Laman

28.2.11

PUISI-PUISI LELAH HAJRIANSYAH


Oleh M. Nahdiansyah Abdi


Data buku kumpulan puisi

Judul : 79 Puisi Hajri
Penulis : Hajriansyah
Cetakan : I, Juli 2010
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal : vii + 104 halaman, 14 x 20 cm ( 79 judul puisi)
ISBN : 978-602-84140-23-4
Editor : Sandi Firly
Ilustrasi : Agus Trianto BR (7 lukisan)

 O banjir
bawakan aku
sebuah mobil
dengan desain terbaru
(Banjir II, hlm 8)

            Sekarang, apa lagi yang ingin ditawarkan Hajri lewat buku puisinya ini?” demikian pertanyaan menggantung di kepala saya. Pertama, saya terkesan dengan ilustrasi-ilustrasi dalam buku tersebut. Kedua, saya sempat tersentak dengan kejutan bahasa seperti pada puisi “Banjir II” yang saya kutip sebagian di atas. Kebetulan itu puisi-puisi awal yang saya baca. Parodis dan tragis sekaligus. Bait-bait awal puisi itu berisi kemarahan, kesedihan, kenaifan. Mulanya dipakai kata “kita” untuk mencapai situasi kebersamaan, bait akhir, menukik ke “aku”. Saya mengira, situasi yang menimbulkan situasi setengah menggelitik ini adalah puncak dari seluruh perasaan lelah. Lelah marah, lelah bersedih, lelah kecewa, lelah tidak berdaya. Bukankah puncak dari tragedi adalah parodi?


            Kemudian, terbaca olehku sebuah puisi sederhana yang luar biasa. Judulnya “Puisi Wajahku”, Sebait puisi ditulis anakku yang paling kecil/Isinya kurang lebih seperti ini:/Ayah, aku bisa menggambar wajahmu. Bagaimana momen kekinian ditangkap tanpa beban. Tak ada interpretasi yang berlebihan. Bangunan puisi menjadi lengkap dengan pilihan judul yang apik, Puisi Wajahku.
            Saya mengira, akan memperoleh kejutan-kejutan serupa dalam buku ini. Ternyata saya salah. Lepas dari dua puisi itu, saya seperti terlempar ke puisi-puisi yang lelah menanggung diksinya. Saya terseret ke situasi yang blue. Nelangsa. Puisi-puisi yang penuh beban. Beban dari masa lalu, beban dari masa depan. Di belakang diberati kenangan, penyesalan, keletihan, kesedihan dan kejengahan. Di depan, terancam kebingungan dan ketidakpastian. Sial. 
            Di antara puisi-puisi yang sarat beban itu, saya mencoba bernafas. Benarkah tak ada yang bisa digali? Saya mengais lagi. Membaca lagi puisi-puisi tersebut secara acak. Benar-benar tanpa harapan! Bagai menjalani mimpi buruk. Atau dalam bahasa Hajri sendiri, ini seburuk-buruk mimpi di luar tidurku (Puisi “Ninda”, hlm. 27). Apa yang salah? Ternyata saya ikut terseret. Saya ikut mendung. Saya ikut menderita dan cemas. Dan saya berpaling pada sebuah gerakan filsafat. Gerakan eksitensialisme. 

26.2.11

RUMAH DEBU: ANTARA METAFOR SOSIAL DAN METAFOR PERSONAL

Oleh M. Nahdiansyah Abdi
Data Novel

Judul               : Rumah Debu
Penulis             : Sandi Firly
Cetakan           : I, November 2010
Penerbit           : Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal               : iii + 151 halaman, 14 x 20 cm
ISBN               : 978-602-84140-26-0


Bukan maksudku mau berbagi nasib
Nasib adalah kesunyian masing-masing

(Pemberian Tahu, Chairil Anwar)

             Saya kira, kutipan puisi dari Chairil Anwar dengan judul yang jadul itu, mampu mengekspresikan bagaimana novel “Rumah Debu” terbangun. Ia berangkat dari kesunyian jiwa dan akan pulang pada Kesunyian yang lain. Novel “Rumah Debu” memang dilatari persoalan tambang batubara, namun latar sosial tersebut nampaknya tidak terlalu penting. Konflik-konlik yang terjadi, lebih tajam dan menukik pada kegelisahan individual tokoh-tokohnya ketimbang suntuk terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan. Jangan membayangkan novel ini sebagai novel perlawanan, yang dengan heroik menyuarakan ketidakadilan. Orang-orang kecil itu hanya terseret ke pusaran, seperti debu yang tak berdaya dihembus angin.

25.2.11

TENTANG MENGALAMI CERPEN DAN IDEOLOGI PENGARANG


Oleh M. Nahdiansyah Abdi


Di depan saya tergeletak kumpulan cerpen “Rindu Rumpun Ilalang” yang ditulis oleh Nailiya Nikmah JKF. Buku yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin pada Juli 2010 ini, sampul depannya didominasi warna hijau. Warna yang konon memberi sensasi keseimbangan, harmoni, penyembuhan dan daya menenangkan.

