Laman

29.9.14

Mencari "Idiot"




(Membaca Novel Galuh Hati, Randu Alamsyah)

Oleh M. Nahdiansyah Abdi


































                  

Saya membaca novel Galuh Hati (Moka Media, Jakarta, 2014) dengan dibayangi foto penulisnya di facebook yang diapit dua dara itu. Novel ini mampir ke rumah saya sebab rengekan isteri yang minta dibelikan itu novel begitu terlihat olehnya sampulnya di sebuah koran lokal. Ah, kenapa perempuan suka dengan hal-hal yang nampak kemilau? Saya diberinya uang untuk berburu buku itu ke rumah Harie Insani Putra. Namun buku itu malah dibeli saat ada jualan buku di depan Perpustarda Kota Banjarbaru, beberapa waktu kemudian. Waktu beli buku itu kepergok sama Sandi Firly. Dan diam-diam saya sedikit merasa bersalah karena tidak juga membeli dan membaca novel Lampau yang terbit belum lama berselang.      
            Di rumah, saya desak isteri saya supaya segera membaca, biar kali ini saya berposisi sebagai pendengar saja. Saya geleng-geleng kepala karena ia membaca dari halaman belakang. Saya memprotes: “Apa serunya, kalau begitu!” kata saya. Tak berapa lama ia lemparkan buku itu. Ia ketakutan. Ia merasa ngeri karena di dalamnya ada kisah pembunuhan. Ia memang sensitif beberapa tahun belakangan ini. Sampai kemudian saya mengkhatamkan novel Lampau-nya Sandi Firly, Galuh Hati tetap belum tersentuh.

    

16.9.14

Sekaca Cempaka dan “Mati Jadi Hantu” Kebudayaan Kita



sumber foto: fb harie insani putra, Jum'at 5 September 2014 (bukan Agustus)


(Catatan Kecil Selepas Diskusi Novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF)
Oleh: M. Nahdiansyah Abdi

Sebuah novel, niscaya, dapat dimasuki lewat pintu mana saja. Seorang pembaca memiliki kecenderungan dan minat terhadap sesuatu hal, dan dengan “sesuatu hal” itulah ia melakukan pembacaan. Barangkali demikianlah kesimpulan dari diskusi novel Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF di Aula Perpustarda Kota Banjarbaru, Jum’at malam, 6 September 2014.
Menjadi sah-sah saja ketika Dewi Alfianti mengupasnya lewat wacana-wacana gender, yang lain menyorot lokalitasnya, atau ada beberapa peserta yang merasa terganggu dengan label sastra Islaminya. Tentu, tak ketinggalan, ada juga peserta yang gatal dengan soal-soal teknis. Malam itu, semua hibuk jadi satu.
Dan semua berawal dari Sekaca Cempaka. Dari sekaca cempakalah novel ini merangkai konflik. Bunga abadi dalam botol berisi air itu telah menjadi pertaruhan pengarang untuk menguak batin tokoh-tokohnya dan membongkar situasi sosial yang melingkupinya. Cerita tak akan terbangun seandainya tak ada mitos yang hadir di sekitar keberadaan sekaca cempaka. Ya, mitos. Sederhananya, ini cerita tentang pertarungan mitos dengan rasionalitas.

8.9.14

Lampau dan Pelajaran Menulis Novel



M. Nahdiansyah Abdi


 Tentu berbeda pengalaman membaca novel antara orang yang mengenal penulisnya secara pribadi dengan orang yang tidak mengenal apapun  dari penulisnya kecuali hanya sekedar nama. Menyandingkan kehidupan pribadi si penulis dengan kisah dalam novel, sepertinya akan menjadi tambahan petualangan bagi orang-orang yang mengenal dekat. Pikiran dengan sendirinya akan mengelompokkan mana bagian yang merupakan imajinasi dan mana bagian yang merupakan kisah nyata. Pada kenyataannya, tak ada satu novelis pun yang luput dari menceritakan kisah dirinya. Ada lintasan-lintasan pengalaman atau persepsi yang sangat khas, yang sesekali tersembul dalam cerita, yang berasal dari kehidupan nyata si penulis. Semakin pembaca terlibat dalam kehidupan penulis, semakin tak terelakkan dorongan untuk menelisik itu. Dan jika itu diceritakan atau dituliskan, maka akan menjadi kisah tersendiri yang tak kalah  menarik.