Laman

2.3.10

HAJRI DAN HAL-HAL BESAR DALAM KEPALA KECILNYA

Oleh M. Nahdiansyah Abdi




"Raja" kaka nih...! Raja Sungai Martapura ... :)



Pada ruang di kepala
bersemayam raja-raja
mereka datang saat malam
saat mimpi dalam tidur yang sebentar
.”

(Puisi “Bilik-Bilik”, dalam Jejak Air)


Saya melihat dan merasakan, puisi dan cerpen-cerpen Hajriansyah menyimpan hasrat tersembunyi akan kekuasaan. Semacam visi, semacam getaran-getaran halus jika tertangkap olehnya sesuatu yang besar dan agung. Yang menariknya demikian keras dan memunculkan kegelisahan-kegelisahan. Hasrat yang dapat ditarik jejaknya pada sejarah orang-orang besar, penakluk-penakluk, Raja Diraja. Namun, sindrom raja-raja -- kalau boleh dikatakan begitu – yang diidap Hajri berbenturan dengan kekinian yang pahit. Mengakibatkan (istilah Faruk) ia harus jatuh bangun antara harapan dan keputusasaan.1 “Cerita-cerita yang harum/cerita-cerita yang indah/tentang manusia yang menjadi raja/yang berlari ke dasar hati, kemudian/puas pada pelangi dan bintang malam/puas menghirup aroma tembakau/yang dingin.” (Puisi “Seharum Kasturi, Seindah Pelangi”, Jejak Air)


Sindrom raja-raja setidaknya memiliki kekhasan pada hal-hal berikut: Pertama, dalam masalah mimpi-mimpi, luka, duka, kesepian dan kenangan; Kedua, pandangan tentang keluarga dan perempuan-perempuan yang mengepungnya (selir-selir); Ketiga, penggunaan simbol-simbol kekuatan alam yang masif dan hewan-hewan mitos.

Tulisan ini dibuat berdasarkan bahan-bahan dari kumpulan puisi “Jejak-Jejak Angin (Penerbit Olongia, Yogyakarta, 2007) selanjutnya ditulis J-Ang, kumpulan puisi “Jejak Air” (Penerbit Tahura Media, Banjarmasin, 2007), selanjutnya ditulis J-Air, dan kumpulan cerpen “Angin Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami” (Penerbit Framepublishing, Yogyakarta, 2009), selanjutnya ditulis ABML.

Tentang mimpi-mimpi, dst.
Mimpi-mimpi yang kerap muncul dan menjadi obsesi adalah mimpi untuk menjadi besar, jaya, menjadi pusat
kosmik, menjadi titisan dewa, menjadi wakil Tuhan di muka bumi dan memberi pengaruh dan inspirasi yang langgeng untuk umat manusia. Tarman Effendi Tarsyad2, dalam sebuah esainya mensinyalir bahwa tampaknya ada sesuatu yang ingin dicapai Hajri, yaitu “kejayaan”, seperti yang dikemukakannya dalam puisi “Hari ini sampai di sini” (J-Ang: 58-59), “Hari ini sampai di sini/aku duduk di tengah sepi/andai saja waktu yang berputar ini/mau mengantarku/kepada kejayaan/saat di mana segala yang/kucita-citakan dari kebaikan/hidup dapat terwujud/saat aku merasa tenang/saat aku mampu berdiri dengan/tegak di atas puncak paling/tinggi dari kehidupan”. Wow, tegak di puncak paling tinggi. Keinginan akan kejayaan, kemenangan, kebesaran, kebanggaan, pengejaran ambisi dan impian banyak terdapat dalam kumpulan Jejak-Jejak Angin, antara lain, pada ‘Sajak yang lain” (hlm 78), “Sesekali seseorang jatuh” (hlm 76), “Sepotong pikiran melintas” (hlm 75), “Pada Sajak-Sajak” (hlm 70), “Di Mana Angin” (hlm 67), “Di waktu hujan” (hlm 64), “Aku mengerti betul, kenapa” (hlm 63), “Cakrawala; langit senja” (hlm 61), Jika meninggal seorang besar (hlm 60), Berdiri di Sini (hlm 52). Pada kumpulan puisi Jejak Air, terdapat dalam puisi “Kerajaan di Hati”, “Bilik-bilik”, dan “Seharum Kasturi, Seindah Pelangi”.