24.2.11

SASTRAWAN, SELEBRITAS DAN HUKUM EKONOMI


Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Barangkali, sastrawan adalah istilah yang membingungkan atau bisa jadi menakutkan. Ada sejumlah paradoks yang terus-terusan dipertahankan. Kesulitan pertama adalah belum adanya definisi yang jelas tentang kedudukan manusia ini, apakah sebagai homo luden (manusia yang bermain), atau homo faber (manusia pekerja), atau homo symbollicum (pembuat simbol) atau homo esperans (yang berharap), atau homo-homo lain yang pernah didefinisikan. Ia dapat didefinisikan sebagai apa saja, dan karenanya maasi (patuh) dengan hukum-hukum yang banyak itu. Ia dapat terlihat berpolitik dari kacamata politik, tunduk pada hukum ekonomi bila dilihat dari kacamata ekonomi, atau terlihat seperti bermain-main saja (iseng) bila dilihat dari kacamata yang lain.    

21.2.11

YANG OBSESIF-KOMPULSIF DARI DEBUR OMBAK GURUH GELOMBANG


Oleh M. Nahdiansyah Abdi


JTS saat berusia 18 tahun, Rano Karno from Kandangan :)
Kesan Awal

Membolak-balik buku kumpulan puisi Debur Ombak Guruh Gelombang karya Jamal T. Suryanata (JTS), tidaklah lepas dari kesan awal. Menyerap baik-baik judul kumpulan puisi itu memaksa kita untuk diam sejenak mengaktifkan indera pendengaran untuk kemudian merasakan gerusan-gerusan dari suara-suara alam yang menggetarkan. Demikian berulang-ulang. Surut dan menerjang lagi, seperti mainan ombak di pantai.

 Membaca sekilas beberapa puisi, saya seperti menemukan kitab tentang menafsir diri. Banyak ungkapan yang digunakan penyair untuk menjelaskan siapa yang bersangkutan dan apa yang dirasakan dalam bangunan tafsir-tafsir relasi dengan dunia yang magis. aku, anak yang kemarin berlari mencari diri/menarikan cemas bayangkan negeri keakanan (h.3), akulah pendosa yang menjelma rangkaian doa (h.12), akulah burung perindu yang terus mengepak/terbang memburu keindahan semesta cintamu (h.35), akulah musafir yang tak pernah puas hujan kasihmu/masih gagap membaca gemuruh samudera alifmu (h.74).
Dalam pencarian jawaban tentang siapa “aku”, tak segan penyair menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan menyejarah, untuk diculik ke dalam sajaknya. Pun tokoh-tokoh mitos. Maka akan kita temukan nama plato, sokrates, aristoteles, archimedis, herakleitos, galileo, descartes, sisifus, iphigenia, agamemnon, sluerhoff, nietzsche, sartre, iqbal, rumi, rabi’ah adawiyah, al-hallaj, Ibrahim, Ismail, Muhammad. Bahkan ia tak segan-segan menderetkan beberapa nama sekaligus dalam satu baris sajak, seperti camus, corbire, masefield, po tsu i (h.50) atau hafizh, zunnun, sa’di, sana’i (h.84). Kesan yang ingin ditampilkan, barangkali, adalah kita tak lepas dari sejarah, sejarah harus dibaca ulang, untuk menggenapkan sisi kemanusiaan kita. agamemnon, ajari aku sekali lagi/bagaimana sebaiknya membaca sejarah/dan menerjemahkan diri sebagai manusia (h. 47). 

19.2.11

POLITIK TERTIKAM SASTRA


(Tanggapan terhadap tulisan Taufik Arbain, “Seni(man) Tertikam Politik”, Radar Banjarmasin, 27 Desember 2009)

Oleh M. Nahdiansyah Abdi*

 Sastra yang Berpatron

Kekuasaan, yang besar dan langgeng, niscaya terbangun di sekitar aksara dan teks. Niscaya akan ada teks-teks yang disakralkan dan atau disucikan. Rakyat jelata tidak memiliki aksara, mereka hanya punya bahasa lisan. Ekspresi perlawanan ditunjukkan dengan tindakan bahasa seperti sumpah serapah dan gerundelan/gerunuman, atau tindakan fisik langsung terhadap pusat kekuasaan. Penyebaran aksara oleh penguasa, merupakan strategi untuk menciptakan mitos, meluaskan serta melanggengkan kekuasaan. Pujangga, saat itu, menjadi corong kekuasaan yang penting.   

16.2.11

MATA UNTUK MAMA


(Antara perlawanan dan kompromi)
Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Awal

Habislah saya. Saya sudah menolak untuk bicara “Mata untuk Mama” (MuM), kumpulan cerpen dan puisi Sainul Hermawan. Saya ingin berada dalam posisi penikmat saja, sambil sesekali terkagum-kagum dengan rumpun liar kata-kata. Saya sudah menolak, namun karisma orang ini sungguh besar. No mercy, teriaknya lewat sms. Seperti ada tangan kekuasaan gaib yang  mencengkeram saya dan membuat saya kesulitan bernafas. Titahnya sudah tetap dan sejak itu, berkali-kali saya mengutuki diri.

12.2.11

HIDUP SELAYAK PUISI


Oleh M. Nahdiansyah Abdi

                Di Bandung pernah hidup seseorang yang bersumpah, jika sampai umur sekian, namanya tak juga dikenal khalayak sastra nasional, maka ia memutuskan untuk berhenti menulis sastra dan hidup bersahaja. Menjadi tukang roti baginya lebih terhormat daripada hidup mempertahankan kekeraskepalaan. Ia akan menganggap dirinya tidak berbakat untuk menempuh jalan itu. Titik.