-derai Cemara

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


            Upaya untuk melakukan transformasi idiom pantun ke dalam puisi Indonesia modern juga menarik minat beberapa penyair seperti Sitor Situmorang dengan Lagu Gadis Itali-nya, atau Hartojo Andangdjaja dalam beberapa sajak di buku kumpulan puisinya Buku Puisi (Pustaka Jaya, Jakarta, 1973), antara lain Pantun tidak Bernama dan Pantun di Jalan Panjang. Atau yang terbaru, Cecep Syamsul Hari dalam kumpulan puisi Perahu Berlayar sampai Bintang (Kiblat Buku Utama, 2009), dengan puisi Seperti Pantun.3
Pada pantun Chairil, memang terasa suasana yang dibangun berbeda dari pantun kebanyakan. Saya pikir, pantun kebanyakan berfokus pada mengolah bunyi karena biasanya ia dibuat untuk dilisankan ke khalayak. Ia tampil dalam suasana komunal. Untuk mencairkan suasana atau memberi nasehat/wejangan hidup. Bukan untuk dibaca sendirian di kamar. Adapun pantun yang dikembangkan Chairil, berangkat dari individualisme. Ada aku-nya, sesuatu yang dalam budaya Melayu belum lazim.       


Soneta
            Soneta merupakan puisi yang datang dari Barat, tepatnya Italia. Soneta banyak diperkenalkan oleh penyair-penyair angkatan pujangga baru seperti St. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane4, dan kawan-kawan. Ciri soneta yang paling terlihat dan mudah dikenali adalah pola baitnya yang terdiri dari 4-4-3-3. Soneta yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar, antara lain: Kabar dari Laut, Tuti Artic, dan Kepada Pelukis Affandi. Yang unik, puisi Kepada Pelukis Affandi dibalik polanya oleh Chairil menjadi 3-3-4-4.5


Kabar dari Laut

Aku memang benar totol ketika itu
mau pula membikin hubungan dengan kau
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu
berujuk kembali dengan tujuan biru

Di tubuhku ada luka sekarang
bertambah lebar juga, mengeluar darah
dibekas dulu kau cium napsu dan garang
lagi akupun sangat lemah serta menyerah

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi
Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang

Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji
Atau di antara mereka juga terdampar
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?


Tuti Artic

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang -
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.


Kepada Pelukis Affandi

Kalau, ‘ku habis kata-kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, terdiri
di ambang penuh kupak

adalah karena kesementaraan segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak

Dan tangan kan kaku, menulis berhenti
kecemasan derita, kecemasan mimpi;
berilah aku tempat di menara tinggi
di mana kau sendiri meninggi

atas keramaian dunia dan cedera
lagak lahir dan kelancungan cipta
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka!

Makna
patung dada chairil di Jakarta
            Jika kita perhatikan pantun dan soneta yang dibuat Chairil Anwar, maka terasa betapa tertibnya dia dengan pola. Namun itu hanya lapisan luar saja. Di bawahnya, seperti saya bilang di awal, ada gejolak. Pada pantun, suasana yang terbangun adalah suasana yang murung, melankolis, khidmat. Pada soneta, suasana yang terbangun adalah suasana sinis, gamang, penuh paradoks. Pada tataran pemaknaan, barangkali semua puisi-puisi tersebut berbicara tentang pengalaman-pengalaman yang sifatnya personal. Tapi saya tak tahan untuk menyatakan ini: bahwa secara tak sadar, saat menulis puisi yang bercorak pantun ia sedang mengungkapkan perasaannya terhadap akar budayanya sendiri, kemelayuannya. Dan saat menulis puisi bercorak soneta, ia sedang mengungkapkan perasaannya terhadap budaya yang datang dari luar, budaya barat. Diksi-diksi yang ditulis menjelaskan itu semua.
            Subagio Sastrowardojo pernah membuat tulisan dengan judul Orientasi Budaya Chairil Anwar dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak, terbitan Dunia Pustaka Jaya (1981). Dikatakan bahwa jiwa Chairil Anwar tidak berpijak di bumi Indonesia. Ia tercerabut dari akar budayanya sendiri. Chairil mencari dan mendapatkannya di Eropa, pada dunia barat. Dan karena belum pernah menjejakkan kaki di sana, maka ia dikatakan berpijak di bumi yang bersifat abstraksi. Telah diketahui bersama bahwa sikap dan pandangan hidup Chairil sering dikaitkan dengan Hendrix Marsman dan J. Slauerhoff. Adalah suatu “keganjilan”, jelas Subagio, bahwa di satu sisi ia berada pada situasi perlawanan terhadap kolonialis Belanda dan Jepang, dan di saat yang sama ia menyambut citarasa keindahan puitik dari Barat. Dikatakan ini menjadi bukti bahwa perubahan orientasi budaya tidak identik dengan orientasi politik dan sosial.
            Maka pantun dan soneta dalam diri Chairil kini berhadap-hadapan. Itu menjadi wakil dari orientasi budayanya. Dalam pantunnya, yang saya bilang, membayangkan orientasi budaya lama Chairil, tersirat mekanisme pertahanan ego dalam pengertian Freud, menghadapi tergerusnya orientasi budaya yang lama. Ungkapan Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba sebenarnya adalah proyeksi dari perasaan kehilangannya yang mendalam. Muncul dan di arahkan keluar dirinya, dalam puisi menjadi simbol nenek, pengemban nilai-nilai masa lalu. Dalam puisi Malam di Pegunungan, Chairil mengembangkan regresi, kembali pada status perkembangan psikologis yang awal untuk menghindarkan kecemasan. Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! Di sini ia dapat bergembira, bermain-main, bersikap naïf, tanpa takut disalahkan. Menjadi orang dewasa dan secara langsung terpapar ekses perubahan orientasi budaya tentu sangat menyakitkan. Mengetahui ia dapat kembali, dengan jalan membayangkan jadi anak lagi, adalah cara untuk menyakinkan diri bahwa dia masih berakar.
            Selanjutnya, pada puisi Derai-derai Cemara, Chairil melakukan sublimasi, melakukan pelemahan terhadap emosi yang menyakitkan, dengan berlindung di balik semacam pameo: Hidup hanya menunda kekalahan. Chairil menyadari bahwa orientasi budaya yang lama tak mungkin dapat dipertahankan lagi dalam zaman yang terus berubah. Barangkali itulah makna ucapan “dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.”
             Jika berpijak pada akar tradisi seperti berdiri di atas kapal yang mau tenggelam, maka berpijak di kebudayaan baru ternyata tidak juga menentramkan. Perasaannya terhadap kebudayaan barat adalah sinis (Sorga hanya permainan sebentar), penuh paradoks, memiliki standar ganda (dan tawa gila pada whisky tercermin tenang), ironis (luka yang bertambah lebar dan mengeluar darah dibekas dulu kau cium napsu dan garang) serta gamang (tidak lagi berani memasuki rumah sendiri). Kebudayaan barat ternyata juga mengandung cela. Tapi ia harus menerima. Perubahan-perubahan sosial itu telah memaksanya sedemikian rupa. Ia kesakitan. Ia persis seperti dalam puisinya sendiri: Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri. Maka demikianlah Chairil Anwar, manusia yang gelisah dan kesakitan itu, manusia antara pantun dan soneta.     

Kata Akhir
Perubahan orientasi budaya tidak dialami oleh Chairil Anwar seorang. Ini menjadi terelakkan pada masanya. Pertemuan dua atau lebih budaya dalam diri seseorang pastilah menimbulkan semacam ketegangan. Dan ketegangan itu adalah unik, karena terjadi secara kolektif. Chairil tidak saja memotret dunia dalamnya, namun juga memotret sesuatu yang bernama manusia-manusia Indonesia. Dalam diri tiap individu, Indonesia barangkali adalah kelanjutan dari Melayu, kelanjutan dari Jawa, kelanjutan dari Sunda, kelanjutan dari Sulawesi, kelanjutan dari Papua, kelanjutan dari Bali, kelanjutan dari Maluku, dan seterusnya. Manusia-manusia baru yang dirumuskan dari akar budayanya masing-masing itu akan seperti apa jadinya, seperti juga Chairil, menjadi pertanyaan abadi, sehingga tidak salah jika ia berkata: Aku mau hidup seribu tahun lagi.  
            Yang menarik, adalah mencermati kumpulan lengkap puisi-puisi Chairil Anwar yang dieditori oleh Pamusuk Eneste secara kronologis. Buku yang diberi judul “Aku ini Binatang Jalang” dan diterbitkan oleh Gramedia (1986) itu menempatkan puisi Nisan di awal. Wow, ternyata Chairil berangkat dari pantun. Dan puisinya yang terakhir ternyata juga pantun, Derai-derai Cemara. Sebuah pesan tersirat: ke manapun melanglang, kembalilah ke akar budayamu!

 
Gambut, 21 April 2012

* seorang blogger & pecinta keluarga. Berkhidmat di RSJ Sambang Lihum.


1. Dikutip dari tulisan Linus Suryadi AG saat dolan ke rumah Sapardi Djoko Damono, teks aslinya berbunyi sebagai berikut: “Kalau kita belajar menulis puisi lewat puisi-puisi Chairil Anwar, rasanya sulit sekali. Kita lebih mudah belajar lewat puisi-puisi Sitor Situmorang.” Ditambahkan Linus, fenomena itu ternyata banyak ia jumpai pada penyair pemula dimana terjadi letupan semangat emosional yang berhamburan, tanpa penguasaan ekspresi artistik, sehingga akhirnya terpeleset menjadi tulisan mentah. (Linus Suryadi AG, Di Balik Sejumlah Nama, Penerbit Gadjah Mada University Press, 1989, hal. 31 di bawah tulisan Chairil Anwar dan Kesenian Upacara).
2.  Baca pengantar Ajib Rosidi dalam bukunya Pantun Anak Ayam, penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, 2008. Untuk melihat contoh pantun dalam kumpulan ini bisa menengok blog saya: http:\\kepadapuisi.blogspot.com, dengan label Ajib Rosidi (hehe, sekalian promosi blog...)
3.  berikut puisi Seperti Pantun oleh Cecep Syamsul Hari (hlm. 77)
   
     Di Kantor imigrasi Putra Jaya
     Mengurus perpanjangan visa turis
     Selama berada di Malaysia
     Kerap kupakai bahasa Inggris

     Di Little India ketemu gadis manis
     Matanya lebih cerah dari Helios
     Gara-gara berbahasa Inggris
     Aku sering disangka Filipinos
    
     Ingin beli hadiah untuk ibu mertua
     Sehelai kain sutra di China Town
     Sekali lupa berbahasa Indonesia
     Nasib jugalah memanggilku indon

4.  Contoh soneta dari Sanoesi Pane juga dapat dilihat di kumpulan puisinya, Puspa Mega. Silakan intip blog yang sama dengan label Sanoesi Pane.
4. Subagio Sastrowardojo pernah pula membuat soneta dalam buku Simfoni Dua, dengan pola 4-3-4-3, atau Sapardi Djoko Damono dengan pola 4-4-4-2. Barangkali kita hanya bersepakat pada jumlah larik yang 14 larik dan jumlah bait, yaitu 4 bait. Tapi entahlah. 




     

2 komentar:

  1. Salam Tuan/Puan,

    Saya seorang editor. Kami bersama Kementerian Pendidikan, Singapura sedang dalam pembikinan buku sekolah untuk peringkat menengah 3 bagi Bahasa Melayu. Dalam Buku Teks bagi kursus bahasa Melayu Lanjutan,topik seni diketengahkan. Seperti semua buku, untuk menarik perhatian pelajar, foto juga disertakan. Kami ingin meminta izin Tuan/Puan untuk menggunakan foto Chairil Anwar dalam buku tersebut. Ia akan digandingkan dengan teks mengenai beliau sebagai salah satu tokoh terkenal. Oleh sebab buku ini akan digunakan untuk pendidikan, kami harap penggunaan foto ini diizinkan secara percuma. Sebagai tanda terima kasih, kami akan sertakan nama dianeling.blogspot.sg dalam halaman Penghargaan kami agar pelajar dapat mengenali perusahan Tuan/Puan. Saya harap dapat khabar baik dari Tuan/Puan secepatnya. Sekian.

    asyurahismail@sg.marshallcavendish.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir di blog ini. Mengenai foto Chairil Anwar, saya juga mengunduhnya dari sumber-sumber lain di dunia maya, jadi bukan merupakan sumber pertama, salah satu rujukan untuk itu adalah situs wikipedia. Saya pikir juga, untuk keperluan pendidikan, penggunaan foto bisa diizinkan.

      Hapus