Menjadi pusat kosmik seperti disiratkan dalam cerpen “Suatu Hari Menari”, “Di sebuah mimpi, di sebuah rumah di pinggir kota seorang lelaki hanyut di putaran arus deras yang menariknya. Ia menari, berputar, begitu masyuknya. Ia menari. Ia berputar. Sendirian. Dan hujan yang deras, setiap tetes airnya, memutarinya, memusarinya ...”.( ABML: 22). Masih dalam “Suatu Hari Menari”, kali ini muncul dengan simbol pohon besar. “Sebuah taman, dengan lampu berdekor di sana-sini, ada juga pohon-pohon di sudut-sudutnya, dan sebuah pohon besar sebagai pusat, di tengah taman.” (ABML: 19). Atau dalam puisi “Jika Meninggal Seorang Besar” (J-Ang: 60), pada bait “Dengan orang-orang yang/berebut untuk mendekat/padanya.

Namun mimpi-mimpi besar itu tercampur dengan hal-hal lain, dengan pengotor-pengotor lain. Dalam “Prolog” di Jejak-Jejak Air dinyatakan: Kata-kata ini, yang mengalir/bersama air/adalah yang datang/dari ketakutan dan harapan/dari kenangan dan mimpi-mimpi/yang terus-menerus memanggilmu. Maka demikianlah, perjuangan untuk meraih mimpi akan kebesaran penuh liku. Kadang membingungkan, aneh, melewati berbagai kegilaan, terbentur dengan rutinitas yang membosankan. Kadang terasa mustahil, kadang kehilangan semangat dan terasa hambar, kadang memunculkan teror. Bahkan ia sampai pada kesadaran bahwa kekuasaan itu penuh dengan paradoks. Mari kita mulai mengembara.

Pada cerpen “Suara yang Datang Kemudian” dinyatakan, “ Aku merasa berada di titik nadir. Semua yang pernah kuimpikan tiba-tiba mencair. Ya, inilah titik temu dari akumulasi mimpi dan keinginan serta pekerjaan yang membosankan, di mana aku terbentur-benturkan di antaranya.” (ABML: 50). Selanjutnya si tokoh mulai tak bisa tidur, gelisah, dan pelan tapi pasti dari kepalanya mulai terdengar suara-suara. Si tokoh mulai mengalami gejala psikotik dengan munculnya halusinasi auditorik (halusinasi dengar). Di akhir cerita, suara-suara itu lenyap.Yang hadir hanya suara guru karena si tokoh memutuskan untuk mencari guru/pembimbing spiritual. Maka begitu pun raja-raja dahulu. Mereka membutuhkan guru atau penasehat spiritual karena kekuasaan tidak boleh sembarang melangkah. Akibatnya bisa sebuah kehancuran. Dan tentang suara-suara tersebut, lazim terjadi kalau orang-orang besar kerap dituntun suara-suara gaib. Kekuasaan-kekuasaan tradisional memiliki kepercayaan yang besar pada pulung, pada wangsit, pada suara-suara gaib.

Ada pula peristiwa peristiwa menghibur diri karena impian yang tak juga tercapai, dapat kita rasakan pada cerpen “Lukisan Surga”, dikatakan “Hari ini aku melukis ‘Pemandangan di Surga’, sebuah lukisan yang kudedikasikan untuk orang-orang yang kesepian, yang pemandangan sehari-hari yang dilihatnya hanya dinding-dinding rumah yang beku atau rutinitas yang dingin.” (ABML: 37). Kejenuhan, lelah, juga terasa pada puisi “Tuhan empunya manusia” (J-Ang:41), “Aku ingin menuliskan sajak/menghibur mimpi-mimpi/jenuh tak berakhir/Aku ingin menulis sajak/menutup mata atas/mimpi yang tak kuasa/aku menggenggamnya.” Juga pada puisi “Dingin pagi hari” (J-Ang: 38), “Aku lelah/dengan rasa yang berlebihan ini/Aku bukan siapa-siapa/aku bukan apa-apa/Aku makhluk/yang bekerja dan ikhlas atas/sgala upahku.”

Lebih dalam, ketika ia mulai mulai melupakan mimpinya dan hidup secara standar, yang datang kemudian adalah mimpi buruk. Hal ini muncul pada cerpen “Seseorang pergi jauh” (ABML: 23). Narator menghukum tokoh dengan kegilaan (menjadi gelandangan psikotik, yang dalam banyak kasus dimasukkan dalam golongan skizofrenia hebefrenik) dan split (keterpisahan). Betapa tidak mudah, melawan “takdir” kebesaran diri.
Cerpen “monologila” juga menampakkan kegelisahan, menampakkan paradoks. Muncul dalam simbol pohon, “... dielusnya kulit pohon itu; begitu kasar, bahkan banyak luka di sana-sini... Pohon itu begitu kokoh dan rindang. Rasa sakit dan kekasaran tubuhnya tak membuat pohon itu menjadi kecil.” (ABML: 5). Kokoh dan melindungi, begitulah pula sifat kekuasaan. Dan kekuasaan itu pun ternyata penuh dengan borok-borok kecil, penuh dengan cacat. Kekuasaan ternyata menimbulkan rasa sakit! Monologila merupakan mekanisme untuk menghadapi kekeruhan-kekeruhan kecil, rasa sakit-rasa sakit, yang mungkin memalingkan pandangan dari kebesaran diri.

Pada cerpen ‘Pelukis-pelukis kesepian” (ABML: 155), menggambarkan pertarungan antara ambisi dan idealisme berhadapan dengan pasar, yang menimbulkan kesepian. Ini merupakan pertarungan antara pencapaian impian dan suara-suara orang kebanyakan. Berpikir berbeda dari orang kebanyakan jelas menimbulkan kesepian. Berada di puncak sendirian adalah suatu kesepian. Itulah risiko kekuasaan, kesepian! Antara mengendalikan atau dikendalikan. Antara visi, idealisme pribadi dan kompromi-kompromi. Bahkan pertarungan itu sendiri menimbulkan kesepian.
Kekuasaan juga datang seperti teror. Bacalah cerpen “Ada Buaya di Keluasan Sana” (ABML: 105). Buaya merupakan penguasa sungai, ia adalah raja sungai, jadi ia merupakan simbol kekuasaan juga. Bayangkan tentang kekuasaan yang menghantui, masuk ke alam bawah sadar dan muncul ke dalam mimpi. Diceritakan tentang buaya yang sebesar kuda yang merangkak dari tebing menuju sungai, dan melihat aku. Matanya ganas dan lapar, lantas berlari ke arah aku. Aku yang gugup tak dapat mengendalikan diri dan tololnya, mencebur ke sungai! “Aku berenang kesetanan dikejar buaya, si raja sungai. Aku tak bisa berpikir lagi, ...” (ABML: 108). Maka berserulah tokoh aku ini pada Tuhan, ia bikin nazar. Ia akan mengunjungi kubur ayahnya, bersedekah ke seribu anak yatim, berpuasa sebulan penuh, menjalin silaturrahmi, dst. Dan kita akan menemukan parodinya. Bagaimana perebutan kekuasaan kini penuh dengan pengumbaran janji-janji juga. Jangan-jangan karena kepepet saja?


Cerpen di atas dapat dicari pautannya pada konsep elaborasi proyeksi dalam psikoanalisa. Konon, tahun 1896 (jadul banget!), Freud menulis “On the Defense Neuropsychosis” untuk menjelaskan konsep ini. Ia memberi contoh pada kasus Schreber (seorang penderita paranoid dengan kecenderungan homoseksual). Pada kasus ini ada transfer sikap melalui proses reaksi formasi, dari “I love him” menjadi “I hate him”. Tidak berhenti di situ, “I hate him” berlanjut menjadi “He hate me” melalui proses proyeksi. Maka demikian pula dengan kasus Hajri. Karena ada tekanan dari superego yang tidak membolehkan seseorang ambisius terhadap kekuasaan, maka transformasinya adalah dari “aku mengejar/menginginkan kekuasaan” menjadi “aku benci kekuasaan” melalui proses reaksi formasi. Selanjutnya adalah proyeksi dari “aku benci kekuasaan” menjadi “kekuasaanlah yang membenciku sehingga memburu/mengejar/ menginginkan aku”. Di sini kekuasaan muncul dengan sisi gelapnya, menciptakan teror!

Sikap sinis terhadap kekuasaan dapat kita rasakan dalam puisi “Selamat Datang Kekuasaan” (J-Ang: 87), “Selamat datang kekuasaan!/Hari ini kau datang dengan wajah/tajam, senyum dan lambaian tangan/Silakan duduk di meja kami/dengan kaki mengangkang sekalipun/Dan kami akan tetap tersenyum/Beratus meter karpet merah kami hamparkan/mengatasi pagar dan muka.” Hajri mencibir kekuasaan. Kekuasaan selalu merasa berada di pihak yang benar dengan retorika yang dikembangkannya. Menindas, menunjukkan kesewenang-wenangan. Maka dari sinilah ketakutan dan keraguan itu berasal. Kekuasaan yang langgeng, menurut Niccolo Machiavelli, adalah kekuasaan yang sekaligus dicintai dan ditakuti. Sulit bagi Hajri untuk membayangkan, di antara orang-orang yang mengelu-elukannya, terdapat orang-orang yang memendam marah dan kebencian kepadanya.

Dalam cerpen “Ia rebah memegang lambungnya” kita akan menemukan intrik-intrik dalam pencapaian impian akan kekuasaan dan kebesaran. Kisah yang ditampilkan sangat sederhana, dialami orang-orang kecil, hanya untuk menggambarkan risiko dengan lebih sederhana. Di sekeliling raja ada banyak opportunis, ada pembopong dari belakang, ada pesaing, yang semuanya mungkin menunggu kesempatan untuk menghabisi. Ada banyak musuh di sekeliling kekuasaan, bahkan di jalan menuju kekuasaan. Lihatlah bagaimana ia setengah menertawakan musnahnya impian karena kematian di ujung belati oleh dua orang preman mabok, “Ia roboh tepat di samping gambarnya yang tersenyum penuh harapan. Sementara di rumah, isterinya tertidur pulas.” (ABML: 152-153).

Kebesaran yang berhimpit dengan kenangan, kesedihan, atau perasaan kehilangan dapat kita rasakan pada cerpen “Panggung Terakhir Seniman Tua”. Si tokoh menangis dan terkenang ayah dan ibunya saat suara gemuruh dari tepuk tangan dan sorakan yang menyebut namanya dalam kebesaran. (ABML: 64). Yang sentimentil juga terasa pada puisi “Seharum Kasturi, Seindah Pelangi”, (J-Air), “Seorang raja, kata orang-orang/terlahir dari duka yang dalam/terhimpit di cerita masa silam/dan kenyataan akan kehilangan.”


Tentang perempuan di sekitar Raja

Kisah Raja-raja selalu saja dibumbui kisah-kisah cinta, baik yang agung, tragis, atau main-main. Di sana ada permaisuri, selir-selir dan konflik-konflik. Pandangan Sang Raja tentang percintaan, misalnya terungkap dalam puisi “Gadis yang Ceria” (J-Air), “Suatu hari dalam hidupku/aku berjumpa dengan gadis yang ceria/di senyumnya yang menggoda/kutemui keriangan masa kecilku/hatiku serupa ruang yang terbuka/ia masuk dan mengisinya dengan panas/dengan gairah kanak-kanak.”

Ia mencari keriangan dan kegembiraan. Maka menikahlah ia. Namun keadaan berubah saat anak-anak mulai lahir dan tanggung jawab mulai besar. Peran isteri mulai bertambah, ia akan menjalani peran ibu yang mengasuh dan mendidik pewaris kebesaran sang raja sehingga terbelahlah konsentrasinya. Sementara sang raja mulai mencari keriangan-keriangan lain. “Keriangan, sesuatu yang seringkali menggodaku. Menarikku untuk mendekat dan bersahabat. Setiap mengenali sebuah keriangan pada wajah orang lain, aku teringat masa kanak-kanak yang indah.” (cerpen “Kau Tak Peduli Lagi”, ABML: 88). O, naifnya.

Pada puisi “Perempuan Cantik” (J-Ang: 42), sang raja merayu tanpa canggung-canggung, “Perempuan cantik/adakah beban di hatimu/Aku mencintaimu.” Di akhir puisi akan kita lihat tujuannya, yaitu kesenangan, ”dan aku belajar/satu hal lagi:/kesenangan!”.

Cerpen “Suatu Hari di Kotamu” juga membawa spirit yang sama. Istilah yang muncul di sini adalah ‘Keteduhan yang seakan abadi’ (ABML: 118). Cerpen ini lebih kontemplatif dan halus ketimbang cerpen “Kau Tak Peduli Lagi”. Sang raja menemukan teman yang sepemikiran dan sejurusan. Yang ini mungkin lebih sentimentil karena berujung pada perasaan kehilangan dan kekosongan di hati.

Kehidupan dengan banyak selir tidaklah mudah. Ada kecamuk di sana, antara ‘kebutuhan’ dan rasa bersalah. Ada konflik-konflik. “Aku terpejam di sana/Larut bersamamu/digiring ke pusaran air/Tanganku yang melambai ditarik/ke permukaan/Kulihat wajah istriku yang murung,/aku tertegun di pinggir sungai.” (Puisi “Gadis yang Ceria”, J-Air). Kecamuk yang serupa dapat kita temukan juga di cerpen “Kau Tak Peduli Lagi”, “Isteriku meneleponmu. Ia wanita yang tegar. Ia menelepon dengan tabah dan bertanya padamu, apakah kau mencintai suamiku?” (hlm 91)

Kisah raja yang nelangsa karena cinta bukanlah cerita baru. Maka sang raja pun berhibur diri. “Aku mengenang cinta/cinta yang melebihi nama/Perasaan manusiawi/Yang terbang bersama angin bersama/awan, terbang ke langit malam.” (Puisi “Gadis yang Ceria”, J-Air).

Kadang kupikir, banyaknya selir di sekeliling raja merupakan manifestasi dari hasrat berkuasa dan penaklukan juga. Penaklukan-penaklukan sang raja di wilayah publik akan jomplang jika tidak diimbangi dengan penaklukan-penaklukan di wilayah domestik. Entahlah.

Namun, yang harus digarisbawahi. Sang raja adalah orang yang mencintai, menghormati, dan kagum dengan permaisurinya. Keluarga adalah nomor satu dan segala-galanya, karena raja yang satu ini adalah raja yang perasa dan sentimentil. Raja terpaut mati dengan kenangan. “Kenangan adalah sebuah rumah tempat kita bisa pulang, sedangkan bayangan hanyalah sebuah lampau – entah di mana – tempat kita bisa singgah.” (Cerpen “Suatu Hari di Kotamu”, ABML: 124)

Selanjutnya adalah pandangan sang raja terhadap keluarga. Pandangan terhadap ibu, (termasuk terhadap peran ibu yang dilakoni isteri) dan tentu saja anak-anak. Terdapat dalam cerpen “Panggung Terakhir Seniman Tua”. Terhadap ibu, “Ibulah penginspirasi para pemimpin dalam kehangatan sikapnya pada anak-anak negerinya.” (ABML: 65). Terhadap anak-anak, “Begitu pula anak-anak, mereka adalah manik-manik yang menghiasi diri kita dengan keriapan cahaya yang dipantulkannya. Bagi orangtua mereka adalah penerus cita-cita, atau setidaknya kebanggaan yang menghidupi masa depan....” (ABML: 65).



Simbol-Simbol Kekuatan Alam Yang Masif Dan Hewan-Hewan Mitos

Bagi Raja mana pun, kebutuhan akan simbol kekuasaan sama pentingnya dengan kekuasaan itu sendiri. Kehebatan, kebesaran, kejayaan, akan dimitoskan bersama simbol-simbol tadi. Dan simbol-simbol tadi dapat merupakan representasi dari kekuatan dan keganasan alam, atau kekuatan dan kebuasan hewan-hewan liar (termasuk hewan gaib), atau dari tokoh-tokoh besar yang hidup di masa lalu. Hajri melakukan ketiganya. Maka lahirlah simbol angin besar, petir, pohon besar. Sesuatu yang megah dan mencerminkan laku kekuasaan, dalam tarikan antara potensi-potensi besar dan kelemahan-kelemahan.
Kemudian mencuat pula simbol dari kebuasan dan kegagahan hewan-hewan liar. Rajawali, hewan yang berada di puncak rantai makanan, muncul pada “Kerajaan di Hati” (J-Air), “Ayun-diayun Si Rajawali/Si Rajawali dalam ayunan/Dipukung dipersiapkan/Suatu hari njelma raksasa.” Atau pada bait lain, “Di rumah kecilku/sebuah mimpi/sebuah kerajaan/dari sayap Rajawali raksasa.”

Kalau rajawali hadir dengan perlambang yang relatif mudah dipahami. Maka buaya, si penguasa sungai, hadir secara lebih berliku melalui proses-proses di bawah sadar. Maka ada buaya dalam cerpen “Panggung terakhir seniman tua” (ABML: 70), cerpen “Sungai-sungai yang membeku di kepalaku” (ABML: 103), cerpen “Ada buaya di keluasan sana” (ABML: 107), dan cerpen “Suatu hari di kotamu” (ABML: 118). Juga hadir dalam puisi “Kerajaan di Hati” (J-Air)

Yang unik adalah munculnya simbol Puraca (jenis ular piton) dalam puisi “Bilik-bilik” (J-Air). Ular, dalam bahasan psikoanalisa, adalah simbol phallus, simbol libido. Maka, dengan sedikit ceroboh, dapat dikatakan bahwa Puraca adalah simbol libido yang besar. Namun, Sang Puraca adalah Puraca yang sentimentil dan melankolik, yang selalu rindu untuk kembali ke rumah, kembali pada kenangan, pada keluarga, kembali pada harmoni. “Suatu hari Sang Puraca/pulang ke rumahnya/sebuah padang rawa-rawa/ tempat kerbau berkubang dan berkalang/ tempat buaya-buaya/tempat itik-itik/ dan huma-huma//Di kedalaman/Sang Puraca membunuh diri/kulitnya yang indah sampai ke tangan petani/Sebuah panting dengan kulit puraca/dipetiknya setiap hari; menghibur hati/di antara rawa-rawa/bersama kerbau dan buaya/itik dan humanya yang hijau.”

Para raja suka sekali mengaitkan dirinya dengan tokoh-tokoh besar dari masa lampau. Seringkali malah membuat garis keturunan, bahkan hingga ke tokoh-tokoh fiktif dari golongan para dewa. Sultan-sultan Banjar, seperti yang diungkapkan J.J. Ras dalam Hikayat Banjar (1968), dalam jajaran nenek moyangnya pun terdapat Nabi Khaidir dan Iskandar Zulkarnain, disamping disokong oleh makhluk-makhluk halus (dalam Alfani Daud, 537). Keterkaitan dengan tokoh-tokoh besar masa lampau menimbulkan kebanggaan tersendiri. Pun Hajri. Simaklah puisi “Seharum Kasturi, Seindah Pelangi” (J-Air), ”Ashoka Yang Agung datang ke/dalam mimpiku di suatu siang/Bersama silir-silir angin Sungai Gangga.” Atau pada puisi “Kerajaan di Hati” (J-Air), “Satu hari aku bertemu Jengis Khan/Kuda-kuda Mongol serupa angin kencang,/ membawa badai ke rumah kecilku/mengangkat bubungan, meningkap pintu dan/jendela.”


Mencari pijakan

Saya setuju dengan tulisan Faruk HT yang menggambarkan bahwa Hajri cenderung memperlihatkan perjuangan yang terus-menerus untuk meluas, membesar, menjadi tak terbatas, dalam kungkungan kesempitan primordial, kesempitan diri, kesempitan kekinian. Ada kegelisahan, ada ketidakpuasan, namun kenapa itu bisa terjadi? Hal ini menarik untuk dicari jawabannya.

Saya mencari pijakan pada struktur kepribadian yang dikembangkan oleh Carl Jung (1875-1961). Ia seorang psikiater dan psikoanalis dari Swiss. Pada awalnya ia bergabung dengan Sigmund Freud, membesarkan psikoanalisa. Namun tahun 1913 ia memutuskan ikatan emosional dan profesional dengan Freud (sebuah peristiwa yang sulit bagi kedua orang itu), dan mendirikan aliran sendiri, yaitu Psikologi Analitis. Jung tertarik dengan dengan studi mengenai bangsa-bangsa primitif yang ada di dunia; ia meminati dongeng, mite, peradaban bangsa, agama, dan adat istiadat mereka. Ia memadukan psikologi dan pengetahuan mistis (misticisme).
Menurut Jung, kepribadian terdiri dari tiga sistem yang terpisah namun saling berinteraksi, yaitu “aku” (ego), ketidaksadaran pribadi, dan ketidaksadaran kolektif.

Aku (Ego) adalah alam sadar dan meliputi semua persepsi, ingatan, pikiran, dan perasaan yang selalu ada dalam kesadaran kita pada setiap saat. Ketidaksadaran pribadi adalah seperti gudang dari ingatan-ingatan dan pikiran-pikiran yang tidak lagi sadar, tetapi dapat dengan mudah muncul dalam kesadaran. Ia dikeluarkan dari alam sadar karena kurang penting atau mengancam. Sumber dari ketidaksadaran pribadi ini terutama dari peristiwa masa kanak-kanak yang bernilai emosional. Kemudian ada ketidaksadaran kolektif, yaitu gudang pengalaman spesies manusia yang diteruskan dari satu generasi ke generasi melalui mekanisme-mekanisme heriditer. Jung melihat ketidaksadaran kolektif ini memberi kekuatan yang paling berpengaruh dalam kepribadian, berisikan prediposisi-predisposisi atau kecenderungan-kecenderungan untuk mengamati, berpikir, dan merasakan menurut cara-cara yang sama seperti para leluhur.

Bagi Jung, ketidaksadaran memberi pengaruh lebih penting pada kepribadian dibanding dengan kesadaran. Maka dari sini kita bertolak: pada ketidaksadaran pribadi yang digali pada pengalaman masa kanak-kanak Hajri, dan ketidaksadaran kolektif orang Banjar.

Pengalaman Hajri kecil yang paling bermuatan emosional, menurut saya, adalah tentang mengalami Ayah. Mengalami kebesaran Ayah. Pengalaman itu bocor pada beberapa karyanya. Setiap mengingat hubungan Ayah dan anak itu, saya selalu merujuk pada puisi pendek “Form II” (J-Ang: 29). “Teringat aku padi/di kampungku/pohon kelapa di sawah/tak lebih sebagai saksi/anak kecil berlari-lari/orang tua pergi ke surau/ayahku jadi imamnya/aku, pangerannya.
Kesadaran sebagai pewaris kebesaran sangat kentara di sini. Pengunaan kata “Pangeran” tentunya agak janggal jika dikaitkan dengan Imam, sebab pasangan imam adalah makmum. Kecuali Imam di sini bermakna kepemimpinan. Kata “Pangeran” pun sangat khas, sangat primordial, hanya dikenal dalam sistem kerajaan, yang merujuk pada pewarisan kepemimpinan atau kekuasaan.

Puisi ini diawali dengan kata “teringat”, sesuatu yang instropektif. Lalu kemudian bicara padi, pohon kelapa, di kampung, (sebuah harmoni ingin ditunjukkan), tapi kemudian semua itu tak lebih dari sebagai saksi. Saksi dari sejumlah manusia yang beraktivitas: anak yang berlari, simbol dari pengejaran ambisi dan impian yang disertai keriangan; orang tua pergi ke surau, cermin dari kembali pada spiritualitas. Persaksian kembali diciutkan, lebih ego-sentris, ayahku dan aku. Ada kebanggaan akan kebesaran: aku, pangerannya!

Rasa kebanggaan yang menyentuh juga terdapat dalam puisi “Di Pinggir Sungai Masa Kecil”, “saat maghrib datang dan kami berlarian/ke masjid yang dibangun ayah” (J-Air). Bagi Hajri kecil, masjid adalah monumen kebesaran dari kehebatan dan kedermawanan sang Ayah. Monumen kebesaran lain, yang melintas dalam ingatan dan bocor ke karya ada pada cerpen “Sungai-Sungai yang Membeku di Kepalaku”. Berkisah tentang armada dagang yang dibangun Sang Ayah. “Bahkan, ia sempat mengusahakan dua buah kapal barang yang melayari sungai dan lautan.” Dan di sungai depan rumahnya bercokol Speed boat, sebagai sarana pulang pergi bekerja sang Ayah. (ABML: 100). Keren!

Monumen kebesaran lain, yang masih dapat kita lihat, berada tak jauh dari terminal Pal 6, Banjarmasin. Di sana ada sebuah gang yang bernama Gang keluarga. Ada 21 (dua puluh satu) rumah dengan tipe 100. Apa istimewanya? Hajri tinggal di salah satu rumah, dan yang lainnya adalah rumah saudara-saudaranya! Hajri 21 bersaudara, dengan 2 ibu tiri. Luar biasa. Begitulah cara sang Ayah membangun klan dan berupaya merukunkannya. Dan itu satu kebesaran lagi, kebesaran yang mempesona Hajri kecil.
Namun hubungan itu adalah hubungan yang pasang surut. Ada masa ketika Hajri, yang beranjak muda, menjadi seorang pemberontak. Mulanya, ia harapkan oleh Sang Ayah untuk menjadi penerus yang ‘alim, menjadi seorang ulama, dalam keluarga. Maka disekolahkanlah ia ke sebuah pesantren di Cindai Alus, Martapura. Tak sempat menamatkan pendidikan (konon, ia tergolong anak berandal di pesantren. Hehe!), ia lantas berkeliaran di GOS, Taman Budaya, Banjarmasin dan menjalani hidup yang rada bohemian. Ia bergelut di teater, mengenal banyak “orang-orang aneh” di sana. Itu dijalaninya selama SMU. Dalam banyak hal, ia intens belajar pada YS. Agus Suseno. Nama yang sering disebut-sebutnya dalam perkenalan dengan saya di Yogyakarta. Di kota ini ia mengambil jurusan yang tidak populer di mata keluarga maupun di mata masyarakat Banjar pada umumnya, yaitu seni lukis, di MSD (Modern Schooll of Design) dan ISI (Institut Seni Indonesia).

Kemuakan akan kekuasaan orang tua, misalnya, mengendap dalam sajak “Hari ini, pada sajak batu tua” (J-Ang: 48). Sebuah sajak yang terang di awalnya dan ditutup dengan simbolisasi, “andai pohon tua di belakang/rumah kita membuat kita menyesali hari-hari/lebih baik/tebang saja.” Di sinilah mungkin muncul asumsi bahwa kekuasaan itu kadang besar dan mempesona, namun bisa juga memuakkan.

Pada tataran ketidaksadaran kolektif, saya akan merujuk pada Hikayat Banjar, sebagai magnum opus ketidaksadaran orang banjar. Hikayat Banjar banyak bercerita tentang asal usul raja-raja Banjar. Hikayat memberitahukan bahwa pendiri keraton Negaradipa asal mulanya adalah saudagar. Watak dagang lebih menonjol di sini, sehingga membangun kerajaan dianggap sebagai perbuatan dagang belaka. (Alfani Daud: 29). Usaha perdagangan selalu penting di negeri Banjar, sehingga pada masanya, banyak saudagar-saudagar asing yang berniaga di Banjar.

Ketidaksadaran yang dibangun dalam hikayat ini, bagi saya, terutama pada ketiadaan klaim keunggulan ras Banjar, sehingga dengan itu dapat menancapkan klaim keabsahan kekuasaan sebagai raja. Tak ada klaim uber alles, manusia unggul, bangsa pilihan Tuhan, atau semacam itu. Yang muncul adalah semangat berafiliasi, yaitu menggabungkan antara unsur pribumi (diwakili Puteri Junjung Buih, Dayang Diparaja, Puteri Huripan), unsur Majapahit (Pangeran Suryanata), dan saudagar/imigran yang terkemudian (Empu Jatmika, Lambung Mangkurat, Mpu Mandastana). Kebudayaan Banjar sejak awal dibangun untuk terhegemoni oleh kebudayaan lain lewat cara-cara yang mistik dan tidak rasional. (Kebudayaan Banjar yang lebih kuno dan tak ingin terkontaminasi dengan kebudayaan baru, tentu saja, menarik diri menjauhi bantaran sungai menaiki bukit, dan dipisahkan penyebutannya dengan kata Suku Dayak!). Berkali-kali Hikayat mengingatkan kepada keturunan raja-raja Banjar agar selalu mengikuti tata cara keraton majapahit dan mengikuti cara berpakaian jawa dan tidak menggunakan tata cara atau pakaian lainnya (dalam Alfani Daud: 34).

Berangkat dari sinilah kiranya, kenapa kebudayaan Banjar, dalam sejarahnya, selalu berada dalam tarik ulur kekuasaan dan hegemoni budaya lain. Upaya menuju puncak kekuasaan, menjadi tuan rumah di negeri sendiri, berujung pada kegagalan dengan cara yang menyakitkan. Dalam Hikayat, percobaan pertama dilakukan oleh Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga, putra Mpu Mandastana. Dikatakan bahwa mereka ternyata tertarik dengan putri Junjung Buih yang terkenal cantik luar biasa yang keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Bagi saya, ini bukan hanya masalah cinta, karena konsekuensi dari menikahi Putri Junjung Buih adalah menjadi raja, adalah kekuasaan. Dan kita tahu, apa kemudian yang terjadi pada dua orang yang menginginkan kekuasaan ini. Mereka dibunuh oleh pamannya sendiri, Lembu atau Lambung Mangkurat, di sebuah danau di sekitar kerajaan. Tempat itu masih ada hingga sekarang dan dinamakan “lubuk Badangsanak atau danau berdarah” yang bisa kita lihat di situs Candi Agung, Amuntai. Bukan sesuatu yang mudah untuk membunuh kemenakan sendiri. Ada perang batin, ada kecamuk yang luar biasa. Antara menjunjung klan sendiri atau terhegemoni. Lambung Mangkurat meneguhkan yang terakhir.

Hajri berada di sana, berada di kekinian dan terjebak dalam ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif yang tidak menguntungkan. Selama Hajri belum mampu “berdamai” dengan sosok Ayah dan tidak mampu membangun Hikayat baru yang lebih kuat, ia akan selalu kerdil dan putus asa. Satu-satunya cara untuk melawan ketidaksadaran adalah mengajaknya bertarung di wilayah sadar. Mungkin, menulis salah satu caranya. Ia harus menegakkan kekuasaan di mana penguasa adalah juga sebagai pemikir dan administrator ulung yang paham akan manajemen modern. Entahlah....

Tuntung, 4 Juli 2009



1.Faruk HT. Antara Penjara dan Pembebasan Budaya dan Jawaban Kultural Dua Penyair Banjar. Pengantar kumpulan puisi Jejak-Jejak Angin. 2007. Hajriansyah dan M. Nahdiansyah Abdi. Yogyakarta: Olongia.
2.Tarman Effendi Tarsyad. 2008. Tiga Corak Puisi Hajriansyah. Dalam Jurnal sastra Kindai Edisi 1/ Oktober 2008. Banjarmasin.
3.Alfani Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




1 komentar: