Laman

3.3.10

Kemerdekaan Gelatik dan Manik Depresi Puisi-Puisi Micky Hidayat


artefak oleh M. Nahdiansyah Abdi

bila kau pernah melihat seekor burung
terbang meninggalkan sangkarnya
menembus langit putih cuaca
itulah aku – si burung gelatik yang terluka
mencari kemerdekaan di jagat semesta

(Kemerdekaan Gelatik)

Micky Hidayat, seorang penyair penting dari Kalimantan Selatan, puisi-puisinya telah banyak dibicarakan. Kukira ada benarnya ketika Agus R. Sarjono menyebut Sepi, Luka, Cinta dan Rindu banyak mewarnai puisi-puisi Micky. Pun ketika Isbedy Stiawan yang menyebut Micky masih bertahan di jalur puisi relijius-sosial yang menjadi trend generasi sastrawan 87-an. Atau komentar Jamal D. Rahman yang berkomentar bahwa puisi-puisi Micky kadang terdengar lirih seperti kersik daun di malam sepi, kadang terdengar lantang sebagai amarah batin sosial yang dikhianati. Sehingga aku pun hanya melanjutkan saja.



2.3.10

HAJRI DAN HAL-HAL BESAR DALAM KEPALA KECILNYA

Oleh M. Nahdiansyah Abdi




"Raja" kaka nih...! Raja Sungai Martapura ... :)



Pada ruang di kepala
bersemayam raja-raja
mereka datang saat malam
saat mimpi dalam tidur yang sebentar
.”

(Puisi “Bilik-Bilik”, dalam Jejak Air)


Saya melihat dan merasakan, puisi dan cerpen-cerpen Hajriansyah menyimpan hasrat tersembunyi akan kekuasaan. Semacam visi, semacam getaran-getaran halus jika tertangkap olehnya sesuatu yang besar dan agung. Yang menariknya demikian keras dan memunculkan kegelisahan-kegelisahan. Hasrat yang dapat ditarik jejaknya pada sejarah orang-orang besar, penakluk-penakluk, Raja Diraja. Namun, sindrom raja-raja -- kalau boleh dikatakan begitu – yang diidap Hajri berbenturan dengan kekinian yang pahit. Mengakibatkan (istilah Faruk) ia harus jatuh bangun antara harapan dan keputusasaan.1 “Cerita-cerita yang harum/cerita-cerita yang indah/tentang manusia yang menjadi raja/yang berlari ke dasar hati, kemudian/puas pada pelangi dan bintang malam/puas menghirup aroma tembakau/yang dingin.” (Puisi “Seharum Kasturi, Seindah Pelangi”, Jejak Air)