Laman

28.7.11

CERMIN KEDUA

-->
Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Saya ingin membuka risalah kecil ini dengan sebuah kutipan cerita dari novel “Alkemis” karya Paulo Coelho. Diceritakan sepeninggal Narsiscus, tokoh mitologi Yunani yang tergila-gila dengan dirinya sendiri itu, danau tempat ia biasa bercermin mendadak asin. Rupanya danau itu menangis karena ditinggalkan Narsiscus sehingga berubah menjadi danau airmata. Peri-peri hutan yang mendengar isak tangis itu menjadi iba. Mereka mencoba menghibur, “Sudahlah, danau. Jangan kau bersedih. Kami tahu Narsiscus memang tampan, sehingga kau merasa berat kehilangan dia.” Danau menjawab,”Saya memang merasa kehilangan dia, tapi saya tak tahu kalau Narsiscus itu tampan.” Peri-peri hutan heran,”Bagaimana bisa, bukankah kau yang setiap hari menyaksikan Narsiscus duduk berlutut di depanmu untuk bercermin?” “Saya benar-benar tidak tahu, saya hanya tahu bahwa setiap kali Narsiscus bercermin, saya melihat di kedalaman matanya, pantulan diri saya yang indah,” jawab danau dengan mata yang sembab. 

Apa yang bisa dipetik dari cerita sederhana di atas berkaitan dengan pembacaan saya kali ini? Pertama, menyangkut kesulitan utama saya sebagai pembaca, saya merasa susah untuk tidak narsis manakala menghadapi momen-momen pembacaan, terutama menghadapi bacaan yang ditulis dengan kecerdasan di atas rata-rata. Kedua, jangan mudah percaya dengan praduga, yang nampak, hal-hal permukaan, sebagaimana jangan mudah percaya dengan judul. “Pelajaran bahasa” dalam kasus ini, tak berarti pelajaran tentang gramatika dan segala tetek bengek kebahasaan seperti yang mudah kita bayangkan selama ini. Ada persoalan-persoalan sosial dan politik yang rumit di sana. Penata buku yang tak cermat bisa saja meletakkan buku itu di rak buku pelajaran anak-anak sekolah. Ketiga, ini menginspirasi saya untuk menyusun hikayat (maaf) pendekar bermata juling.
Yang pertama saya lakukan untuk memasuki dunia Sainul adalah melakukan tafsir terhadap “mata”. Mata sepertinya memperoleh tempat yang istimewa. Tengoklah, ia tak cuma berfungsi untuk melihat. Ia menjadi simbol banyak hal, tempat menerjemahkan cinta, kesedihan, keangkuhan, kecurangan, kelicikan, kesinisan, kekeraskepalaan, kecerdasan, kebijakan, sikap menentang, rasa ingin tahu, apatisme, heroisme, semangat dan kegairahan. “Kebutaan” dengan demikian, akan menimbulkan kesedihan eksistensial. Saya selalu teringat dengan sebuah puisi pendek yang ditulis di buku sebelumnya, “Dik, lihat itu namanya matahari/Yang kelak membakar matamu/Hingga tak kenal aku lagi” (dalam Epilog Masa Kecil). Jika kekuatan Samson terletak di bulu keteknya, maka kekuatan Sainul bertumpu pada eksplorasinya terhadap mata. Maka bukan kebetulan jika buku-buku sebelumnya membentuk diorama tentang mata dan aktivitasnya. Buku “Mata untuk Mama”, cover depannya melukiskan bagaimana biji mata-biji mata itu dimasukkan satu persatu ke dalam toples kaca. Buku ajar “Teori Sastra, dari Marxis sampai Rasis” menghadirkan satu mata besar di mana di bulatan hitamnya membayang sebuah sosok. Buku “Maitihi Sastra Kalimantan Selatan”, maitihi secara sederhana berarti melihat, sebuah aktivitas mata juga. Atau mata itu hadir bersama manusianya, seperti dalam buku “Belajar Menulis Puisi dan Cerita Pendek”. Ah, saya memang terlalu naïf.
Buku cerpen “Pelajaran Bahasa” kembali menegaskan kejelian mata itu. Bisa hadir lewat tokoh-tokohnya atau lewat naratornya. Namun kali ini seperti menghadapi pendekar bermata juling. Arah matanya ke mana, melihatnya ke mana. Susah ditebak. Siapapun yang diserangnya bisa gelagapan karena tak menduga akan diserang. Namun juga akan menimbulkan kesan remeh. Karena dipikir selama ini tak memperhatikan. Namun, yang indah adalah kejutan-kejutan itulah, dugaan-dugaan yang salah, kenisbian-kenisbian, kesementaraan yang dipikir kekal. Itulah kekuatan dalam buku ini.
Dengan mata yang leluasa itu, sesungguhnya, beragam fenomena coba ditangkap, sifat dan karakter manusia coba dipotret: kelucuan, kenaifan, kesinisan, kegeraman, kemunafikan, kesintingan. Kadang terasa apa adanya alias vulgar. Dan nampaknya itu disadari. Terasa ada “ketakutan” dan “rasa bersalah” bahwa ini akan menjadi reproduksi kekerasan ke dalam teks. Kekerasan tak hanya kita pahami sebagai kebrutalan tindakan dan kata-kata kotor penuh ancaman, namun juga ada yang soft, bujukan, dogma-dogma, slogan kosong. Maka membaca buku ini, saya merasa ada dua fenomen yang saling bercermin, Sainul dan realitas sosial. Meski yang satu, kelihatannya memandang ke arah yang lain, alias juling. Kenapa juling, karena realitas sosial ini telah menyakitkannya. Telah membuatnya geram. Benar-benar cermin yang buruk.    
Hal lain yang menarik, tak segan Sainul memunculkan hukuman-hukuman sosial. Penegasan atas risiko-risiko yang bakal diterima saat memilih suatu tindakan, perbuatan atau sikap. Maka akan kita jumpai penutup cerpen yang tragis seperti perceraian, bencana alam, rasa terasing, bahkan gangguan jiwa. Konon, perbedaan hukuman sosial dengan hukuman alam terletak pada Time of Respone (TOR). Jika kita melanggar prinsip-prinsip alam maka hukumannya akan seketika atau TOR-nya mendekati nol. Misalnya, jika tangan kita dimasukkan ke api, maka seketika itu juga terbakar. Atau jangan coba-coba meloncat dari gedung tinggi, karena tanpa ba bi bu langsung terkena hukum gravitasi. Hukum sosial sedikit berbeda, TOR-nya relatif lebih lama. Namun, tetap ada hukuman bagi sikap/tindakan “sembrono” macam kesombongan, sikap eksploitatif, ketidakpedulian, kekeraskepalaan, bahkan kekurangtegasan. Sebaliknya, tindakan kebaikan pun akan berbuah manis. Sekalipun manis yang aneh.
                Sesungguhnya, apa yang diungkapkan Sainul dengan cerpen-cerpennya ini membawa saya kembali pada pengertian Individuasi oleh Carl Jung (1875-1961). Prinsip pertama yang mendasari adalah prinsip cerminan, bahwa apapun yang kita lihat pada yang lain, itulah yang kita miliki di dalam diri. Bukan hanya beberapa hal saja, namun seluruhnya! Jung menyebutnya arketip (archetypus), yaitu pengalaman-pengalaman universal yang dimanifestasikan atau diungkapkan dalam diri kita sebagai gambaran-gambaran atau model-model.  Jadi, saat kita bercermin pada realitas sosial, kita juga mengungkapkan diri. Karena hanya kita yang mampu bicara dan membuat makna, realitas sosial tidak.
                Arketip penting yang diungkap Jung antara lain bayang-bayang. Ini arketip yang sangat kuat dan berbahaya, karena mengandung insting-insting binatang primitif. Di sisi negatif, bayang-bayang mengandung semua impuls yang dianggap masyarakat sebagai jahat, penuh dosa, tak bermoral. Ia merupakan sisi gelap dari diri kita. Bayang-bayang harus dijinakkan, tapi jangan sekali-kali ditindas atau dimatikan karena bayang-bayang juga sumber dari spontanitas, kreatifitas, wawasan, emosi yang dalam, dan semua sifat penting untuk kemanusiaan yang penuh. Jika bayang-bayang ditindas, tidak hanya kepribadian menjadi tumpul, tetapi juga menghadapi kemungkinan adanya pemberontakan dari kodrat yang bersisi gelap, ia hanya menunggu krisis atau kelemahan dalam aku untuk memperoleh kembali kendalinya. Pengungkapan bayang-bayang banyak mewarnai cerpen-cerpen Sainul, sifat-sifat egois, culas, eksploitatif, kasar, menindas, serakah, liar, binal, muncul lewat karakter tokoh-tokohnya, dialog, maupun narasi.   
Arketip lain yang bisa diungkap terkait cerpen Sainul adalah anima-animus. Saya kadang merasa membaca perasaan dan pikiran seorang perempuan dalam cerpen-cerpen itu. Dalam proses individuasi, kita memang diarahkan untuk menerima biseksualitas psikologis kita. Anima dan animus bicara tentang itu. Seorang laki-laki harus mulai mengungkapkan sifat animanya (betina) dan seorang perempuan harus mengungkapkan sifat animusnya (jantan), sementara di saat yang sama juga mengungkapkan sifat-sifat jenis kelaminnya sendiri. Dalam pandangan Jung, jika salah satu kualitas terbengkalai maka akan mengurangi bahkan menghambat kesehatan psikologis. 
Arketip berikut ini juga muncul dan terasa, yaitu persona. Persona dulunya digunakan untuk menyebut topeng yang dipakai pemain sandiwara zaman Romawi. Persona dalam pengertian Jung adalah topeng yang dipakai untuk menyajikan diri. Semakin banyak peranan yang dimainkan dalam kehidupan sosial, semakin banyak persona dipakai. Persona tidak hanya dipakai tokoh-tokoh publik atau tokoh politik, tapi semua kita memakai persona. Dengan bantuan persona kita menyembunyikan bayang-bayang. Sehingga saking efektifnya, kita tak hanya menyembunyikannya dari orang lain tapi dari diri kita juga. Menurut Jung, seorang yang terindividuasi harus berani menjatuhkan personanya atau suatu saat ia akan menyadari (biasanya setelah tua) bahwa ia menipu diri dan menghidupkan kebohongan dalam kehidupannya. 
                Maka demikianlah cara saya bercermin, karakter-karakter dalam cerpen-cerpen Sainul mendekatkan saya pada Jung, ada karakter yang ditindas bayang-bayang, ada karakter yang kaku berpegang pada anima saja atau animus saja. Ada karakter yang percaya bahwa persona-nya benar-benar mencerminkan kodratnya sendiri. Eureka! Saya telah bercermin dengan sempurna. Kualitas-kualitas itu juga ada dalam diri saya. Manusia yang bercermin berjuang untuk mengintegrasikannya, menyadari semua kekuatan dari bayang-bayang yang bersifat destruktif dan konstruktif itu. Hal ini bukan berarti menyerah untuk dikuasai, namun menerima seadanya.
Yang hampir terlewatkan, cerpen-cerpen Sainul banyak memakai referensi-referensi lokal. Mulai dari nama, tempat, dialog, maupun fenomena sosial. Namun lokalitas-lokalitas itu kini berhadapan dengan kekinian dan globalitas. Benturan-benturan itulah yang mengemuka dan memberi pekerjaan rumah buat manusia-manusia yang terjebak di dalamnya. Dengan matanya yang misterius, pendekar  melaporkan laporan pandangan mata. Kita yang menyimak bisa memandangnya sebagai parodi atau tragedi. “Kita hanya melihat sedikit dari sandiwara sekarang/tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang,”  kata penyair Chairil Anwar. Entahlah. 

Rabu, 13 oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar